Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Aji Prasanto
ilustrasi keluarga harmonis (pexels.com/August de Richelieu)

Membicarakan suatu hubungan percintaan tentu tidaklah ada habisnya, berbab-bab serta berseri-seri. Bahagia dan derita yang menimpa menjadi pupuk yang menyuburkan pohon cinta yang ditanam bersama. Terik matahari yang menyinari memberi kehangatan, dari dinginnya udara musim pancaroba, yang menjadi saksi tumbuhnya suatu hubungan cinta.

Beberapa orang percaya bahwa dengan menjalani ikatan cinta yang dicatat oleh negara (Menikah) menjadikan serta senantiasa menumbuhkan kebahagiaan dalam kehidupan di dunia, terlebih lagi dengan adanya sang buah hati semakin melengkapi kebahagiaan dari sebuah hubungan cinta.

Namun ini dunia nyata, bukan kehaluan yang ada di benak kita. Tentu banyak hal yang perlu kita persiapkan dalam menjalani kehidupan rumah tangga, dari berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi serta hal-hal yang datang secara tiba-tiba hingga dapat mengejutkan kita.

Banyaknya kisah cinta yang ada di dunia menjadi pelajaran penting yang dapat kita pelajari setiap harinya. Kisah romantis dan bahagia merupakan suatu anugerah besar dari pemberian Yang Kuasa, tapi bagaimana dengan kisah sedih dari berbagai hubungan cinta serta derita yang menimpa di dalamnya.

Kita dapat melihat berbagai kasus dalam rumah tangga yang mana seringkali terekspos oleh media, diantaranya tentang perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, hubungan yang kurang harmonis karena faktor ekonomi, serta pemahaman pengasuhan anak dari orang tua yang kurang baik, belum lagi tentang mertua yang dirasa suka membuat perasaan terluka. Hal tersebut tentunya dapat kita lihat juga dengan jelas pada lingkungan sekitar kita.

Dari kasus tersebut, kita diantarkan pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dimana data tersebut menunjukan bahwa kasus perceraian di tahun 2021 terdapat 447.743, angka tersebut mengalami kenaikan 53,50% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dimana tercatat perceraian sebanyak 291.677 pada 2020. Banyaknya kasus perceraian tersebut ditunjukan dengan 337.343 kasus atau 75,34% perceraian terjadi karena cerai gugat, yaitu dimana perkara yang gugatannya diajukan oleh pihak istri yang telah diputus oleh Pengadilan.

Dengan adanya kasus tersebut, tentunya kita yang belum menikah bahkan masih independen (single) dalam menjalani kerasnya kehidupan, merasa memiliki ketakutan tersendiri dalam menjalani kehidupan berumah tangga.

Dapat secara umum kita amati bahwa maraknya kasus perceraian yang terjadi bukanlah disebabkan dari faktor yang terjalin antara pasangan suami istri saja, namun bagaimana faktor lainnya baik dari lingkungan sekitar, keluarga besar, serta dorongan ego diri pribadi, dan juga media sosial. Begitulah menurut saya bagaimana kompleksnya masalah dalam rumah tangga tersebut.

Kita dapat amati dari budaya yang menjadi konstruksi sosial masyarakat yang mana banyak sekali dorongan bahwa wanita di umur sekian tahun harus sudah menikah, tidak boleh pilih-pilih, dan lain sebagainya. Sehingga menjadi dorongan untuk cepat-cepat menikah agar tidak menjadi perawan tua seperti apa yang banyak dilakukan di kalangan masyarakat kita. Hal tersebut tentunya menjadi seolah-olah dibenarkan serta menjadi kriteria umum dalam perjalanan hidup seseorang. Tentunya dengan melihat maraknya kasus perceraian yang terjadi, ini tidak bisa terus dibenarkan dan dijalankan.

Tidak hanya itu, lingkungan sekitar serta media sosial menjadi penipu ulung dalam indahnya hinga-bingar dunia yang menjadikan kelenaan serta dorongan yang meningkatkan keinginan-keinginan semu keduniaan. Jika kita kemas secara ringkas pokok permasalahan tersebut yaitu ekonomi dan juga pengetahuan yang masih dirasa kurang untuk menjalani suatu hubungan pernikahan.

Dari pasangan yang dapat dikatakan belum cukup dewasa ini, masalah lain yang timbul adalah sikap dalam menghadapi keinginan orang tua serta masalah dalam pola asuh anak yang kurang baik.

Masalah dengan orang tua, baik orang tua kandung ataupun mertua menjadikan kehidupan rumah tangga menjadi kurang harmonis jika tidak bisa menyikapinya dengan baik. Hubungan yang kurang harmonis ini tentu akan berpengaruh dengan tumbuh kembang sang buah hati, seperti apa yang disebutkan dalam artikel halodoc.com dengan judul Dampak Keluarga yang Tidak Harmonis pada Psikologi Anak. Dalam artikel tersebut dijelaskan beberapa dampak yang akan terjadi diantaranya membuat anak menjadi stres, anak bersikap agresif dan kasar, anak akan menjadi lebih pendiam serta anti sosial, anak kehilangan figur teladan, anak kurang memiliki rasa percaya diri, terganggu dalam pendidikan, dan anak akan beresiko memiliki masalah kesehatan mental ketika dewasa.

Dari hal tersebut, kita sebagai seorang yang belum menikah ataupun sudah menikah sepatutnya untuk mempunyai kesadaran akan masalah tersebut. Sehingga dengan memiliki kesadaran kita pastinya akan sedikit banyak belajar untuk mengetahui bagaimana mengantisipasi serta menanggulangi masalah tersebut.

Aji Prasanto