Tinta kelam kembali tergores dalam lembaran catatan pendidikan Indonesia. Satu persatu muncul ke permukaan, berita terkait pelecehan seksual di Perguruan Tinggi. Lantas apakah pihak kampus hanya tinggal diam dengan kondisi ini? Tentu saja tidak, kampus berbondong-bondong membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS). Satgas tersebut merupakan instruksi Permendikbud No.30 Tahun 2021, yaitu setiap kampus memiliki satgas yang bertugas untuk pengawalan sehingga kampus dapat menjadi lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan juga tanpa kekerasan seksual.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 37 tahun 2009 tentang dosen menjelaskan bahwa Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
BACA JUGA: Mantan Kru TV Bongkar Sifat Ria Ricis Dibalik Layar, Sempat Ucapkan Hal Tak Terduga
Poin penting yang kerap kali disalahgunakan yaitu pada aspek pendidikan. Masih dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 37 tahun 2009 pasal 29 nomor 1 menyebutkan Dosen memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan mahasiswa sesuai dengan kriteria dan prosedur yang ditetapkan oleh perguruan tinggi dan peraturan perundang-undangan.
Dalam penjelasan ini, bisa ditelaah bahwa dosen diberi wewenang prerogatif dalam memberikan nilai kepada mahasiswa. Melanjutkan pasal 29 nomor 2 berbunyi Penilaian dan penentuan kelulusan mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dosen secara objektif, transparan, dan akuntabel.
Di sinilah keimanan dosen diuji, pilihan yang tepat tentu saja memberikan penilaian secara objektif, transparan, dan akuntabel, namun kadangkala disalahgunakan beberapa pihak dengan mendongkrak nilai tidak dengan cara semestinya. Berikut alternatif solusi lain yang dapat ditempuh untuk mencegah pelecehan seksual di perguruan tinggi.
Kamera pemantau di ruang Dosen
Pemasangan closed kamera pemantau di ruang dosen dapat menjadi alarm bagi siapapun yang berniat untuk melakukan tindakan pelecehan seksual. Terlebih lagi saat melakukan bimbingan tugas akhir, mengingat seringnya Intensitas pertemuan antara mahasiswa dan dosen. Jika terjadi pelecehan seksual saat proses bimbingan, kamera pemantau ini dapat menjadi alat bukti kelicikan oknum memanfaatkan situasi sepi di ruang dosen.
BACA JUGA: Muncul Video Verrell Bramasta dan Natasha Wilona Pelukan Mesra saat Dugem, Publik Santai: Wajar
Etika komunikasi
Dosen maupun mahasiswa dapat menjaga etika komunikasi secara langsung maupun memanfaatkan media komunikasi. Menjaga etika komunikasi sangat diperlukan untuk mencegah hal yang diluar norma. Dosen dan mahasiswa dapat berkomunikasi sekedarnya saja, menggunakan bahasa yang formal.
Jika satu di antara dua pihak sudah menjurus ke arah yang negatif maka dapat menghentikan komunikasi. Upaya ini dilakukan untuk mencegah hal yang tidak diinginkan dan dapat merugikan kedua belah pihak.
Bimbingan dua mahasiswa
Pada saat bimbingan, terkadang hanya dosen pembimbing sendirian yang standby di ruang dosen. Alangkah baiknya mengajak teman sejawat pada proses bimbingan, tindakan ini sebagai bentuk pengawasan terhadap proses bimbingan yang dilakukan antara dosen dan mahasiswa.
Bimbingan online
Memanfaatkan teknologi bisa jadi solusi untuk mencegah pelecehan seksual khususnya secara fisik. Beberapa kampus sudah membentuk sistem informasi berbasis website untuk mengelola bimbingan Tugas Akhir Mahasiswa. Tentu saja inovasi ini sangat membantu dalam proses bimbingan dosen dan mahasiswa dan tercatat dalam sistem setiap proses bimbingan yang dilakukan.
BACA JUGA: Puji Mulan Jameela saat Konser Dewa 19, Netizen: Siapa Dulu, Bunda Maia
Komitmen
Peluang untuk melakukan tindakan yang menyimpang khususnya di perguruan tinggi tentu sangat terbuka lebar. Namun hal ini dapat di cakram dengan keseriusan dalam mencegah kekerasan seksual di dunia kampus.
Apakah hanya cukup dengan satgas PPKS? tentu komitmen dari seluruh stakeholder perguruan tinggi diperlukan untuk mewujudkan angan dari pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menjadikan perguruan tinggi lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan tanpa kekerasan seksual.
Baca Juga
-
Ruang Publik yang Terkolonisasi: Literasi, Media, dan Pertarungan Wacana
-
Kesadaran Diri, Antara Jalan Menuju Kebebasan atau Jerat Overthinking
-
Komunikasi Massa: Antara Kuasa Informasi dan Manipulasi Realitas
-
Aroma Cempaka: Kesederhanaan yang Menyimpan Kemewahan Rasa
-
Mencicip Pindang Khas Jambi di Telago Biru: Rasa, Cerita, dan Suasana yang Mengikat
Artikel Terkait
-
Titipkan Anak ke Karomani, Dosen Fakultas Kedokteran Disuruh Beli Mebel untuk Gedung LNC
-
Sebar Foto Bugil Mantan Pacar, Mahasiswa di Sukoharjo Dilaporkan ke Polisi
-
Cuma Dituntut 3 Tahun Penjara! 8 Kades Sogok Dosen UIN Rp 840 Juta Demi Jual Beli Jabatan
-
Dosen Biologi Setor Rp 250 Juta ke Karomani agar Anaknya Kuliah di Fakultas Kedokteran
Kolom
-
Pembongkaran Parkiran Abu Bakar Ali: Antara Penataan Malioboro dan Nasib Masyarakat
-
Kopinya Mahal, Tapi Gaji Barista Tetap Pas-pasan
-
Headline, Hoaks, dan Pengalihan Isu: Potret Demokrasi tanpa Literasi
-
Krisis Kepercayaan Publik: Rakyat Dapat Apa dari Reshuffle Kabinet?
-
Menagih Kembali Tuntutan Rakyat 17+8, Sudah Sejauh Mana?
Terkini
-
Sinopsis Film Horor Getih Ireng: Teror Santet yang Bikin Merinding!
-
Kualifikasi AFC U-23 dan 2 Kaki Timnas Indonesia yang Berdiri Saling Menjauhkan
-
Anchor Bikin Candu: Posisi Idaman dalam Futsal
-
Liburan ala Gen Z di Jogja: 6 Spot Hits yang Wajib Masuk Itinerary
-
Comeback, Liu Te Dikabarkan Bintangi Mini Drama Promise You The Stars