Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | David Efendi
Peran kecendiakawanan, dua dosen PTM mengawal kasus Tambang Trenggalek (Dok. Pribadi/daavidefendi)

Setidaknya ada tiga tantangan besar yang dihadapi oleh akademisi di Universitas terutama kelompok elit yang punya tangan kekuasaan di dalam memimpin organisasi besar di dunia kampus atau universitas. Tiga hal penting ini juga akan memberikan penanda sangat serius mengenai gonjang-ganjing apa yang dikatakan oleh Peter Fleming sebagai fenomena The Dark Academia, abad kegelapan lembaga penerangan akal budi. 

Tiga tantangan ini bukanlah hal tabu. Ini juga bukan persoalan yang didistorsi dengan hanya perkara citra universitas yang harus terus-menerus dikesankan baik walau 'dalemannya' ambyar. Pertama adalah problem kegelapan kasus penyimpangan moral berupa kekerasan dan skandal seksualitas. Banyak sekali pelanggaran-pelanggaran etik moral yang berujung pada skandal seksualitas dilakukan oleh sesama pengelola lembaga pendidikan dosen ke dosen, dosen ke mahasiswa dan seterusnya.

Gilanya dan naasnya, dari sekian banyak kasus yang diriset ada sekian banyak kekerasan dan pelecehan seksual justru terjadi di lembaga pendidikan yang notabene adalah lembaga yang didapuk sebagai lembaga akal budi, marwah stadion akal, yang menjadi pusat produksi mencetak generasi yang punya empati terhadap nilai-nilai moralitas sosial, politik, ekologis, kebudayaan.

Satu peristiwa, misalkan, kontroversi Permendikbud sepertinya sunyi di dalam kampus tidak ada satu pun kampus yang menyelenggarakan seminar tentang pelecehan seksual yang dialamatkan oleh Permendikbud kepada dunia kampus ini. Bahkan diam-diam kesannya menolak setiap upaya penghapusan kekerasan seksual masuk kampus. Demi nama baik kampus? 

Gejala yang sangat aneh seolah-olah para pemangku persoalan dan solusi diam seribu bahasa. Tidak sedikit kampus PTS PTN (perguruan tinggi) sedang ketakutan diguncang oleh Permendikbud dan satu persatu mulai dari Unsri Riau, kampus di Jogja, dan banyak tempat lainnya mengalami kegoncangan yang luar biasa. Sejatinya, tidak ada yang bisa terus-menerus disembunyikan jika itu adalah bau busuk serapi apapun itu disembunyikan akan terendus juga bau busuk peradaban.

Kebenaran akan datang melintas menerpa kita yang punya kesempatan mendapatkan hidayahnya kecuali kekafiran yang menutup mata dan telinga. Itu baru perkara pertama tetapi itu menjadi sentimen yang paling dahsyat ketika kekerasan seksual itu diungkap jauh lebih dahsyat dari perkara kedua yang disebut dengan skandal publikasi dan riset predatoris.

Fenomena banyaknya persoalan penelitian-penelitian pesanan, naskah akademik pesanan (bagian permufakatan jahat) yang penuh dengan hasrat merusak independensi pihak kampus. Banyak dosen menjadi saksi ahli untuk korporasi, menjadi saksi ahli untuk meringankan koruptor, menjadi saksi ahli untuk melegitimasi berbagai macam proyek pembangunan dan penambangan yang menghina akal sehat serta merusak ruang hidup manusia.

Duka dan derita yang luar biasa dialami masyarakat rentan di berbagai sudut tanah air, apa yang diupayakan kampus? Di kampus tak banyak intelektual berada di sisi perjuangan masyarakat, bahkan justru merawat mental-mental oportunis pragmatis dan menjadikan alam semesta menjadi objek dari keserakahan keserakahan oligarki. Kaum pemodal tentu bisa membayar akademisi lebih mahal ketimbang mengurus advokasi popular yang tidak ada honornya. Demi tulisan orderan yang memelaratkan ini juga seringkali mahasiswa terbengkalai karena berbagai macam urusan urusan kesibukan-kesibukan diluar urusan intelektual organik.

