Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti yang tengah berunjuk rasa damai pada tanggal 12 Mei 1998, seketika suasana Jakarta dan beberapa kota lainnya memanas. Krisis moneter yang dianggap tidak dapat ditanggulangi oleh pemerintah, memaksa masyarakat melakukan berbagai aksi perusakan hingga penjarahan. Peristiwa lain yang tidak luput adalah terjadinya berbagai aksi penghilangan paksa hingga pembunuhan.
Suatu peristiwa yang menjadi "benang merah" perjalanan Reformasi tahun 1998, di mana kelak Presiden Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dari tampuk pemerintahan. Selama kurun waktu 1998, persoalan kemanusiaan tidak terelakkan antar sesama bangsa Indonesia. Hingga konflik rasial memuncak hingga beberapa tahun setelahnya.
Kita tentu dapat mengambil hikmah dari peristiwa kerusuhan pada tahun 1998 ini. Persoalan inflasi ekonomi yang berawal dari berbagai kasus korupsi, membuat Indonesia masuk dalam kategori negara rawan kunjungan asing. Ketimpangan sosial yang mengerucut menjadi konflik sosial, tentu sudah sepatutnya menjadi refleksi diri bagi bangsa saat ini.
Dari berbagai data yang dihimpun, maka dapat disimpulkan bahwa ratusan orang telah menjadi korban, baik hilang atau meninggal (449 jiwa dalam berbagai kasus), selain dari kerugian finansial yang nominalnya mencapai 2,5 triliun rupiah.
Beberapa kota yang menjadi arena wild west selain Jakarta adalah Surabaya, Solo, hingga Medan. Hampir semua masyarakat terlibat dalam konflik horizontal antar sesama, baik dengan latar belakang suku, etnis, atau agama. Alasan utamanya yakni kebutuhan ekonomi dan pangan yang semakin tidak terkendali. Hingga pada fase kepemimpinan Presiden Habibie menjabat hingga beralih ke Presiden Gus Dur, konflik secara perlahan berangsur membaik.
Tentu semua dengan pendekatan humanis dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Tidak lagi melalui pendekatan militeristik, yang dominan terjadi selama masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Ada metodologi evaluasi dan pembelajaran dalam menghadapi masa krisis tahun 1998 ini. Khususnya dalam menghadapi konflik antar etnis antara "Tionghoa dan pribumi".
Berbagai peristiwa yang kemudian dapat membuat negeri ini dapat belajar dari persoalan, dan mampu bangkit dari keterpurukan. Setiap lini pemerintahan hingga kebijakan publik ditata dan diatur untuk kepentingan masyarakat. Khususnya dalam upaya persatuan dan kesatuan yang tengah terpecah belah. Tentu peristiwa ini dapat menjadi abstraksi sejarah bagi bangsa Indonesia kedepannya.
Mengenang peristiwa Reformasi 1998, merupakan momentum penting untuk dapat merefleksikan diri dari berbagai persoalan bangsa saat ini. Dengan harapan agar peristiwa serupa tidak terulang lagi kelak. Semoga bermanfaat.
Tag
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Silsilah Keluarga Rohidin Mersyah: Anak Petani Bergelar Rajo Agung II, Gubernur Bengkulu Kena OTT KPK Jelang Pilkada!
-
Bikin Game BUSSID Makin Seru, Download Mod Truck Muatan Berat di Sini!
-
Shin Tae-yong Bakal Pecah Telur di Piala AFF 2024, Erick Thohir: Ya Bagus!
-
Jayden Oosterwolde Senggol Tijjani dan Eliano Reijnders: Mimpi Kami Bertiga Bela Timnas Belanda
-
Ronaldo Kwateh Masuk Skuad Piala AFF 2024, Saatnya Bayar Kepercayaan STY?
Kolom
-
Kolaborasi Tim Peserta Pilkada Polewali Mandar 2024 Melalui Gerakan Pre-Emtif dalam Pencegahan Politik Uang
-
Generasi Alpha dan Revolusi Parenting: Antara Teknologi dan Nilai Tradisional
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
-
Indonesia ke Piala Dunia: Mimpi Besar yang Layak Diperjuangkan
-
Wapres Minta Sistem Zonasi Dihapuskan, Apa Tanggapan Masyarakat?
Terkini
-
4 Rekomendasi Mix and Match OOTD Chic ala Miyeon (G)I-DLE, Bikin Penampilan Lebih Modis
-
Hari Pertama Pakai Yamaha, Miguel Oliveira Bilang Motor M1 Sangat Ramah
-
Ronaldo Kwateh Masuk Skuad Piala AFF 2024, Saatnya Bayar Kepercayaan STY?
-
3 Sheet Mask Mengandung Aloe Vera Ampuh Atasi Sunburn, Harga Mulai Rp5 Ribu
-
Novel Dia Adalah Kakakku, Perjuangan Seorang Kakak Mewujudkan Cita-Cita Adiknya