Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Budi Prathama
Mahasiswa tergabung dalam Asuro berunjuk rasa di depan Balai Kota Malang mengecam tindakan represif kepolisian di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Senin (14/2/2022) [Suara.com/Bob Bimantara Leander]

Semua orang tentu bisa menyaksikan bagaimana kondisi di desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Di berbagai media sosial sudah tersebar tindakan aparat kepolisian yang represif terhadap warga Wadas, sehingga publik pun banyak mengecam dan mengutuk keras tindakan polisi yang tidak humanis kepada masyarakat. Padahal notabanenya sebagai pelindung dan pengayom, tetapi hari ini kita bisa saksikan lagi tindakan polisi yang membuat masyarakat ketakutan.

Hal demikian, tentu bukanlah sesuatu yang tidak bisa disembunyikan, apa pun alasannya tindakan represif kepolisian kepada warga Wadas tidak bisa dibenarkan, publik sudah dihebohkan tentang hal itu. 

Lagi-lagi rakyat menjadi tumbal dengan iming-iming pembangunan untuk kepentingan rakyat, soal pro dan kontra adalah hal wajar terjadi, tapi apabila pembangunan dilakukan dengan mengorbankan hajat masyarakat banyak, tentu ujungnya dapat mengundang kegaduhan, begitulah kiranya yang terjadi di desa Wadas hari ini. 

Kegaduhan di desa Wadas dimulai dari proyek pembangunan Bendungan Bener yang diimingkan untuk kepentingan rakyat, tapi versi lain banyak masyarakat menolak karena merampas hak hidup masyarakat setempat. Bendungan itu dinilai akan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia, yang diproyeksikan mampu mengairi lahan persawahan seluas 15 ribu hektar.

Pembangunan bendungan tersebut tentu membutuhkan bahan material dengan jumlah banyak, salah satunya batuan andesit sebagai penyuplai bendungan tersebut. Maka dengan alasan itulah, lokasi desa Wadas dipilih sebagai lokasi tambang andesit, sebagaimana keputusan dari SK Gubernur Jawa Tengah (Ganjar Pranowo) Nomor 509/14/2018. 

Keputusan itulah sebagai sumber polemik yang terjadi di desa Wadas, berbagai polemik warga Wadas dengan pemerintah untuk menolak pertambangan karena dapat merusak sumber mata air yang berpotensi merusak lahan pertanian, di mana selama ini telah menjadi sumber penghidupan warga Wadas. 

Berdasarkan rilis dari Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa), kisruh bermula pada saat aparat kepolisian memasuki desa Wadas untuk mengukur tanah. Namun, karena dianggap ada provokasi sehingga terjadi penangkapan kepada beberapa warga Wadas, bahkan penangkapan diperlakukan secara tidak manusiawi. Para polisi menangkapi warga dan para aktivis masyarakat sipil yang membantu warga untuk mempertahankan tanahnya. 

Polemik yang terjadi di desa Wadas tentu tidak hanya merusak citra kepolisian, tetapi juga merusak popularitas Ganjar Pranowo sebagai orang wahid di Jawa Tengah. Mengapa tidak, selain sebagai orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan untuk pembuatan bendungan Bener, ia juga sebagai pelayan masyarakat untuk warga Jawa Tengah, termasuk desa Wadas. Artinya, polemik kembali memperlihatkan kontradiksi antara posisi Ganjar Pranowo sebagai Gubernur, dengan realita tindakannya kepada masyarakat. 

Meskipun, Ganjar Pranowo sudah meminta maaf kepada warga Wadas atas insiden yang terjadi, tetapi namanya telah rusak di mata masyarakat. Walaupun Ganjar memastikan bahwa tidak ada yang terjadi apa-apa kepada warga Wadas, namun di mata publik itu sudah basi dan bulsit. Saya rasa permintaan maaf Ganjar Pranowo tidak ada apa-apanya, masyarakat sudah menjadi korban barulah ia dengan mudahnya meminta maaf, minta maaf tidak cukup menyembuhkan hati rakyat. 

Kondisi demikian, tentu sangat merusak popularitas Ganjar Pranowo sebagai calon Pilpres 2024 nanti. Padahal, survey Ganjar sebagai calon Presiden selalu menempati posisi teratas. Tentu kebijakan dan perlakuan Ganjor Pranowo hari ini sangat berdampak pada popularitasnya sebagai calon Presiden 2024. Bahkan ada juga tersiar postingan di media sosial mengecam Ganjar Pranowo sebagai sumber utama polemik di desa Wadas. Termasuk ada postingan faceboook, tidak usah saya sebutkan nama akunnya, ia menulis status seperti ini lengkap dengan gambar pemberitaan di desa Wadas, “bayangin Ganjar nyalon Presiden dan terpilih. Bayangin aja dulu.” Hal itu jelas berpengaruh sekali pada popularitas Ganjar apabila ingin menjadi calon Presiden 2024. 

Jelas kondisi itu merusak nama Ganjar Pranowo, belum lagi kalau ada yang justru memainkan isu tersebut untuk benar-benar merusak nama Ganjar, nama baik Ganjar di media sosial seketika runtuh dengan perbuatannya yang tidak pro terhadap rakyat. Jadi, polemik yang terjadi di desa Wadas mesti menjadi bahan evaluasi bagi Ganjar Pranowo, selain untuk mengevaluasi kebijakannya demi untuk kepentingan rakyat, juga bahan evaluasi jika ingin mencalonkan diri sebagai Presiden yang akan bertarung pada Pilpres 2024 nanti. 

Apa pun yang dilakukan para politikus hari ini, tentu berdampak pada popularitas dan elektabilitasnya  jika nanti mau mencalon sebagai Presiden 2024. Ini tentu dapat menjadi pelajaran bahwa polemik di Wadas adalah rusaknya popularitas Ganjar Pranowo dan citra para aparat negara.

Budi Prathama