Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Budi Prathama
Momen foto bersama kader GMNI se-Indonesia pada Kongres ke-XX di Minahasa, Sulawesi Utara. (Dok.pribadi/@budiprathama)

Indonesia memang dikenal bangsa yang beragam, berbagai macam ras, suku, budaya, dan agama mampu terbalut menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita bersyukur sebagai warga Indonesia bisa hidup berdampingan dengan orang beda agama, namun tetap saling menghormati pada setiap penganut agama. Inilah ciri khas bangsa kita Indonesia yang mungkin sulit ditemukan di negara lain. 

Bicara soal keberagaman, tentu saya tak bisa mengelak bahwa saya merasakan banyak di organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Organisasi ini memang dikenal sebagai organisasi berwatak nasionalis dengan idelogi perjuangan selalu bercermin pada marhaenisme ajaran Bung Karno. 

Tahun 2016 awal saya masuk di organisasi GMNI cabang Majene, waktu itu ketua cabang masih di bawah kepemimpinan bung Muid yang sekarang sudah menjadi pengurus pusat di bawah kepemimpinan Arjuna Dendy.

Setelah bergelut di GMNI makin saya rasakan arti persaudaraan dari berbagai daerah, mampu bersahabat dengan banyak tipe pemikiran, serta bersaudara dengan yang beda agama. Melalui itu pula, pemikiran yang dulu enggan berkawan yang beda agama kini bukan lagi soal. Persahabatan tidak lagi pandang suku, budaya, maupun agama. 

Hal itu makin saya rasakan saat menghadiri Kongres GMNI ke-XX di Minahasa yang digelar pada tanggal 15-19 November 2017, di Minahasa, Sulawesi Utara. 

Waktu itu tiga cabang dari Sulawesi Barat, yakni GMNI Mamuju, GMNI Majene, dan GMNI Polewali Mandar berangkat ke Minahasa, Sulawesi Utara dengan kendaraan bis. Kebayang tidak perjalanan dari Sulawesi Barat menuju Minahasa, kami bisa tempuh empat hari empat malam dengan kendaraan bis. Waktu itu memang bis terus melaju dan hanya beberapa jam saja pernah singgah, itupun singgah karena ingin makan. 

Awal pengalaman bagi saya berkendara sejauh itu dengan memakai kendaraan darat, walau dalam perjalanan ada puyeng dikit di kepala yang datang. Namun yang jelas perjalanan itu mengundang banyak cerita dan tentu sulit untuk dilupakan. 

Sesampai di lokasi Kongres, tepatnya di Hotel Graha Gubernuran Manado, Sulawesi Utara (Sulut), terlihatlah wajah warga Indonesia seutuhnya. Berbagai kawan datang dengan budaya dan karakternya masing-masing. Ada yang dari Papua, Ambon, Sulawesi, Jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Kami bisa terhimpun dengan wadah GMNI dan melalui Kongres itu pula saya bisa menyaksikan keberagaman yang luar biasa. 

Saling sapa dan ingin kenal terjadi pada momen Kongres tersebut, bahkan tukar nomor WhatsApp kerap dilakukan di antara kami sebagai kader GMNI. Hal itu tak lain karena pertemanan dan persaudaraan tidak mesti satu daerah, tidak mesti satu agama, dan tidak pandang pula dari cabang mana mereka tinggal. 

Keberagaman dan bisa bersahabat seperti itu jelas tak saya temui waktu masih di daerah, sehingga melalui itu saya beranggapan bahwa memang Indonesia unik. Keberagaman Indonesia tak akan dapat didapatkan pada bangsa lain. Saya merasa saat menghadiri Kongres tersebut persahabatan makin meluas tanpa pandang bulu, suku, dan agama. Kongres itu mempertontonkan pada diri saya bahwa sebenarnya saya melihat Indonesia mini. 

Budi Prathama