Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sapta Stori
Ilustrasi Seseorang yang sedang Membaca Buku Peribahasa (Unsplash/Alexandra Fuller)

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi atau sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan dan maksud seseorang. Lebih dari itu, bahasa menjadi identitas bagi suatu bangsa dan negara, seperti halnya bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional kita. Setiap bahasa memiliki kaidahnya tersendiri. Karenanya, tak hanya semata-mata lancar berbicara, belajar bahasa dan menguasai kaidahnya juga menjadi sesuatu yang penting.

Dewasa ini, kita semakin sadar dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kita terus belajar mengenai bahasa baku dan tidak baku, pemakaian tanda baca dan aturan huruf kapital. Namun, di sisi lain, ada suatu bagian dari bahasa Indonesia yang semakin hari semakin tidak terdengar gaungnya: peribahasa. Padahal, peribahasa Indonesia begitu sarat akan tuntunan hidup.

Peribahasa erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, karena mengandung norma, nilai, serta adat istiadat yang dianut sebuah bangsa. Lebih lanjut, peribahasa menjadi tuntunan kita dalam menjalani kehidupan. Contohnya saja, peribahasa Indonesia yang berbunyi, “Bak ilmu padi, kian berisi kian runduk.”

Ungkapan tersebut mengajarkan kita untuk selalu rendah hati. Peribahasa lainnya berbunyi, “Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, orang mati meninggalkan nama.” Peribahasa ini mengandung nasihat bahwa kita harus selalu berusaha menjadi orang yang baik, karena orang baik akan meninggalkan nama baik setelah ia tiada, begitu pun sebaliknya.

Peribahasa juga turut berperan dalam membentuk keluarga yang ideal. Contohnya peribahasa yang berbunyi, “Air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga,” yang berarti sifat anak tidak akan jauh dari sifat orang tuanya. Jika setiap orang tua mengingat peribahasa ini, mereka tentu akan senantiasa memperhatikan sifat-sifatnya. Sebab, sebagian besar sifat anak menurun dari sifat orang tuanya sendiri. Jika orang tua menginginkan seorang anak yang bersifat baik, maka sifat orang tuanya dulu yang harus baik, karena orang tua merupakan teladan bagi anaknya.

Ada pula peribahasa, “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan.” Peribahasa ini menunjukkan bahwa sebanyak apa pun cinta kasih yang diberikan anak kepada ibunya, itu tetaplah tidak akan bisa menandingi banyaknya cinta kasih ibu kepada anak. Melalui peribahasa ini, seorang anak dapat belajar memahami bahwa sebanyak apa pun harta dan cinta yang diberikannya kepada ibunya, ia tidak akan bisa membalas jasa atau menyaingi cinta sang ibu.

Peribahasa juga turut menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat, seperti peribahasa yang berbunyi, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Peribahasa yang cukup terkenal ini berarti ketika kita tinggal atau berkunjung ke suatu tempat, kita haruslah menghormati adat istiadat yang berlaku. Peribahasa ini membawa ajaran bahwa kita tidak boleh berucap atau berbuat sesuka hati saat berada di suatu tempat, serta harus menjaga diri untuk tetap berperilaku sesuai dengan adat dan norma yang berlaku di tempat tersebut. Dengan demikian, hubungan kita dengan masyarakat tetap terjalin dengan baik.

Contoh lainnya ialah peribahasa yang berbunyi, “Berat sama dipikul ringan sama dijinjing.” Peribahasa ini mengingatkan kita untuk tetap bersama dalam suka dan duka. Sebab, begitulah idealnya hubungan sesama manusia. Tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri, karenanya kita harus saling membantu dan saling menyokong dalam setiap situasi.

Ada begitu banyak peribahasa Indonesia yang patut untuk tetap kita ingat dan sudah semestinya kita lestarikan, karena peribahasa Indonesia merupakan salah satu warisan budaya yang memegang peranan begitu penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peribahasa penuh dengan ajaran dan tuntunan hidup, karenanya penting untuk kita untuk menelaah makna yang terkandung di dalamnya.

Sapta Stori