Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Imam Mahmud
Merdeka Belajar dalam Teropong Kemampuan di Dunia Digital (unsplash.com/Brooke Lark)

Program merdeka belajar menjadi konsep yang popular dalam dunia pendidikan. Dari institusi tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, turut serta mensosialisasikan program ini, baik dalam segi administrasi sampai pada dampak baik yang nantinya diharapkan melalui observasi dan implementasi sekaligus hasil nyata terhadap solusi pengentasan beragam permasalahan yang terjadi di era Revolusi Industri 4.0.

Umumnya program merdeka belajar sebagai penggambaran tuntutan zaman yang mengejar kecepatan dan ketepatan namun tidak mengenyampingkan hubungan sosial kepada sesama melalui metode perbaikan dan evaluasi pendidikan yang akan dilakukan. Akan tetapi untuk tuntutan paling ketera dalam program ini setidaknya mengharuskan tenaga didik dan peserta didik melek dalam memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi.

BACA JUGA: Mendongkrak Semangat Literasi Generasi Bangsa

Perihal kemajuan teknologi dan informasi memanglah perlu upaya kuat untuk mendorongannya agar generasi muda di Indonesia memperoleh kebermanfaatan bukan hanya sebagai penikmat hegeomoni hasil inovasi dari pihak asing. Apalagi Indonesia sendiri khususnya pengguna internet tinggi sebagaimana dari hasil survei dilakukan secara berkala oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Tahun 2023 mengemukakan bahwa penetrasi penggunaan internet di Indonesia  mencapai 78,19 persen yang artinya menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi 275.773.901 jiwa (APJII, 2023).

Bias memang berbicara tentang kemajuan teknologi dan informasi dan tingginya pengguna internet tanpa dibarengi dengan kemampuan masyarakatnya dalam mengelola sekaligus memanfaatkan untuk menunjang kemampuan yang lebih baik, kemampuan yang dimaksudkan adalah kemampuan untuk bisa memaksimalkan kemajuan dengan soft skill guna menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul sehingga bisa menjadi mendorong kualitas pendidikan, peningkatan kewirausahaan, memperkenalkan sosial budaya dan lainnya.

Merdeka Belajar Program Percepatan SDM yang Unggul

Upaya menciptakan SDM yang mumpuni memanglah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak tantangan sekaligus permasalahan yang perlu untuk diselesaikan. Apalagi hanya semacam program sebagaimana warisan yang terjadi dalam sistem pemerintahan kita setiap berganti kepemimpinan berganti pula dengan kebijakan. Begitulah setidaknya banyak komponen masyarakat yang gusar ketika Nadiem Makarim dilantik menjadi panglima dalam Kementerian Pendidikan.

Nadiem yang notabene berlatar belakang sebagai pembisnis digital diminta mampu untuk memberikan perubahan besar dalam kebijakan untuk perbaikan sistem pendidikan, melalui konsep demikianlah beberapa kebijakan Mas Mentri sebagaimana sapaan Nadiem salah satunya mengeluarkan program Merdeka Belajar.

Menurut Nadiem Merdeka Belajar adalah kemerdekaan berpikir yang pada tahap awal harus ada pada guru yang kemudian setiap siswa ataupun mahasiswa merdeka dalam menentukan minat dan bakatnya (Nofri Hendri, 2020).

Kebijakan ini juga setidaknya memuat empat implementasi seperti (1) perbaikan infrastruktur dan teknologi, (2) Perbaikan kebijakan, prosedur, dan pendanaan, serta pemberian otonomi lebih bagi satuan pendidikan. (3) perbaikan kepemimpinan, masyarakat, dan budaya. (4) melakukan perbaikan kurikulum, pedagogi, dan asesmen.

Sederetan kebijakan tersebut tujuannya ialah agar pendidikan di Indonesia mampu untuk bersaing sekaligus unggul dalam menciptakan solusi yang terjadi di masyarakat. Maka melalui komponen atas kebijakan yang dilakukan sebagai tenaga pendidik saya pun mengamininya, utamanya dalam dunia kampus dimana mahasiswa/i bisa belajar di luar kelas dengan sistem magang agar nantinya ketika lulus tidak hanya belajar tentang dasar-dasar teori tanpa adanya implementasi.

Realisasi yang selama ini terjadi secara turun temurun ialah adanya kesenjangan yang didapatkan oleh mahasiswa/i ketika belajar di dalam kampus dan ketika ia lulus dari kampus dengan bertitel sebagai sarjana, ketidaksesuaian ini akhirnya memunculkan alienasi (baca; keterasingan) yang terjadi dalam lulusan pendidikan.

Kasusnya sendiri seperti halnya dengan lulusan pertanian bekerja di perbankan atau lulusan Fakultas Hukum bekerja menjadi guru di sekolah dasar, dan kasus-kasus lainnya yang keluar dari prospek pekerjaan yang seharusnya diinginkan.

Meskipun sampai kini dari adanya kebijakan yang terjadi setidaknya ada banyak kritik yang muncul seperti halnya kritik bahwa penentuan nilai mutlak dilakukan oleh tempat magang dan dosen hanya sebagai penanggung jawab dalam perkuliahan tanpa ada campur tangan untuk penentuan nilai akhir.

