Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Budi Prathama
Foto ibu Nia yang sedang memproduksi gula merah. (Dok.pribadi/budiprathama)

Ibu Nia, salah satu penghasil dan pembuat gula merah di desa Todang-Todang, Kecamatan Limboro, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia saat ini masih nampak semangat bekerja untuk memproduksi gula merah yang ada sudah sejak nenek moyangnya. 

Beliau saat ini tinggal serumah dengan suami, anak laki-lakinya satu, serta anak dan istri anaknya. Ibu Nia dibantu dengan anaknya yang sudah beristri untuk memproduksi gula merah sebagai penyuplai kebutuhan pokok. Sedangkan, anak laki-lakinya yang satu harus rela menerima nasib berada di rumah saja, karena penyakit yang ia derita sudah berpuluh-puluh tahun yang memungkinkan tidak bisa bekerja. 

Sementara suaminya, juga tidak bisa bekerja lagi karena faktor usia. Padahal, dulu pekerjaan pembuatan gula merah ditanggung mereka berdua. Alhasil, pekerjaan pembuatan gula merah itu pun diambil alih oleh anaknya bersama dengan ibu Nia. 

Saat ini, pekerjaan pembuatan gula merah di keluarga ibu Nia, hanya ditanggung oleh dua orang. Meskipun ibu Nia memiliki anak berjumlah enam orang, namun empat anaknya berada tinggal di luar dari desa Todang-Todang. Ada yang sudah menikah dan satunya masih menempuh pendidikan di Universitas di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. 

Pekerjaan memproduksi gula merah bukanlah pekerjaan yang mudah, kerja keras dan tenaga harus disiapkan, itu pasti. Ibu Nia mulai berangkat ke tempat pembuatan gula merah setiap hari dari pagi sejak dini, kira-kira sekitar pukul 6 pagi. Ia sehari berada di tempat pembuatan gula merah, hingga ia baru bisa pulang kembali ke rumah sekitar pukul 6 sore. Bukan tanpa alasan, melainkan pekerjaan menuntut untuk terus berada di pembuatan gula merah. 

Jarak antara rumah dengan pembuatan gula merah, mungkin bisa dibilang tidak terlalu jauh, sekitar 300 meter. Namun, tidak memungkinkan bagi ibu Nia untuk pulang ke rumah sampai pekerjaannya belum selesai. 

Pembuatan gula merah tentu memakan banyak waktu, mulai dari pengambilan air dari pohon aren sebagai bahan dasar pembuatan gula merah, memasaknya, hingga membuatnya menjadi gula merah yang siap konsumsi. Hal yang berat juga kerjaannya dalam pembuatan gula merah yakni pengambilan kayu bakar. Kayu bakar di tempat ibu Nia sudah mulai berkurang, sehingga memungkinkan ia harus rela pergi ambil kayu bakar dengan jarak yang lumayan jauh. 

Bukan hanya membuat gula merah dan mengambil kayu bakar, ibu Nia juga beternak kambing yang merupakan bagian dari pekerjaannya. Ia harus menyisakan waktu dan tenaga untuk setiap hari harus pergi ambil makanan kambing, itulah hari-hari ibu Nia yang harus ditempuh. Selain itu, ia juga kadang pergi mencari kemiri dan memanen buah cokelat ketika memang sudah musimnya. 

Keseharian ibu Nia hampir ia habiskan untuk bekerja, bekerja sebagai pembuat gula merah dan petani seperti dengan kaum laki-laki pada umumnya. Bahkan bisa dibilang dapat melampaui pekerjaannya, ketimbang yang dilakukan oleh kaum laki-laki. 

Ibu Nia memang dikenal sosok perempuan dengan pekerja keras, ia bahkan merasa pusing sendiri jika dalam sehari waktunya tidak digunakan untuk bekerja, sehingga waktu bagi ibu Nia adalah bekerja. Semangat ibu Nia masih nampak terlihat aura semangat, walau tetesan keringat kadang mengucur pada dirinya, namun semangatnya tak pernah pudar untuk terus bekerja. 

Hal yang dapat dipetik dari sosok ibu Nia adalah semangatnya untuk bekerja, meskipun usianya kini tidak muda lagi namun semangatnya belumlah pudar. Itu ia lakukan karena tuntutan dan memang dasarnya sebagai orang yang pekerja keras. 

Budi Prathama