Telah kita tahu bersama, bahwa bangsa Indonesia memiliki banyak suku, agama, ras dan budaya. Hal itu dapat kita lihat, mulai dari Sabang hingga Merauke. Nah, beragamnya perbedaan tersebut telah menjadi semboyan bagi Indonesia sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda namun tetaplah satu.
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang digunakan untuk menggambarkan arti persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sebagai negara pluralis.
Dimana semboyan itu merupakan prinsip dasar dari Nasionalisme yang melebur ke dalam semangat dan cita-cita universal. Cita-cita yang mewujudkan persaudaraan dan persamaan seluruh umat manusia.
Melihat semangat nasionalisme kita di era sekarang ini sebenarnya masih menjadi tanda tanya besar. Pasalnya, ada banyak propaganda yang justru berusaha memecah parsatuan bangsa kita.
Aksi seperti itu bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia, bahkah berkali-kali sudah terjadi. Seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang sering kali melakukan aksi diluar dari konteks persatuan. Padahal, upaya seperti itulah yang justru dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, itu sebabnya karena kurangnya pemahaman kebangsaan dan wawasan nusantara.
Belajar dari hal tersebut, mestinya semangat Nasionalisme dapat menjadi prinsip hidup. Namun, sebenarnya ada hal menarik yang masih bisa saya temukan dan ingin dituliskan, sebagai perwujudan dari konsep Nasionalisme. Atau bahasa populernya sebagai perwujudan dari Dasar Negara yaitu Pancasila.
Tepat, lima bulan yang lalu ketika saya melakukan pendidikan Praktek Kerja Lapangan (PKL) sebagai syarat bagi mahasiswa pasca sarjana di dalam suatu Universitas. Kejadiannya, dimana saya salah satu dari beberapa orang Islam yang tinggal bersama mayoritas non Islam, justru ada kesan mendalam.
Kejadian dan kesan yang begitu langka telah saya dapatkan di daerah tersebut yakni Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. Suatu daerah yang amat terkenal dengan adatnya, bukan hanya di Indonesia tetapi sampai di luar negeri. Hebatnya, adat dan budaya tersebut sampai saat ini masih tetap terawat dengan baik.
Berikut beberapa kesan yang saya dapati ketika berada di tempat tersebut.
1. Tidak ada yang saya dapatkan mengenai sekte-sekte agama. Justru, mereka masing masing mengerjakan perintah agamanya, bahkan saling menghargai antar agama satu dengan agama yang lain. Sebagai contoh ketika hari Minggu semua orang dilarang membuat keributan ketika datang waktu ibadah mereka ke gereja, namun ketika masuk hari Jumat orang non muslim pun bahkan tak segan mengingatkan orang Islam bahwa ini adalah waktumu untuk beribadah.
2. Dalam segi adat istiadat terutama pada acara kematian, dimana tidak ada larangan bagi agama lain untuk mengikutinya bahkan yang beragama Islam pun dapat ikut serta didalamnya, bahkan di sediakan tempat khusus untuk orang Islam.
3. Untuk penjamuan tamu, prinsip masyarakatnya mengatakan bahwa mereka akan berdosa ketika memberikan apa yang tidak dimakan (haram) kepada agama lain. Bahkan, mereka menyediakan alat makan khusus untuk tamu yang tidak pernah sama sekali mereka gunakan untuk makan atau pun minum.
4. Konsep gotong royong tercermin jelas pada saat pembuatan rumah Tongkonan (rumah khas Toraja yang biasa digunakan sebagai tempat untuk menyimpan padi dan bersantai). Saat pembuatan rumah Tongkonan tersebut, terlihat jelas masyarakat setempat saling bekerjasama guna meringankan pengerjaannya.
Itulah keempat hal penting diantara beberapa hal yang saya temukan di wilayah ini, yang bagi hemat saya merupakan hal pokok yang harus kita pelajari ulang, dan harus kita tanamkan kepada generasi kita. Agar konsep kebangsaan selalu tertanam dalam jiwa kita dan generasi yang akan datang sebagai bentuk untuk menghalau paham yang berusaha memecah bela bangsa dan negara.
Oleh karena itu, gagasan nasionalisme seperti itulah yang disebut oleh Soekarno sebagai 'Nasionalisme is Humanity', yaitu pengakuan dan penghargaan terhadap semua manusia, tanpa memandang suku, ras, dan agama. Begitu pula disebutkan pada pidatonya 1 Juni 1945, yang dikenal dengan hari lahirnya Pancasila, dimana Soekarno berbicara tentang konsep negara "semua untuk semua".
Meskipun, kita hidup di negara yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama bahkan dialek bahasa yang bermacam macam, bukan berarti persatuan dan kesatuan itu sulit untuk dicapai. Bahkan, mestinya itulah yang membuat kita kaya karena mampu bersatu dengan banyaknya perbedaan.
Dengan demikian, Nasionalisme seperti itulah yang harus kita bangun dan tanamkan mulai sejak dini bahkan kepada diri kita sendiri. Dengan memperdalam pengetahuan tentang kebangsaan guna memperkokoh persatuan dan kesatuan suatu bangsa. Sejatinya itu mampu diimplementasikan kedalam pola pikir, pola tindak dan pola sikap yang senantiasa mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
13 Warisan Budaya Tanah Air Diakui UNESCO, Fadli Zon: Indonesia Siap Jadi Kiblat Budaya Dunia
-
Derita Morowali: Lonjakan Penyakit dan Pencemaran Warnai Pilkada Sulteng
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
-
Melihat Perjalanan Perupa Korsel Hyun Nahm di Indonesia Lewat Pameran Kawah Ojol
-
Etika Menjaga Kelestarian Destinasi Alam
Kolom
-
Kolaborasi Tim Peserta Pilkada Polewali Mandar 2024 Melalui Gerakan Pre-Emtif dalam Pencegahan Politik Uang
-
Generasi Alpha dan Revolusi Parenting: Antara Teknologi dan Nilai Tradisional
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
-
Indonesia ke Piala Dunia: Mimpi Besar yang Layak Diperjuangkan
-
Wapres Minta Sistem Zonasi Dihapuskan, Apa Tanggapan Masyarakat?
Terkini
-
4 Rekomendasi Mix and Match OOTD Chic ala Miyeon (G)I-DLE, Bikin Penampilan Lebih Modis
-
Hari Pertama Pakai Yamaha, Miguel Oliveira Bilang Motor M1 Sangat Ramah
-
Ronaldo Kwateh Masuk Skuad Piala AFF 2024, Saatnya Bayar Kepercayaan STY?
-
3 Sheet Mask Mengandung Aloe Vera Ampuh Atasi Sunburn, Harga Mulai Rp5 Ribu
-
Novel Dia Adalah Kakakku, Perjuangan Seorang Kakak Mewujudkan Cita-Cita Adiknya