Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Budi Prathama
Ilustrasi baju baru. (Pixabay.com)

Mendengar momen lebaran, tentu tidak lekas dengan baju baru. Ya, baju baru memang selalu menjadi buruan orang-orang saat dekat lebaran maupun sudah lebaran. Tanpa baju baru seakan lebaran tak bermakna, merasa minder karena memakai baju yang sebelum-sebelumnya juga pernah dipakai. 

Hal itu memang lumrah terjadi, hari kemenangan dan kegembiraan sering dihiasi baju baru yang bertebaran di mana-mana. Berbagai model pun yang ditampilkan, dari yang bergaya sok artis sampai yang tampil seperti ustaz-ustaz, lagi-lagi tentu itu tidaklah salah selagi tak melanggar hak orang. 

Yang jadi mengusik pikiran kalau momen lebaran selalu identik dengan baju baru, dituding dan dihujat jika tidak memakai baju baru saat lebaran. Emangnya tanpa baju baru saat lebaran akan batal dilaksanakan atau bahkan tidak sah perayaan lebaran? 

Orang yang tidak memakai baju baru saat lebaran bukan berarti tidak menghargai momen lebaran atau tidak ikut tren bersama orang-orang yang memakai baju baru. Hanya saja, baju baru bukanlah hal prioritas yang diadakan saat lebaran. 

Atau bahkan ada juga yang memang tidak bisa beli baju baru, hanya karena banyak kebutuhan hidup yang lain. Meskipun sudah menerima THR, tetapi tidak semata-mata untuk pembelian baju baru. 

Saya sendiri untuk lebaran kali ini tidak membeli baju baru, bukan berarti saya tak punya uang untuk membeli baju baru. Jelas saya sangat punya untuk membeli baju baru, apalagi baru-baru ini juga saya menerima THR. Tapi tak sepersen pun saya gunakan untuk membeli baju baru. 

Alasannya sama saja, lebaran kali ini tidak mesti harus baju baru. Keistimewaan lebaran bukan karena baju barunya, tetapi makna dari lebaran itu sendiri.

Apakah betul kita sudah meraih kemenangan setelah berpuasa sebulan? Apakah perilaku dan sikap kita kepada orang lain tidak lagi ada unsur kebencian? Atau seberapa besarkah kepedulian kita kepada orang-orang yang tak bisa beli baju baru? Itu yang mesti kita renungkan. 

Memang budaya beli baju selalu dikaitkan saat lebaran, itu teringat sekali saat lebaran yang dulu-dulu pasti sibuk mempersiapkan baju baru untuk lebaran. Bahkan seakan sudah menjadi dogma, ketika hari lebaran harus pakai baju baru. 

Kalau tidak memakai baju baru saat lebaran seakan kita merasa minder, memakai baju yang itu-itu saja rasanya ada yang aneh. Membatasi diri untuk bergaul dengan orang-orang yang semuanya pakai baju baru. Atau memang ada yang sengaja seakan melirik-lirik dan berkata kok bisa ya di hari lebaran tidak memakai baju baru. 

Pikiran-pikiran seperti itu jelas hanya merusak mental kita saja, karena jangan sampai kita memaksakan diri untuk membeli baju baru padahal masih ada kebutuhan lain yang lebih prioritas. Hanya karena budaya beli baju baru sudah menjadi tradisi yang tak boleh ditinggalkan. Jelas itu kekeliruan yang tak patut diteruskan. 

Di sini bukan berarti saya tidak sepakat memakai baju baru saat lebaran, justru itu lebih baik. Selagi kita mampu, kenapa tidak. Selagi tidak mengganggu kebutuhan lain yang mendesak, boleh-boleh saja. Yang salah kalau sudah memaksakan akibat tradisi yang terjadi di masyarakat. 

Intinya mau pakai baju baru atau baju lama terserah, anggap semua biasa saja. Tak ada yang istimewa antara orang memakai baju baru dengan baju lama, atau bahkan tak boleh ada stratifikasi sosial hanya karena ia memakai baju baru. Di hari lebaran semuanya sama, dan bagi yang berlebihan punya harta ada baiknya untuk memperhatikan yang kekurangan harta. 

Jangan sampai saat lebaran, justru terjadi pemisahan kelas di masyarakat, orang yang memakai baju baru dikonotasikan sebagai kelas atas, apalagi kalau memakai baju mahal-mahal. Sementara itu, bagi yang tidak memakai baju baru dituding sebagai kelas bawah, jelas pemisahan kelas perlu ditentang, karena lebaran untuk semua dan kebahagiaan bersama.

Tidak ada yang istimewa, kalau pun ada yang istimewa, itu bukan lagi hak manusia untuk menilai, itu sudah menjadi hak prerogratif Tuhan. 

Budi Prathama