Skandal publikasi ini bukan hanya itu yang terjadi new liberalisasi pendidikan juga menjadikan mental-mental oportunis menjadi broker sana sini untuk membantu pihak-pihak tertentu untuk bisa menjadi memperoleh honoris causa bisa untuk mendapatkan profesor causa. Untuk bisa mendapatkan profesor yang ini bisa menjadi skandal "Yang Maha Besar". Skandal yang meruntuhkan dunia akademik sendiri yang dibangun bertahun-tahun dengan kepayahan yang teramat sangat. Ibarat kemarau dunia pendidikan yang tak ketulungan.

Mentalitas akhlak dan perkara akhlak publikasi apa yang saya sebut dengan akhlaqul madzmumah sebagai puncak dari ambisi publikasi seringkali menelantarkan etika, menelantarkan persahabatan bahkan sangat tega mencuri karya milik sesama kolega. Ini adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji dan jauh dari nilai-nilai keunggulan dan Islamiyah. Dunia scopus makin memperlihatkan mudharatnya ketimbang maslahat bagi seru sekalian alam. Tidak banyak yang membaca tetapi dampak buruknya sistemik ke mana-mana. Ada dosen yang memaksakan ambisinya kepada mahasiswa, dan kekerasan mulai melanda. Jurnal predator makin banyak dan saling bermutualisme dengan entitas broker jurnal di berbagai arena.

Perlu ada ketegasan dari pihak universitas di manapun berada untuk memagari untuk mengantisipasi lahirnya kriminal yang jumlahnya mungkin sejak pemeringkatan dan syarat-syarat administrasi kader dosen yang terus-menerus menjebak mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang menabrak etika intelektual jadi permisif terhadap gejala-gejala pencurian academik.

Terakhir, saya sangat tergelitik dengan apa yang di tulis oleh seorang jurnalis investigatif dan produser film dokumentar apik namanya Dandhy Laksono. Menurutnya ada empat kebobrokan dunia kampus antara lain: rektor-rektor lomba menjadi komisaris, melakukan kekerasan seksual, menjual ijazah/gelar, dan menjadi bagian dari masalah korupsi. Banyak praktik korupsi dan otoriterian juga dinormalisasikan dalam kehidupan kampus.

Tentu ini PR besar bagi peran kecendikiawanan yang kain senja kala dan menuju pada arus matinya univesitas. Kepakaran juga menjadi kekelakaran karenanya banyaknya kelucuan di kampus seperti pemaksaan memberi nilai pada mahasiswa doktoral (pejabat) yang tidak pernah kuliah (kasus Unhas yang 7 guru besar mogok mengajar).

Alih-alih memperkuat gerakan advokasi kerakyatan atau mendayagunakan pendidikan popular, kampus menjadi complicated dengan persoalannya sendiri (sibuk urusan dapurnya sendiri). Alih-alih mendemokratisasi kehidupan kampus, rektor dan dekan berlomba-lomba mendekati gerak oligarkis yang bisa menguntungkan secara materi dan karier mereka dan yang tidak kalah buruknya adalah fenomena kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh akademisi dalam hal ini adalah dosen yang sore meruntuhkan moral etis dari keberadaan sebuah universitas.

Laporan Majalah Tempo, mayoritas kasus seksual mangkrak di rektorat. Ada sangat banyak korban justru dikelahkan oleh skandal elit kampus dan pelaku kekerasan serta pelecehan aman-nyaman damai sejahtera di bawah payung perlindungan kampus. Adab dipendam, kuantitas publikasi dijunjung tinggi. Inilah matinya moral intelektual yang pedih.

Jamaah sidang pembaca yang budiman, tulisan ini berdoa dengan sepenuh optimisme untuk mendapatkan keberkahan dan pencerahan yang terus-menerus pada akal kira dan kita kejar agar senantiasa Allah membimbing kita di dalam jalan-Nya yang benar, menerangi hati pikiran dan karya-karya akademi-akademisi kita supaya bisa menjadi obor peradaban, buka pembunuh peradaban yang dimulai dari bunuh diri universitas pusat pencerahan. Semua kebenaran akan selalu menang, yang tidak benar jangan terus menerus dibiarkan terpendam. 

Video yang mungkin Anda suka

David Efendi