Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Dede Suryanti
Ilustrasi pita merah (Pixabay)

Indonesia sekarang tengah digegerkan oleh melonjaknya kasus HIV/AIDS, data yang tengah banyak diperbincangkan dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di salah satu provinsi di Indonesia, yaitu mengenai jumlah kasus di Jawa Barat yang menembus angka 19.860 kasus, dengan kasus barunya mencapai 2.216 kasus.

Tak sampai di situ, kabar yang banyak dimuat berbagai media massa pun sangat gamblang menyatakan bahwa banyaknya para suami yang berbuat nakal dengan cara "jajan" di luar. Fakta yang disuguhkan sungguh sangat ironis.

Di sisi lain, HIV/AIDS tentu bukan sebuah permasalahan yang sepele, bayangkan jika menjadi pengidap, harus mengonsumsi obat secara terus menerus dan berusaha untuk tidak menularkannya kepada orang lain.

Pemerintah sampai menerbitkan kebijakan pemberian obat antiretroviral (ARV) kepada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Artinya, ini bukan hal sepele, negara kita sudah krisis HIV/AIDS.

Bukan hanya pengidap yang harus berperan penting, Namun, seluruh lapisan masyarakat harus ikut berperan dalam proses pencegahan dan pemutusan mata rantai penularannya. 

Melihat dari data yang ada, ketidakjujuranlah yang menjadi faktor terbesar dalam penularan. Ketika seorang pasangan mulai tidak jujur dengan riwayat seks/berhubungan intim, maka dari situ sudah terlihat pasangan bukan orang yang bertanggung jawab.

Perlu digarisbawahi, bertanggung jawab dalam hal ini bukan hanya dari risiko memperoleh keturunan di luar pernikahan, namun juga pada riwayat kesehatan pasca berhubungan seks. 

Selain dari kejujuran, hal penting lainnya ialah keharusan untuk mengontrol diri agar tidak melakukan perilaku seks yang menyimpang. Anehnya, angka penularan semakin tinggi, meskipun sudah banyak pemberitaan mengenai bahaya perilaku seks menyimpang dan data mengejutkan terkait penularan HIV/AIDS.

Fakta-fakta tersebut masih belum cukup untuk menekan angka penularan, padahal sudah jelas di depan mata, yang terjadi adalah terenggutnya kesehatan seorang manusia akibat kelalaian orang lain. 

Kurangnya pendidikan seks patut dijadikan salah satu sebab mata rantai penularan masih tetap ada. Kepala desa, bupati, gubernur, bahkan menteri juga rektor semestinya menyisipkan program pendidikan seks bagi seluruh Institusi yang dinaunginya.

Jika memang diperlukan, pendidikan seks harus diterapkan pada anak-anak yang memasuki usia pubertas dan pasangan yang hendak menikah. Malah lebih baik, pendidikan seks juga menjadi salah satu materi pelatihan di perusahaan atau instansi pemerintahan. 

"Jajan"/prostitusi juga menjadi penyebab dari penularan HIV/AIDS, Jika ketidakjujuran masih susah untuk dilaksanakan, berarti harus ada upaya refresif yang ditegakkan. Artinya, hukumanlah yang harus digunakan.

Prostitusi menjadi bahan bakar bagi penularan HIV/AIDS, jika kehadirannya makin kian subur dan pelanggan makin kian banyak. Tentu hal ini yang harus diberantas sampai keakar-akarnya. 

Maka di sini peran hukum untuk meluruskannya, menimbang bagaimana proses hukum bisa dilakukan untuk para korban penularan HIV/AIDS akibat kelalaian orang lain.

Bagi orang yang menggunakan pelayanan prostitusi online atau orang yang memakai penjaja seks bisa dikenakan sanksi berdasarkan pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang perzinahan, dengan sanksi berupa pidana penjara selama-lamanya 9 (sembilan) bulan. 

Tak cukup sampai di situ, para mucikari dan orang yang terlibat dalam prostitusi online, baik yang menawarkan prostitusi secara langsung maupun tidak langsung,  seperti mengiklankan dengan mencantumkan kriteria pekerja seks, mencantumkan foto pekerja seks, harga dan waktu, bisa dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 30 junto Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi.

Dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.0000,- (tiga miliar rupiah). 

Hukum harus bisa melindungi seluruh warga negara, hak konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hak konstitusional ini dimiliki oleh setiap individu warga negara tanpa pembedaan, baik dari suku, agama, keyakinan politik, maupun jenis kelamin. Dalam hal ini, para penderita HIV/AIDS yang tertular akibat kelalaian atau ketidakjujuran orang lain, sepatutnya dilindungi hak dan martabatnya. 

Contohnya, jika seorang penderita HIV/AIDS dengan sadar sengaja menularkannya kepada orang lain, maka ia akan mendapatkan hukuman yang berat.

Hal ini pernah terjadi di negara lain, yaitu di Italia tahun 2017, di mana seorang Pria menularkan HIV kebeberapa wanita, sehingga pengadilan Italia menjatuhkan hukuman 24 tahun penjara/seumur hidup.

Jika Indonesia membuat aturan atau regulasi yang mengatur secara tegas mengenai akibat hukum penularan HIV/AIDS, maka akan dipastikan menekan angka penularannya. 

Penegakan hukum akan menjadi solusi akhir untuk menjaga dan melindungi kebebasan, nyawa, dan keamanan seseorang dari pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Jika pemutusan mata rantai ini tidak menjadi tanggung jawab kita bersama, maka siapa yang akan menanggung akibatnya? Tentu generasi yang akan datang.

Dede Suryanti