Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Hendra Fokker
Ilustrasi kerusuhan. [Shutterstock]

Peristiwa kekerasan antar etnis ini terjadi pada 18 Februari 2021. Tepatnya di kota Sampit, Kalimantan Tengah, dan meluas hingga ke kota Sambas, Palangkaraya, hingga Pontianak. Kekerasan yang dilatarbelakangi perseteruan antar suku Dayak dengan Madura, yang notabene merupakan warga pendatang di Kalimantan.

Latar belakang tradisi dianggap sebagai salah satu penyebab meluasnya konflik antar suku ini. Sejak awal mula kedatangan suku Madura di Kalimantan sejak tahun 1930, program transmigrasi yang digerakkan sering kali berbuah konflik dengan masyarakat asli Kalimantan.

Terlebih ketika program transmigrasi memberikan peluang lebih kepada penduduk Madura untuk bergerak dalam berbagai sektor publik. Sebelum peristiwa ini, pada tahun 1996 dan 1997 pernah terjadi konflik rasial yang menimbulkan korban 600 jiwa.

Dalam penelusuran fakta-fakta peristiwa Sampit, kemudian diketemukan bahwa asal mula pertikaian ini didasari karena perselisihan antar kedua belah pihak, yang berakhir pada aksi pembunuhan disertai pembakaran rumah. Usai peristiwa malam 17 Februari, secara bertahap di sudut-sudut kota Sampit terjadi berbagai macam aksi kekerasan dan pembunuhan.

Pasukan Brimob dari Polda Kalteng beserta pasukan TNI dari Yonif 631/ATG langsung bergerak untuk mengamankan situasi yang semakin tidak terkendali pada 19 Februari 2001. Selama awal mula konflik, suku Madura berhasil menguasai kota dan melakukan berbagai tindakan kekerasan berlatarbelakang dendam atas peristiwa-peristiwa sebelumnya.

Tetapi kondisi tersebut segera berakhir, pada 20 Februari, ketika ratusan suku Dayak datang ke kota secara tiba-tiba dari berbagai penjuru. Warga Dayak pedalaman, seperti Seruan, Ratua Pulut, Katingan Hilir, hingga Barito, masuk menguasai seluruh kota. Daerah Baamang yang menjadi pusat kekuatan suku Madura juga berhasil direbut dengan kekerasan.

Para pemuka suku Dayak secara langsung memberikan dukungannya kepada masyarakat Dayak untuk dapat membersihkan Sampit dari suku Madura. Berbekal kekuatan magis, dengan cepat suku Dayak berada diatas angin, dan berhasil menghalau suku Madura hingga mundur ke luar kota. Banyak diantaranya kemudian mengungsi ke tempat aman yang disediakan aparat keamanan.

Tercatat sebanyak 33 ribu orang terdata sebagai pengungsi dari daerah yang tengah berkonflik. Kekerasan yang ditimbulkan selama peristiwa ini, dikaitkan dengan tradisi suku Dayak, Ngayau. Dikenal dengan praktik ritual pemburuan kepala orang yang dianggap sebagai musuh. Secara bergiliran, para pengungsi kemudian dikeluarkan dari Kalimantan untuk proses-proses rekonsiliasi.

Hingga pertengahan tahun 2001, proses rekonsiliasi mulai mendapatkan apresiasi positif dari berbagai pihak. Walau secara umum, konflik masih terjadi dalam skala kecil. Suatu peristiwa yang tentu saja mengguncang kebhinekaan bangsa Indonesia. Dengan harapan, tidak terjadi lagi peristiwa semacam ini, dan menyebabkan terjadinya korban jiwa dan materi.

Hendra Fokker