76 tahun sudah berlalu,
Pejuang-pejuang bagai hadir kembali terpaku,
Belum kering rasanya air mata dan darahmu,
Melihat rapuhnya dinding-dinding bangsa dalam bisu.
Wahai Jenderal Besar Soedirman,
Teringat kata-katamu tentang Perjuangan,
“Pertahankan Kemerdekaan, sejengkal tanah pun tidak akan diserahkan ke lawan”,
Dan, akan dipertahankan habis-habisan”. (merdeka.com, 2020)
Tapi nyatanya kini,
Kami anak negeri, yang katanya penerus bangsa ini,
Seperti mengais sisa-sisa tanah (alam) kami yang terus digali,
Karena yang tersisa adalah lubang besar yang tak mungkin diperbaruhi,
Hutan dan bukit kami wahai Jenderal,
Yang semula mampu melindungi kami dari derasnya air,
Kini tinggalah hutan dan bukit gundul,
Yang menyebabkan ancaman bagi tanah kami karena longsor dan banjir,
Sumber daya alam yang diambil perlahan dan pasti,
Oleh negara lain dan secara langsung menguasai,
Tanpa meninggalkan sedikit pun rasa empati,
Karena kerjasama dan dilindungi oleh oligarki,
Dalam kata-katamu wahai Bung Hatta,
“Indonesia merdeka, bukan tujuan akhir kita,
Tapi Indonesia merdeka adalah syarat,
Untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat.” (liputan6.com, 2020)
Lihatlah kami kini,
Di masa pandemi yang tidak tau bagaimana cara mengakhiri,
Banyak dalih menyelematkan kesehatan dan ekonomi,
Ternyata hanya utak atik aturan tanpa tepi,
Aturan demi aturan menjerat kami,
Dari harus berdiam di rumah,
Tidak bisa saling mengunjungi,
Ditambah gerobak lapak diangkut dalam pandangan pasrah,
Melalui tes demi tes yang katanya untuk kesehatan,
Hingga alasan wajib vaksinasi untuk mengembalikan pergerakan ekonomi,
Setelah semua kami ikuti,
Ternyata dengan gampang mengatakan bahwa virus tak bisa dikendalikan,
Kemudian, tiba-tiba sebuah data muncul dari BPS,
Yang menyiratkan pertumbuhan ekonomi yang manis,
Bagaimana cara kami memahami angka-angka dramatis,
Sedang pergerakan kami masih tetap terbatas,
Wahai para dokter,
Bukan kami tidak percaya saranmu untuk regulator,
Tapi para pengkhianat yang berada di kelilingmu,
Yang tanpa kau sadari merusak reputasimu,
Analisamu dijadikan hitung-hitungan laba,
Yang mereka mainkan dalam selisih anggaran negara,
Menjadikan alasan pencairan utang-utang semakin menggunung,
Dan anak cucu yang harus siap menanggung,
Wahai para medis,
Bukan kami tidak percaya analisa saintis,
Tapi diagnosamu dimanfaatkan oknum pejabat dan pebisnis,
Dan perlahan tapi pasti mengeluarkan aroma pengkhianatan yang amis,
Bung Karno dalam untaian kata sebagai antisipasi,
“Perjuanganku lebih mudah,
karena mengusir penjajah,
Tapi perjuanganmu lebih sulit, karena melawan bangsa sendiri.” (kompas.com, 2020)
Saat ini memang penjajah tidak datang dengan senjata laras panjang,
Dengan senjata digital mereka datang,
Mengirimkan semua informasi melemahkan mental,
Dan disebar oleh para pendengung berbayar dan bebal,
Lihatlah kami penerus bangsa pada masa pandemi,
Apakah masih bisa menyampaikan pendapat dalam sebuah orasi?,
Untuk meneriakan bahwa kondisi kebanyakan kami sangat terjepit,
Dengan ekonomi yang semakin sulit,
Ketika kami ingin mengatakan sebuah kebenaran yang hakiki,
Gerak dan mulut kami langsung dibungkam,
Penahanan raga dalam jeruji besi menghantui,
Dan tidak ada yang bisa dilakukan selain terpaku dalam diam,
Wahai anak negeri, suaramu memang saat ini terkunci,
Diantara surau-suraumu yang sepi,
Tapi yakinlah, bahwa jiwamu tidak akan mati,
Selagi ragamu masih mampu berdiri,
Ingatlah kata-kata Bung Tomo dalam perlawanan di Surabaya,
Bahwa lawan akan masuk hingga ke kampung-kampung,
Sampai yakin rakyat akan menyerah, mengangkat tangannya,
Dan membawa bendera putih dan meminta kita datang, (liputan6.com, 2020)
Wahai anak negeri,
Jangan pernah menyerah karena kita masih punya senjata untuk bertahan,
Yaitu kebersamaan kita yang mungkin bangsa lain tak miliki,
Dengan motivasi untuk terus bergandengan tangan,
Turunkan bendera putihmu anak negeri,
Perlahan bangkit dan coba terus untuk gerakan kaki,
Takbir Lirihmu pasti memberi arti,
Meski mungkin tidak akan langsung kau rasakan hari ini,
Bagai terdengar pekik semangat Bung Tomo untuk bertahan,
“Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar,
Tuhan akan melindungi kita sekalian,
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” (liputan6.com, 2020)
Oleh:
Trismayarni Elen, S.E., M.Si
Praktisi dan Akademisi Akuntan // Pemerhati Bisnis dan Keuangan UMKM
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku Susah Payah Mati di Malam Hari Susah Payah Hidup di Siang Hari, Tolak Romantisasi Hujan dan Senja
-
Bongkar Pasang Kurikulum Pendidikan: Jangan Sampai Siswa dan Guru jadi Kelinci Percobaan!
-
Ulasan Buku Menjala Kunang-Kunang, Rayakan Patah Hati Lewat Sebuah Puisi
-
Ulasan Buku Pencurian Terbesar Abad Ini, Puisi dengan Perspektif Tak Biasa
-
Imabsi Gelar Kelas Karya Batrasia ke-6, Bahas Repetisi dalam Puisi
Sastra
Terkini
-
Makna Perjuangan yang Tak Kenal Lelah di Lagu Baru Jin BTS 'Running Wild', Sudah Dengarkan?
-
Ulasan Buku 'Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja', Bagikan Tips Jago Berkomunikasi
-
Puncak FFI 2024: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih 7 Piala Citra
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Ditanya soal Peluang Bela Timnas Indonesia, Ini Kata Miliano Jonathans