Keadaan yang sama pula dikemukakan oleh Hardi (2023) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa adanya problematika yang dialami oleh mahasiswa khususnya di Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP) dalam kelas pertukaran ialah persoalan menentukan mata kuliah yang akan dipertukarkan dan mengkonversi. Sehingga ihwal inilah perbaikan demi perbaikan perlu dilakukan, apalagi dengan sistem pelaporannya yang serba digital terkadang bagi setiap generasi memiliki kemampuan yang berbeda.

Bagi generasi X atau dikenal dengan gen bust yang lahir antara tahun 1965 sampai 1976 secara universal kemampuan terhadap teknologi bisa dibilang tertinggal daripada generasi Y atau generasi milineal yang lahir antara 1977 hingga 1994. Meskipun secara wawasan dan pengalaman generasi x lebih unggul, tapi tetap saja untuk pengelolaan dalam sistem pelaporan generasi milenial lebih melek dalam memanfaatkan digital.

Sebenarnya konsep atas terjadi kebijakan program merdeka belajar perlu diperbaiki dalam permulaan ialah sistem pemberian kemampuan dalam bidang teknologi, seperti halnya dengan secara rutinitas pemerintah pusat dan daerah perlu mengadakan pelatihan maupun pembekalan pada skill peserta didik agar tidak kebingungan apabila nantinya di haruslah magang.

Bgitupula bagi tenaga pendidik akan memahami proses pengadministrasian daripada program ini. Pengelolaan konsep atas program ini bisa saja dengan mengandeng beberapa instansi yang berfokus pada pengembangan budaya literasi digital seperti halnya beberapa platform pendidikan yang dimulai dengan mengajar materi pembelajaran digital marketing, SEO (Search Engine Optimization), editing konten video, desain, dan lainnya.

Pembelajaran atas materi yang diberikan sebelumnya peserta didik akhirnya benar-benar berada dalam ranah belajar di bangku perkuliahan. Karena biar bagaimanapun, tanpa adanya pembekalan seperti para mahasiswa/i yang melakukan magang tidak memiliki keunggulan khusus yang ditawarkan sehingga cenderung program ini keluar daripada tujuan yang diharapkan.

Misalnya saja perihal ini ketika dalam proses magang dalam portal berita atapun dalam instansi pemerintahan mahasiswa/i hanya diminta untuk membuat secangkir kopi tanpa ada pengalaman kerja yang diharapkan.

Internalisasi Ajaran Ki Hajar Dewantara Guna Menciptakan Kemandirian Melalui Digital

Digital setidaknya bukan hanya sebagai bahan pengajaran. Namun, lebih daripada itu semua bisa dijadikan sebagai ladang penghasilan yang tidak terbatas bagi generasi muda. Melalui konsep belajar dan penekanan seperti inilah setidaknya nantinya  tindakan atas kebijakan yang dilakukan memberikan dampak pada instansi di mana seseorang ataupun lulusan bekerja ataupun nantinya menciptakan pekerjaan secara mandiri.

Kasusnya sendiri bisa melihat adanya internalisasi dari ajaran Ki Hajar Dewantara di mana setiap sekolah-sekolah dapat memberlakukan sistem biaya sendiri. Seharusnya kita tidak menerima subsidi dari pemerintah, dari orang atau badan lain yang dapat membatasi kebebasan kemerdekaan itu.

Kalau kita menerima subsidi, sekalipun dengan diberi kemerdekaan dalam berbagai hal yang termuat dalam ordonasi subsidi, setidak-tidaknya kita berhutang budi kepada yang memberi subsidi dan hal itu merupakan hal yang cukup membahayakan. Sistem biaya sendiri ini akan mengakibatkan penghasilan guru-guru hanya sekedarnya dan sekolah juga akan seadanya sehingga tidak akan menimbulkan kesenjangan sosial. (Dewantara, 1977).

BACA JUGA: Kompetensi Matematis, Unsur yang Terlupakan dalam Pengajaran Matematika

Internalisasi pembelajaran dari program kampus merdeka pada tataran ini setidaknya adanya konsep belajar di luar bangku perkuliahan dengan sistem magang sekaligus sebelumnya diberikan pelatihan mumpuni nantinya bisa mendorong adanya sistem biaya sendiri yang dilakukan, sistem ini sendiri misalnya saja dengan sekolah memberikan pengajaran bisa menciptakan aplikasi ataupun menciptakan kolaborasi dari konten yang dibuat di media sosial. Konsep ini hanya bisa tercipta jikalau setiap generasi mudanya melek dalam penggunaan digital.

Banyak sarana untuk mendapatkan pendaan sendiri yang dilakukan oleh instansi pendidikan. Banyak pula kasus terhadap usaha yang dijalankan sekolah yang bisa mendorong untuk mendapatkan penghasilan selama tidak melanggar undang-undang ataupun peraturan kementrian. Contohnya saja usaha untuk membuka bimbingan belajar, usaha untuk menciptakan konten di media sosial yang akhirnya mampu untuk mendongkat legitimasi setiap sekolah yang lebih familiar karena SDM yang unggul dan kompetitif. Semoga.

Imam Mahmud