Isu lingkungan biasanya tidak lepas dari fenomena-fenomena umum yang selalu menjadi sorotan seperti limbah plastik sekali pakai atau sampah rumah tangga.
Namun, di balik keramaian tren dan konsumsi harian, terdapat salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia, yaitu industri fesyen cepat atau fast fashion.
Dilansir dari WasteManaged, secara global, industri fesyen menghasilkan sekitar 92 juta ton limbah tekstil setiap tahunnya. Hal ini berkontribusi secara signifikan terhadap pencemaran lingkungan, dengan industri ini bertanggung jawab atas 10% emisi karbon global.
Industri fast fesyen beroperasi berdasarkan model produksi yang cenderung masif, murah, dan cepat, yang secara langsung berimplikasi pada kerusakan lingkungan yang signifikan.
Secara tidak langsung fenomena ini berpotensi untuk menciptakan jejak ekologis yang sulit dihilangkan, mulai dari limbah tekstil yang menggunung hingga polusi air dan emisi karbon.
Proses pewarnaan dan pembilasan tekstil melepaskan polutan tingkat tinggi seperti Chemical Oxygen Demand (COD) dan Total Suspended Solid (TSS) ke dalam saluran air (Hadiwidodo dkk, 2009).
Ancaman yang tidak kalah serius adalah polusi mikroplastik. Pakaian yang terbuat dari serat sintetis seperti poliester, nilon, dan akrilik melepaskan serat mikroplastik saat dicuci. Serat ini, meskipun berukuran kecil, bersifat sangat persisten dan sulit terdegradasi secara sempurna (Khairunnisa dkk, 2024).
Lantas bagaimana kita sebagai generasi muda menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh industri fast fesyen ini yang lambat laun berdampak buruk bagi lingkungan di masa yang akan datang?
Salah satu hal yang dapat kita lakukan adalah dengan cara menerapkan gaya hidup lebih merdeka yang dapat diwujudkan melalui perubahan pola pikir dan perilaku konsumsi sehari-hari.
Salah satu cara paling efektif untuk melawan penjajahan ini adalah mendukung merek lokal yang berkelanjutan. Banyak desainer dan produsen lokal kini mulai beralih ke bahan-bahan ramah lingkungan, menggunakan proses produksi yang etis, dan memproduksi dalam jumlah terbatas.
Pakaian dari merek-merek ini mungkin tidak semurah produk fast fashion, tapi kualitasnya lebih baik dan jejak lingkungannya jauh lebih kecil. Membeli dari mereka adalah bentuk dukungan nyata terhadap masa depan lingkungan dan bumi yang lebih baik.
Selain itu, kemerdekaan dari fast fashion juga bisa ditunjukkan dengan memilih pakaian bekas atau thrifting. Gerakan thrifting atau berbelanja pakaian bekas telah menjadi fenomena populer di kalangan remaja, terutama di kota-kota besar.
Motivasi di balik tren ini beragam, termasuk harga yang relatif murah, kemampuan untuk menemukan barang-barang unik (limited edition), dan akses ke pakaian bermerek dengan biaya terjangkau.
Secara lingkungan, thrifting adalah tindakan positif karena memperpanjang siklus hidup pakaian dan mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan.
Gerakan ini tidak hanya mengurangi limbah tekstil yang menumpuk, tetapi juga memberikan nyawa kedua pada pakaian yang masih layak pakai.
Dengan membeli pakaian bekas, kita secara langsung menolak permintaan pasar yang mendorong produksi baru dan ikut serta dalam ekonomi sirkular.
Namun, di Indonesia sendiri fenomena ini tak jarang menimbulkan pro dan kontra. Maka dari itu dibutuhkan regulasi dari pemerintah agar memastikan bahwa fenomena thrifting tidak merugikan ekonomi domestik dan mendukung perdagangan ilegal.
Dengan demikian konsep merdeka dari fast fashion adalah tentang mengubah cara kita berpikir. Kemerdekaan sejati bukan tentang membeli lebih banyak, tapi tentang membeli lebih bijak.
Ini adalah sebuah hal kecil kecil yang bisa dimulai dari lemari kita sendiri, sebuah langkah sederhana yang menunjukkan bahwa kita peduli pada bumi dan ingin meninggalkannya dalam keadaan yang lebih baik untuk generasi mendatang.
Baca Juga
-
Bukan Sekadar Membaca: Kebijakan Resensi dan Literasi Kritis di Sekolah
-
Moderate Reader: Indonesia Peringkat Ke 31 Negara Paling Giat Membaca Buku
-
Jarak dan Trauma: Pentingnya Komunikasi Efektif dalam Novel Critical Eleven
-
Perjuangan untuk Hak dan Kemanusiaan terhadap Budak dalam Novel Rasina
-
Paradoks Literasi Gen Z: Mengapa Minat Baca Tinggi tapi Pemahaman Rendah?
Artikel Terkait
-
Peranan dan Strategi Pemuda dalam Penanggulangan Kebakaran Hutan
-
Moringa Oleifera: Suara Alam dalam Intrik Mistik dan Gema Reboisasi
-
3 Hal Sepele yang Diam-Diam Bikin Bumi Sakit!
-
Merdeka dari Energi Fosil: Menyelamatkan Bumi dengan Energi Terbarukan
-
Mengapa Perempuan Jadi Kunci Perubahan Gaya Hidup Ramah Lingkungan yang Lestari?
Kolom
-
The Let Them Theory: Self-Healing untuk Kamu yang Sering Overthinking!
-
Ironi Hari Guru: Ketika Cokelat Murid Dianggap Ancaman Gratifikasi
-
Kegagalan Sistem: Mengkritisi Pernyataan Mendikdasmen soal Nilai TKA
-
Refleksi Hari Guru Nasional, Fakta dan Harapan Para Pendidik Bangsa
-
Bukan Sekadar Membaca: Kebijakan Resensi dan Literasi Kritis di Sekolah
Terkini
-
Luna Maya Siapkan Nama Anak Bertema Alam, Ungkap Rencana Hamil Tahun Depan!
-
Kulit Sensitif dan Berjerawat? 4 Phycisal Sunscreen SPF 30 Anti-Whitecast
-
6 Jenis Makanan Terbaik untuk Mencegah Tulang Rapuh di Masa Depan
-
Inara Rusli Terseret Isu Orang Ketiga, Reaksi Mantan Mertua Jadi Sorotan
-
Panduan Nutrisi Anak: 7 Makanan Super yang Wajib Ada di Menu Harian