Ketika tugas-tugas manusia digantikan oleh robot beberapa dekade kedepan, maka dapat dikatakan akan terjadi pergeseran budaya dan sosial manusia. Bila orientasi keberpihakan pada pelaku industri berbasis ekonomis, hal ini tentu mengkhawatirkan bagi para pekerja di berbagai sektor ekonomi dunia.
Bukan sekadar meminimalisir regulasi uang dalam konteks upah, melainkan transisi ritus sosial yang terdampak dan berakibat besar dalam konteks modernitas. Kita tidak dapat menolak modernitas di era digital yang semakin canggih saat ini, tetapi peran-peran sosial yang bergeser sudah sebaiknya dapat dipikirkan bersama-sama.
Tidak lagi berpegang pada pendirian mesin sebagai penopang kehidupan manusia. Area-area humanitas tentu sudah sepatutnya dapat terus dijaga menghadapi era transisi ke depan. Wacana akan terjadinya banyak pengangguran yang kelak menimbulkan berbagai konflik sosial, sudah sejatinya dapat dipikirkan secara baik-baik. Kebijakan yang mengatur polarisasi kehidupan sosial tentu dapat ditinjau lebih dalam lagi untuk realisasinya.
Semua tentu demi keberpihakan pada atau antar manusia, sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan dan membutuhkan. Berbagai sektor formal kini sudah mulai memasuki era digitalisasi yang memungkinkan akan bergerak ke arah robotisasi. Secara konsepsi ekonomi tentu dapat memberi ruang pada optimalisasi keuntungan, tetap tidak kepada individu yang bekerja didalamnya.
Masa depan dunia tentu mengarahkan manusia kepada keberpihakan era digital, tanpa mampu untuk membendung segala kemajuannya. Semua saling bergantungan, yang perlahan mengikis aspek kultur dan budaya yang menjadi identitas sebuah bangsa. Konsep pergeseran ini dapat ditinjau dari perspektif generasi muda dalam menghadapi tantangan zaman, khususnya bagi para pegiat konten sosial.
Sekiranya kita dapat memahami akan posisi kita sebagai umat manusia, yang tidak dapat lepas dari perilaku sosialnya. Tidak semua aspek dapat digesera ke arah area digitalisasi, khususnya area yang bersinggungan dengan individu atau sosial. Industrialisasi di era 4.0 sudah sekiranya dapat memberi abstraksi bagi kita semua untuk dapat berperang dan bersaing dengan kompetitif.
Baik dalam pengembangan skill ataupun pengetahuan terhadap teknologi positif bagi kehidupan manusia. Dengan tidak meninggalkan tugas manusia sebagai mahkluk sosial yang memiliki simpati dan empati terhadap realitas sosial disekitarnya. Semoga bermanfaat.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Tips Jitu Mengatasi Rasa Malas Bersosialisasi saat Lebaran bagi Penderita Fobia Sosial
-
Ulasan Buku Ketika Matamu Bicara: Memahami 153 Bahasa Tubuh Lewat Cerita
-
Lebaran dan Media Sosial, Medium Silaturahmi di Era Digital
-
Lebih Mahal dari Xiaomi 15: Light Phone 3 Sajikan Fitur agar Orang Bisa Pensiun dari Media Sosial
-
Rincian Isi PP Tunas, Aturan Baru Prabowo untuk Batasi Anak Main Medsos
Kolom
-
Lebaran Usai, Dompet Nangis? Waspada Jebakan Pinjol yang Mengintai!
-
Generasi Unggul: Warisan Ki Hajar Dewantara, Mimpi Indonesia Emas 2045?
-
Antara Doa dan Pintu yang Tertutup: Memahami Sajak Joko Pinurbo
-
Indonesia Krisis Inovasi: Mengapa Riset Selalu Jadi Korban?
-
AI Mengguncang Dunia Seni: Kreator Sejati atau Ilusi Kecerdasan?
Terkini
-
Bikin Gagal Move On! 3 Drama Medis Korea Ini Siap Bikin Kamu Pengen Jadi Dokter!
-
Reuni Lagi, Lee Do Hyun dan Go Min Si Bakal Bintangi Drama Baru Hong Sisters
-
Review Novel 'Entrok': Perjalanan Perempuan dalam Ketidakadilan Sosial
-
Mark NCT Wujudkan Mimpi Jadi Bintang di Teaser Terbaru Album The Firstfruit
-
Review Film All We Imagine as Light: Kesunyian di Tengah Hiruk-pikuk Mumbai