Di era media sosial, muncul fenomena akun-akun bertajuk “Kampus Cantik”, “Kampus Ganteng”, hingga “Mahasiswa Estetik” yang dengan cepat populer di kalangan mahasiswa. Akun-akun ini menampilkan foto-foto mahasiswa berwajah rupawan, disertai caption yang mengundang perhatian.
Meski tampak sepele dan menghibur, fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius apakah kampus kini menjadi ajang kontes kecantikan digital? Lebih jauh lagi, apakah kita sadar bahwa tren ini berpotensi memicu objektifikasi dan meminggirkan nilai akademis yang seharusnya menjadi identitas utama perguruan tinggi?
Fenomena ini memancing diskusi luas tentang budaya validasi di era digital. Apakah akun semacam ini hanya sekadar hiburan ringan, atau justru menjadi cerminan masyarakat yang semakin mengukur nilai seseorang dari penampilan fisiknya? Bagaimana dampaknya terhadap mahasiswa yang tidak masuk dalam kategori “cantik” atau “ganteng” versi media sosial?
Standar Kecantikan yang Semakin Menyempit
Akun-akun seperti “Kampus Cantik” membentuk persepsi bahwa cantik dan ganteng adalah satu-satunya modal untuk diapresiasi di dunia kampus. Mereka menonjolkan tipe wajah tertentu, gaya berpakaian tertentu, hingga tone kulit tertentu. Akibatnya, muncul standar kecantikan sempit yang membuat banyak mahasiswa merasa tidak cukup menarik hanya karena tidak sesuai dengan kriteria tersebut.
Dampaknya tidak main-main. Mahasiswa yang merasa “tidak lolos” seleksi estetika ini bisa mengalami penurunan kepercayaan diri. Mereka mungkin berpikir bahwa nilai diri diukur dari seberapa menarik wajah mereka di mata publik, bukan dari prestasi akademis atau kemampuan berpikir kritis. Ironisnya, kampus yang seharusnya menjadi ruang intelektual justru terjebak dalam budaya visual yang dangkal.
Validasi Digital dan Tekanan Sosial
Fenomena ini juga memperkuat budaya validasi digital. Banyak mahasiswa yang ingin masuk ke akun tersebut demi pengakuan, meski harus mengubah gaya berpakaian, menggunakan filter berlebihan, atau bahkan mempertimbangkan prosedur kecantikan. Hal ini menegaskan bahwa pujian dan perhatian publik menjadi komoditas yang diincar, bukan karena kualitas akademis, melainkan karena wajah yang memenuhi standar estetika.
Tekanan sosial ini berbahaya. Mereka yang gagal memenuhi ekspektasi ini bisa merasa rendah diri, sementara yang berhasil justru terjebak dalam lingkaran “konten” yang harus terus dijaga agar tetap relevan. Apakah kita sadar bahwa fenomena ini menciptakan kompetisi yang tidak sehat, yang hanya menguntungkan algoritma media sosial dan admin akun, bukan mahasiswa secara keseluruhan?
Siapa yang Diuntungkan?
Jika kita telusuri lebih dalam, akun-akun ini sebenarnya lebih menguntungkan pembuat konten ketimbang orang-orang yang ditampilkan. Dengan ribuan pengikut, mereka bisa mendapatkan popularitas, bahkan peluang monetisasi. Sementara para mahasiswa yang fotonya terpajang mungkin hanya mendapatkan validasi sesaat, yang ironisnya bisa berubah menjadi beban psikologis ketika ekspektasi untuk selalu terlihat sempurna muncul.
Selain itu, ada risiko serius terkait privasi. Banyak foto diunggah tanpa izin pemiliknya, hanya karena dianggap “cantik” atau “ganteng”. Ini bukan hanya soal etika, tetapi juga soal keamanan digital. Siapa yang akan menanggung risiko jika foto tersebut disalahgunakan? Apakah sekadar demi hiburan, kita rela mengorbankan hak privasi individu?
Fenomena akun “Kampus Cantik” memang tampak menyenangkan, tetapi menyimpan banyak persoalan mendasar seperti objektifikasi, tekanan sosial, standar kecantikan sempit, hingga pelanggaran privasi. Sebagai mahasiswa, kita perlu lebih kritis dan tidak larut dalam budaya validasi semu yang merugikan. Apresiasi seharusnya diberikan pada hal-hal substansial, seperti prestasi akademis, kreativitas, dan kontribusi sosial, bukan sekadar pada bentuk wajah. Pertanyannya Adalah apakah kita ingin kampus menjadi tempat lahirnya pemikir hebat, atau sekadar panggung digital untuk adu visual?
Baca Juga
-
Beban Kelompok: Dari Drama Numpang Nama sampai Fenomena Social Loafing
-
Jerat Konsumtif di Balik Budaya Cashless, Solusi atau Masalah Baru?
-
Saat Podcast Jadi Pilihan Belajar, Apa yang Hilang dari Televisi?
-
Siapa Peduli pada Guru, Kalau Semua Sibuk Bicara Kurikulum?
-
Narasi Damai ala Influencer: Cara Komunikasi Pemerintah yang Hilang Arah
Artikel Terkait
-
Kisah Perjuangan Haru Tinamid di Jayapura, Selesaikan Skripsi Pakai Ponsel
-
4 Menu Sarapan Favorit Mahasiswa Jatinangor: Murah, Cepat, Mengenyangkan
-
Dekan FKIP Unmul Klarifikasi Aksi Balik Badan Mahasiswa: Bukan Ditujukan ke Wagub Kaltim
-
Lebih Mahal dari UKT! Viral Mahasiswi UGM Didenda Perpus Rp 5 Juta, Kok Bisa?
-
Cara Dapat Google Gemini Pro Gratis untuk Mahasiswa RI, Lengkap hingga Fiturnya
Kolom
-
Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
-
Ungkap Masalah Gizi MBG dan Luka di Meja Makan Sekolah, Apa Ada yang Salah?
-
Beban Kelompok: Dari Drama Numpang Nama sampai Fenomena Social Loafing
-
Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
-
Santri Pelopor dan Pelapor: Melawan Bullying di Pesantren
Terkini
-
Go Internasional, Dosen FKIK UNJA Gelar Pengabdian di PPWNI Malaysia
-
Resmi! Sekuel The Social Network Umumkan Judul, Jadwal Rilis, serta Pemain
-
Lonjakan Minat Olahraga di Indonesia, Futsal Tetap Jadi Favorit Anak Muda
-
Futsal Sebagai Sarana Membangun Solidaritas dalam Kehidupan Anak Perkotaan
-
Dari Sing-Along hingga Moshing: Euforia CRSL Land Festival Day 1