Bagi kaum Guru, tanggal 2 Mei merupakan sebuah tanggal yang sakral. Pasalnya, tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) oleh seluruh rakyat Indonesia. Uniknya, meskipun secara harfiah tanggal ini adalah milik "dunia pendidikan", namun tak jarang instansi atau lembaga lain yang bergerak di luar dunia pendidikan pun turut serta memperingatinya.
Sudah sangat mafhum bagi para pendidik, Hardiknas tak bisa dilepaskan dari sosok yang bernama Ki Hajar Dewantara. Bahkan, perihal pemilihan tanggal 2 Mei sebagai hari pendidikan pun tak lepas dari sosok bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat tersebut. Iya, 2 Mei merupakan tanggal kelahiran dari pria yang merupakan cucu dari Paku Alam III itu.
Keeratan antara Ki Hajar Dewantara dengan dunia pendidikan di Indonesia memang tak terelakkan. Sehingga di masa modern ini, kita akan melihat dwitunggal dalam dunia pendidikan Indonesia, di mana ketika kita menyebutkan nama Ki Hajar Dewantara, maka otomatis yang akan terbayang adalah wajah dari pendidikan Indonesia itu sendiri.
Sebagai pejuang garis keras dunia pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara sendiri memiliki beragam mimpi bagi anak-anak negeri. Selain mengilhami adanya konsep merdeka dalam belajar bagi para peserta didik, Ki Hajar Dewantara juga menginginkan adanya sumber daya manusia yang berkualitas yang merupakan buah dari proses pendidikan yang dijalankan.
Sebuah impian yang hingga saat ini masih saja terbengkalai karena beragam faktor yang menghadang. Iya, pemikiran revolusioner dari Ki Hajar Dewantara yang mengharapkan SDM berkualitas melalui pendidikan, seringkali terbentur dengan tantangan yang sejatinya masih berkutat di hal-hal tradisional.
Kita ambil contoh, hingga saat ini, masalah terbesar bangsa ini dalam merealisasikan mimpi Ki Hajar Dewantara masih berhubungan erat dengan keterbatasan sarana-prasarana, pun SDM guru sebagai pembentuk output pendidikan yang unggul.
Sudah lebih dari 70 tahun negeri ini merdeka, namun permasalahan pemenuhan sarana dan prasarana yang standar untuk kelangsungan pendidikan masih saja menemui beragam kendala. Jangan tanyakan kenapa permasalahan ini masih saja mengular dan mengisi list hambatan pendidikan Indonesia untuk berkembang. Jawabannya tentu tak akan jauh dari tata kelola dari SDM yang berwenang. Iya, tendensi untuk memperkaya diri selalu menjadi penghalang mengapa beragam bantuan sarana-prasarana yang dialokasikan oleh pemerintah seringkali tak tepat sasaran atau sebangsanya.
Pun demikian halnya dengan SDM guru ataupun tenaga pengajar. No Offense, banyak di antara pengajar yang hanya melakoni kegiatan pengembangan diri hanya untuk "menggugurkan kewajiban". Meskipun berkali-kali dilatih dalam hal upgrading skill, namun pada akhirnya ketika kembali ke instansi masing-masing, mereka tetap saja mengajar sesuai dengan kehendak hati alias begitu-begitu saja.
Sama halnya dengan ketika oknum-oknum ini dihadapkan dengan perubahan Kurikulum, mereka tak acuh dengan hal itu, dan lebih memilih untuk mengajar dengan model pengajaran yang konvensional sekena hati. Ibarat kata, jika kita meminjam kalimat salah satu iklan teh di televisi, akan terwakilkan dengan kalimat "Apapun kurikulumnya, ngajarnya ya gitu-gitu saja!"
Jika kita melihat sedikit keresahan uraian di atas, bukan tak mungkin impian Ki Hajar Dewantara akan terus terbengkalai jika dua hal pokok di atas tak segera dibenahi. Pasalnya, baik sarana-prasarana dan kualitas pengajar merupakan dua hal yang paling penting untuk dibenahi saat ini. Bagaimana guru yang berkualitas bisa mengajar maksimal jika sarana-prasarananya masih kurang? Dan bagaimana pula Sekolah yang bagus akan menghasilkan output yang unggul jika SDM pengajarnya masih rendah? Nah lho?
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2023!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.