Menyandang status sebagai mahasiswa mungkin akan biasa-biasa saja, namun bisa menjadi lirikan kalau terlibat aktif di organisasi kemahasiswaan. Mengapa tidak? Organisasi mahasiswa gak sedikit juga lho ada orang yang melabelinya berseberangan dengan kelancaran akademik di kampus, apalagi banyak mahasiswa yang sangat loyal di organisasi tetapi lambat selesai studinya di kampus.
Terutama organisasi mahasiswa (ormawa) ekstra kampus, misalnya organisasi semacam GMNI, HMI, PMII, LMND, GMKI, dan sejenisnya. Mahasiswa yang aktif di organisasi ini kadang dianggap gak beres di kampus, radikalnya kalau dianggap sebagai pemberontak pada kampus.
Memang gak bisa dipungkiri, mahasiswa yang aktif di organisasi dengan yang tidak itu mengalami perbedaan yang cukup jauh. Sebutan mahasiswa organisatoris yang sering melakukan aksi demonstrasi, mengkritik kampus, bahkan sampai-sampai menggalang massa besar-besaran untuk berdemonstrasi di jalan raya. Namun perlu diingat bahwa aksi demonstrasi yang sering dilakukan para mahasiswa, itu karena kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat biasa ataupun gak berpihak kepada mahasiswa kalau masalahnya dalam lingkup kampus.
Beda halnya mahasiswa yang gak mau aktif di organisasi, itu biasanya enggan untuk melakukan demonstrasi dan ia lebih memilih untuk fokus pada studinya di kampus. Tapi gak semua juga begitu, bukan berarti juga saya mengatakan kalau yang lebih progresif itu mereka yang tergabung dalam organisasi.
BACA JUGA: Mengenal Seijin no Hi, Perayaan Menyambut Kedewasaan di Jepang
Memang gak bisa dipungkiri kalau mahasiswa yang terlalu aktif di organisasi itu kadang dianggap gak beres, kerjanya yang hanya turun demo dan mengabaikan perkuliahan. Hal itu memang wajar-wajar saja, tapi harusnya kita gak boleh mendiskreditkan mahasiswa yang terlalu aktif di organisasi itu gak mempunyai masa depan yang cerah.
Masalah yang sangat krusial juga di kampus yaitu mahasiswa yang tak memiliki passion pada jurusannya. Istilah kerennya mahasiswa yang salah jurusan, ia gak menemukan passion yang sesuai jurusannya, akhirnya lebih nyaman belajar di organisasi saja. Terutama jurusan semacam matematika dan ilmu eksakta lainnya yang sangat jauh berbeda persamaannya di organisasi yang biasanya lebih banyak membahas tentang ilmu sosial.
Semenjak saya menjadi mahasiswa dan aktif di organisasi GMNI, label gak beres pada diri saya sering saya rasakan. Saya yang mengambil jurusan matematika, kadang disemprot dari pihak Fakultas karena terlalu aktif di organisasi.
Memang saya akui kalau nilai saya di kampus gak baik-baik saja, sehingga saya pun terpaksa mengulang satu semester karena banyak mata kuliah yang nilainya eror. Bukan karena mengapa, saya memang belum menjiwai belajar matematika, sehingga itulah saya lebih memilih aktif di organisasi. Makanya label gak beres pun melekat pada diri saya di mata dosen-dosen dan para staff di Fakultas.
BACA JUGA: Hari Cek Fakta Internasional Sebagai Momentum Melawan Berita Hoax
Bukan hanya di lingkup kampus, di kalangan keluarga dan kampung pun juga begitu.
"Kenapa kamu selalu turun demo, apa tujuanmu itu. Jangan lakukan lagi seperti itu, kamu pasti akan lambat selesai." Ujaran kata seperti di atas sering saya dapatkan saat pulang kampung waktu mahasiswa dulu.
Meski begitu, saya secara pribadi gak menyesal aktif di organisasi dan sering turun demo saat menjadi mahasiswa. Ada hal lain yang gak mampu dilihat ketika aktif di organisasi, misalnya saja ketika aktif di organisasi bisa memperbanyak relasi dan manfaat yang lain.
Melalui organisasi saat ini saya bisa kenal banyak orang-orang hebat, dengan organisasi pula kepekaan sosial terlatih, karena pada dasarnya di organisasi kita memang dituntut untuk bisa berpikir kritis dan peduli terhadap sesama. Lagi-lagi bagi yang gak ikut organisasi bukan berarti gak memiliki sifat kritis, tetapi dengan jalan organisasi menjadi salah satu jalan alternatif berpikir kritis itu bisa dilatih.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Hari Raya Idul Fitri, Memaknai Lebaran dalam Kebersamaan dan Keberagaman
-
Lebaran dan Media Sosial, Medium Silaturahmi di Era Digital
-
Ketupat Lebaran: Ikon Kuliner yang Tak Lekang oleh Waktu
-
Dari Ruang Kelas ke Panggung Politik: Peran Taman Siswa dalam Membentuk Identitas Bangsa
-
Menelisik Sosok Ki Hajar Dewantara, Pendidikan sebagai Senjata Perlawanan
Artikel Terkait
-
KPPli: Kepemimpinan Pengelolaan Perubahan dan Langkah Strategis Hadapi Transformasi di Era Digital
-
Firdaus Oiwobo Diketawain Bikin Organisasi Advokat Baru, Padahal Anggotanya Sudah 400 Orang
-
Viral Polisi Suruh Pendemo Tolak UU TNI Cap Jari dan Foto, Publik Murka: Mereka Penjahat?
-
Demo Tolak UU TNI, Mahasiswi Ini Skakmat Annisa Mahesa: Diskusi Baik-baik Mau Didengar?
-
Pendaftaran UTBK Ditutup, Peserta Diminta Cek Kembali Lokasi Ujian dan Syarat Pembayaran
Kolom
-
Polri Menuju Lembaga Super Kuat? Ancaman di Balik Revisi UU Polri
-
Judi Online, Lebaran, dan Daya Beli yang Tergerus: Tanggung Jawab Siapa?
-
Warisan Politik Bapak Pendidikan Indonesia dalam Menjawab Tantangan Zaman
-
Ada Wacana Wamenaker Ingin Hapuskan Batas Usia pada Lowongan Kerja, Setuju?
-
Surat Ki Hadjar Dewantara untuk Generasi Z: Jangan Jadi Penonton Perubahan
Terkini
-
5 Rekomendasi Film Korea Bertema Survival, Wajib Tonton!
-
4 Look Simple dan Modis ala Karina aespa untuk Gaya Outfit Sehari-hari
-
Qodrat 2 Tembus 1 Juta Penonton, Kisah Ustadz Qodrat Masih Jadi Favorit!
-
Ulasan Novel Pak Djoko, Misteri Keluarga yang Dikemas dalam Bahasa Puitis
-
Ulasan Novel The Last Love Note: Mengikhlaskan Cinta dan Menemukan Harapan