Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Riska Fatma Meinarty
Ilustrasi Cara Pandang Orang terhadap Uang (Freepik/jcomp)

Siapa sangka, gaya hidup mewah menjadi salah satu faktor yang mendukung pertumbuhan ekonomi secara positif. Pertumbuhan ekonomi ini dihasilkan dari aktivitas belanja dan pengeluran konsumsi rumah tangga yang dapat meningkatkan mobilitas siklus finansial. Namun, gaya hidup mewah yang dimaksud tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Hanya para kalangan kelas atas (upper class) yang dapat menggerakan roda ekonomi secara positif melalui aktivitas belanjanya.

Faktanya, hal ini tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia, banyak kalangan menengah sampai menengah bawah (middle to low class) turut menerapkan konsep gaya hidup mewah. Alih-alih mendukung pertumbuhan ekonomi, mereka membuat Indonesia terjebak dalam kelas ekonomi menengah bawah. 

Dilihat dari mayoritas masyarakat Indonesia yang notabene berasal dari kalangan middle to low class. Mereka yang berada di kalangan ini sulit untuk “menaikkan” kelasnya. Hal ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh kekuasaan para kapitalis. Para kapitalis mempunyai aset kekayaan seperti properti, saham, bahkan koneksi yang diwariskan kepada anak – cucunya, hal ini lah yang menghilangkan kesempatan kelas menengah bawah untuk “pindah” kelas. 

Bagi mereka yang memiliki modal besar, akan lebih mudah menciptakan suatu usaha tanpa menimbang risiko. Meskipun gagal, mereka tidak akan khawatir karena modal yang dipertaruhkan tidak seberapa. Namun, jika berhasil, mereka akan mendapatkan profit yang berlipat ganda. Sementara, bagi masyarakat kalangan menengah, mereka harus berpikir dua kali dengan risiko yang dihadapi, sehingga peluang meningkatkan kekayaan juga terbatas.

Selain itu, para upper class mempunyai warisan tak kasat mata yang dipegang oleh keluarga secara turun-temurun berupa money scriptsmindset terhadap uang.

Menurut penelitian yang dilakukan Brad Klontz dan Ted Klontz (2011) dalam Money Beliefs and Financial Behaviors: Development of the Klontz Money Script Inventory, mereka membagi money script ke dalam empat kategori, yakni: money avoidance, money worship, money status, dan, money vigilance

Sederhananya, money avoidance, menganggap uang itu jahat karena bisa meningkatkan ketakutan dan kecemasan. Orang-orang yang menganut pandangan ini bisa sampai menghindari pengeluaran utama (primer). Money worship, menganggap uang sebagai sumber kebahagiaan karena bisa memecahkan masalah mereka. Namun, mereka tidak pernah merasa cukup dan terkesan serakah.

Money status, menganggap status dan harga diri dinilai dari uang. Orang yang menganut pandangan ini mempunyai tingkat kompetitif yang tinggi dan cenderung suka pamer. Terakhir, money vigilance, menganggap uang sebagai topik sensitif yang bersifat privat dan harus dijaga baik-baik, mereka cenderung mempersiapkan finansial untuk situasi darurat.

Pandangan soal uang ini secara tidak sadar akan berpengaruh pada keputusan dan perilaku yang diambil seseorang dalam hal finansial. Masyarakat kalangan menengah bawah jarang sekali diajari atau diwarisi pandangan terhadap uang ini sehingga pengelolaan finansial mereka cenderung sulit berkembang.

Analoginya, para kelas bawah (low class) biasa membeli produk eceran yang lebih murah, tetapi saat dijumlahkan ternyata malah lebih boros. Para kelas menengah (middle class) akan membeli produk yang lebih fungsional dan masih mempertimbangkan jangkauan pendapatannya. Sementara, para kelas atas (upper class) akan membeli produk yang baik kualitasnya dari segala sisi; estetika, kenyamanan, dan kepercayaan terhadap brand yang terkesan mewah meskipun tidak terlihat (silent fashion).

Kebiasaan ini akan menciptakan pola perilaku mengelola uang yang terbatas karena tradisi keluarga. Bagi mereka yang tumbuh di keluarga yang bergelimang harta, membelanjakan uang untuk sesuatu yang tidak bernilai guna menjadi wajar. Sementara, mereka yang sudah tumbuh di lingkungan yang selalu berhemat akan merasa tidak nyaman saat diajak ke toko designer brand karena mengetahui sulitnya mendapatkan uang. 

Berbeda halnya dengan individu yang mementingkan gaya hidup konsumtif dan terpaku pada tren. Mereka biasa menghabiskan uang untuk membeli produk terbaru agar tidak dipandang "outdated". Padahal, sikap ini akan membuat finansial personal seseorang berantakan, lebih parahnya mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan sampai waktu cairnya pendapatan dan berujung terlilit utang.

Sulit rasanya saat harus keluar dari tradisi keluarga yang sudah turun-temurun, tetapi untuk mendapatkan peluang keluar maka harus berubah. Ubahlah dan perbaiki pandangan terhadap uang (money scripts). Namun, sebatas mengubah pandangan saja tidak cukup, perlu ada rencana dan tujuan yang jelas dalam mengelola keuangan. Di tengah pilihan yang ada, maka perlu menetapkan skala prioritas serta hal yang harus dikorbankan untuk mencapai tujuan tersebut.

Selain itu, tidak ada salahnya untuk mengadopsi money script vigilance, yang dianggap paling idela untuk diterapkan dengan belajar mengatur pendapatan dan pengeluaran serta menghindari utang. Adapun tiga tahap permulaan yang dapat dilakukan, yakni:

  1. Membuat daftar sumber pendapatan per bulan; 
  2. Menghitung seluruh pengeluaran yang dibagi ke dalam kategori primer, sekunder, dan tersier; serta 
  3. Mengatur skala prioritas pengeluaran dan memastikan pendapatan tidak hanya habis untuk kebutuhan harian atau keperluan hobi, tetapi siapkan juga keuangan untuk tabungan atau investasi. 

Awalnya, pengelolaan seperti ini terkesan kompleks dan memakan waktu. Namun, kebiasaan ini akan sangat berguna untuk mengatur dan mengelola keuangan personal. Pengelolaan ini diharapkan bisa memperbaiki pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia tentang finansial yang erat kaitannya dengan pendapatan, gaya hidup dan kelas sosial-ekonomi.

Riska Fatma Meinarty

Baca Juga