Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Fachry Fadillah
Ilustrasi buku-buku bacaan (pexels)

Perkembangan teknologi informasi yang kian pesat tak hanya mendesak kita untuk melakukan segala sesuatu dengan cepat dan instan, tetapi juga membuat kita kadangkala mempertanyakan kembali esensi dari tujuan teknologi informasi tersebut. Apakah teknologi informasi sudah cukup akurat bagi seluruh bidang yang dikehendaki oleh ilmu pengetahuan? Apakah teknologi informasi juga mendukung berkembangnya suatu kebudayaan? Dan apakah teknologi informasi dapat menyediakan perkembangan suatu kebudayaan? 

Semua pertanyaan tadi secara keseluruhan sebenarnya merupakan tanggung jawab manusia. Sebab bagaimanapun dan secanggih atau semutakhir apapun teknologi yang saat ini kita gunakan, sebuah teknologi informasi hanya berfungsi sebagai 'wadah' untuk tempat kita berkembang dan mengasah bidang pengetahuan kita, termasuk halnya kebudayaan, dan salah satunya adalah sastra.

Sastra menjadi sangat berkembang di era teknologi informasi saat ini. Bagaimana tidak? Karya sastra yang dulu hanya bisa kita jumpai pada buku-buku yang kita beli ataupun kita pinjam, kini menjadi mudah diakses oleh kita, halaman demi halaman, meskipun tidak seluruhnya.

Para penulis karya sastra pada zaman dahulu begitu bersusah-payah dalam memproses karya-karyanya. Mulai dari mengetik secara manual dengan mesin tik yang tak bisa dihapus bila terjadi kesalahan kata, hingga menunggu lama tanpa sebuah konfirmasi bila penulis yang bersangkutan mengirimkan karyanya ke berbagai media massa, mengingat betapa lamanya ekspedisi sebuah surat pribadi lewat kantor pos. 

Namun sekarang, penulis karya sastra, baik yang sudah mempunyai nama ataupun yang masih awam, dapat dengan mudah mempublikasikan karya-karyanya melalui media sosial, termasuk juga dalam mengirimkan karyanya ke sebuah media massa. 

Jika dulu penggiat sastra harus bertemu secara langsung dengan rekan-rekannya untuk melakukan suatu diskusi, kini tidak lagi demikian. Ada banyak sekali platform media sosial yang mendukung penuh komunikasi jarak jauh, tidak sebatas mengandalkan audio saja, melainkan juga mengandalkan gambaran visual.

Mungkin ada beberapa dari sebagian pihak yang mempertanyakan eksistensi sastra di tengah-tengah arus informasi. Salah satu pertanyaannya "Bagaimana membentuk suatu ekosistem sastra bila semuanya serba instan dan serba dibatasi?"

Pertanyaan tersebut mengharuskan kita untuk kembali lagi pada jawaban sebelumnya. Sebab bagaimanapun, secanggih atau semutakhir apapun teknologi yang kita gunakan, dan se-instan apapun proses yang akan kita perjuangkan, serta apapun batasan yang dihadapkan pada kita, semuanya memiliki tanggung jawab dan keberanian yang harus diselesaikan, dan teknologi informasi tidak akan bisa menyelesaikan tanggung jawab dan tantangan tersebut, hanya kita sebagai motor penggerak yang mampu menyelesaikan dengan penuh tanggung jawab dan keberanian. 

Itu tadi di atas merupakan opini saya mengenai manfaat teknologi informasi bagi perkembangan ekosistem sastra, semoga pembaca dapat memetik benang merahnya dan manfaatnya. Kurang dan lebihnya saya ucapkan terima kasih. 

Fachry Fadillah