Di era digital yang katanya semua serba mudah, masih ada orang-orang yang harus berjuang keras hanya untuk... membaca buku. Ya, hal sesimpel itu. Buat banyak dari kita, mungkin tinggal scroll e-book atau ke toko buku online, tapi buat penyandang disabilitas, terutama tunanetra—akses ke literasi masih jadi perjuangan panjang yang melelahkan.
Ironisnya, di saat pemerintah gencar kampanye “literasi nasional”, masih banyak yang menganggap semua orang start dari garis yang sama. Padahal, kenyataannya, sebagian besar fasilitas baca kita belum ramah untuk mereka yang berkebutuhan khusus. Masalahnya bukan hanya soal kurangnya fasilitas, tapi juga soal bagaimana kita memandang siapa yang pantas dan penting untuk diberikan akses.
Layanan Ada, Tapi Cuma Sekadar Ada?
Sebenarnya sudah ada beberapa inisiatif baik. Misalnya, Perpustakaan Kota Yogyakarta punya layanan khusus bernama BELINDA (Blind Corner untuk Anda). Di sana, tersedia komputer dengan pembaca layar JAWS, buku braille, dan digital talking books. Keren sih idenya. Tapi menurut Rahman, salah satu pengguna layanan itu, koleksinya masih terbatas banget. Ujung-ujungnya? Dia tetap harus minta bantuan temannya untuk membacakan jurnal kuliah.
Nggak cuma di Jogja. Di Kalimantan Selatan, pemerintah sempat meresmikan Perpustakaan Disabilitas. Tapi sayangnya, hingga beberapa bulan setelah diresmikan, layanan itu belum berjalan optimal karena koleksinya masih minim. Gedungnya megah, tapi isinya belum siap.
Sementara itu, Universitas Hasanuddin punya Braille Corner, hasil kolaborasi dengan Balai Literasi Braille Indonesia (BLBI). Ini langkah maju, apalagi di lingkungan akademik. Tapi ya lagi-lagi, belum semua kampus terpikir untuk menyediakan hal yang sama. Jadi baru segelintir yang bisa menikmati manfaatnya.
Literasi Inklusif: Masih Jadi Bonus, Bukan Kebutuhan
Masalah utamanya, literasi inklusif masih dianggap sebagai pelengkap, bukan kebutuhan utama. Banyak perpustakaan umum merasa cukup dengan menyediakan rak-rak buku tanpa mempertimbangkan format alternatif. Padahal, akses literasi bukan cuma soal fisik bisa ke perpustakaan atau nggak. Tapi juga apakah buku itu tersedia dalam format yang bisa diakses?
Dan jangan salah, penyandang disabilitas netra bukan satu-satunya kelompok yang terdampak. Teman-teman tuli juga sering kali kesulitan mengakses video edukatif karena nggak ada subtitle atau bahasa isyarat. Bahkan beberapa aplikasi belajar online pun nggak kompatibel dengan screen reader.
Hal ini bukan cuma soal kurangnya fasilitas, tapi juga soal cara pandang. Disabilitas masih sering dilihat sebagai “urusan minoritas” atau tanggung jawab segelintir lembaga saja. Padahal, literasi itu hak dasar, bukan bonus tambahan.
Coba kita renungkan, gimana caranya seseorang bisa berkembang kalau akses ke ilmu pengetahuan aja dibatasi? Bukankah kita sering bangga bilang “mencerdaskan kehidupan bangsa”? Tapi kalau yang dicerdaskan cuma yang dianggap ‘normal’, terus gimana dengan sisanya?
Faktanya, banyak penyandang disabilitas yang sebenarnya semangat belajar. Tapi sistem yang belum inklusif bikin mereka harus berjuang dua kali lebih keras dari kita. Kadang mereka bukan kekurangan semangat, tapi kekurangan akses.
Akhiri dengan Aksi, Bukan Simpati
Kalau kamu bisa baca artikel ini dengan lancar, tanpa perlu bantuan orang lain, itu sudah jadi bentuk privilege. Nah, sekarang saatnya pakai privilege itu untuk dorong perubahan.
Kita bisa mulai dari hal kecil misalnya bantu kampus atau komunitas buat sediakan buku braille, dorong penerbit mulai pikirin format alternatif, atau setidaknya, suarakan pentingnya literasi inklusif ke media sosial. Karena literasi bukan cuma soal bisa membaca, tapi juga soal bisa memahami dan melihat dunia dari perspektif yang lebih luas.
Dan semoga ke depannya, saat kita ngomongin “gerakan literasi nasional”, itu bukan cuma untuk mereka yang bisa melihat huruf di kertas, tapi juga buat mereka yang selama ini hanya bisa ‘membaca’ lewat telinga dan hati.
Baca Juga
-
Cultural Tokenism di Dunia Hiburan: Representasi atau Sekadar Simbolik?
-
Dosen di Era Digital: Antara Pendidik dan Influencer
-
Di Balik Dinding Akademik: Kampus dan Luka yang Tak Terlihat
-
Mindful Eating atau Makan Sambil Scroll? Dilema Makan Sehat dan Screen Time
-
Di Balik Tren Quiet Quitting: Tanda Karyawan Lelah atau Perusahaan Gagal?
Artikel Terkait
-
Loveliest Misfortune: Realita Pernikahan Jarak Jauh yang Bikin Baper
-
Ulasan Novel The Ex Talk: Ketika Mantan Palsu Membawa Cinta yang Nyata
-
Ulasan Buku Nenek Mipo Sang Perajut Mimpi, Kisah Imajinatif Pengantar Tidur
-
Bacaan Bukan Kasta: Berhenti Menghakimi Selera Membaca Orang Lain
-
Ulasan Novel My Son is a Murderer: Perjalanan Seorang Ibu Mencari Kebenaran
Kolom
-
Malam Tanpa Layar! Seni Menjaga Kesehatan Tidur di Era Digital
-
Femisida dan Tantangan Penegakan Hukum yang Responsif Gender di Indonesia
-
Media Lokal Sudah Badai Selama 10 Tahun Terakhir dan Tak Ada yang Peduli
-
Sama-Sama Pekerja Gig, Kok Driver Ojol Lebih Berani daripada Freelancer?
-
Hilangnya Muruah Wisuda dan Industri Kebanggaan
Terkini
-
Sutradara Film F1 Beber Alasan Gaet Brad Pitt Ketimbang Tom Cruise
-
Perjalanan Timnas Indonesia di Piala AFF U-23 Dijamin Makin Seru, Mengapa?
-
Belum Juga Ada Pencoretan, Timnas Indonesia Sudah Pasti Ditinggalkan Dua Pemain Ini
-
Pete Davidson Comeback Main Film Horor Lewat The Home, Intip Trailernya
-
Sambil Menunggu Episode Terbaru, 5 Anime Mirip Lazarus yang Bisa Ditonton