Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Arif Yudistira
Ilustrasi pemilu. (Suara.com/Ema Rohimah)

Pemilu 2024 nampaknya akan menjadi kontestasi dan pertarungan electoral semata. Hampir semua calon presiden yang kini muncul belum ada satu pun yang memiliki gagasan brilian untuk Indonesia ke depan. 

Banyak pakar memprediksi Indonesia akan menjadi negara maju. Momentum ini sayang sekali hanya dijawab dengan—pepesan kosong—, para calon presiden kita. Hampir semua calon presiden mengiyakan dan akan meneruskan program pembangunan atau mazhab jokowisme semata. 

Kebijakan Jokowi selama sepuluh tahun memang ada kelebihan dan kelemahannya. Belum ada calon presiden yang membangun narasi kritis dan konstruktif terhadap gagasan pembangunan Jokowi. 

Nawacita yang cukup ideal di masa itu, pada akhirnya harus mengikuti pola lama atau kebijakan bermazhab neoliberal. Kebijakan pembangunan yang ugal-ugalan, mementingkan para investor dan juga kepentingan asing membuat negeri ini menjadi negeri yang tidak berdaulat.

Mazhab pembangunan Jokowi harus diakui berdampak pada kedaulatan negeri kita yang seolah tidak punya taring di mata asing. Jalan raya, tol, sampai dengan waduk dan bendungan yang dibangun dengan utang dalam jangka panjang turut serta membebani APBN dan juga keuangan negara kita.

Dari segi investasi, nilai investasi dan kontrak yang merugikan yang justru dilegalkan dengan UU Cipta Kerja menunjukkan betapa lemahnya kebijakan Jokowi dari aspek hukum dan pembangunan.

Pembangunan Manusia 

Pada periode kedua, Jokowi menjanjikan pembangunan yang berfokus pada pembangunan berbasis manusia dan kebudayaan. Sayangnya, progres dari pembangunan manusia dan kebudayaan di era Jokowi cenderung belum sepenuhnya terlihat.

Dari segi dan aspek kebijakan beasiswa, Jokowi masih sama dengan pemimpin sebelumnya. Beasiswa dan juga pemberian askes terhadap mahasiswa untuk belajar di perguruan tinggi masih memiliki catatan yang miris dan memprihatinkan. Banyak mahasiswa harus putus kuliah karena tiadanya akses dan mahalnya pendidikan di perguruan tinggi.

Laporan Statistik Pendidikan Tinggi 2020 menunjukkan, sebanyak 601.333 mahasiswa putus kuliah pada 2020. Perguruan tinggi swasta (PTS) paling banyak menyumbangkan angka putus sekolah. Tercatat, sebanyak 478.826 orang atau 79,5% mahasiswa putus sekolah dari PTS.

Kebijakan pemerintah yang meliberalkan pendidikan tinggi yang semakin berkompetisi layaknya pasar bebas membuat perguruan tinggi swasta menjadi perguruan tinggi yang dibebaskan dalam urusan pungutan kepada mahasiswanya. Akibatnya akses kepada perguruan tinggi yang bermutu terhambat karena persoalan dana/ biaya kuliah. 

Problem ini seolah dibiarkan pemerintah dikarenakan kebijakan di perguruan tinggi sudah ditetapkan melalui PTN BH yang memberi wewenang perguruan tinggi melalui wewenang otonomi.

Dari sisi kebijakan pendidikan, merdeka belajar yang digagas oleh Nadiem Makarim justru semakin menunjukkan bahwa program-program yang diluncurkan belum mampu memberi efek perubahan yang sistemik terhadap problem pendidikan kita. 

Problem layanan sarana prasarana  yang masih ada di berbagai daerah Indonesia belum juga berhasil diselesaikan. Semakin banyak ruang kelas sekolah rusak di tahun 2021/2022 dari tingkat SD sampai SMK. BPS mencatat ada 60,60% ruang kelas mengalami kerusakan di SD di tahun ajaran 2021/2022. Angkat tersebut meningkat 3.47% poin dibanding tahun sebelumnya. 

Program merdeka belajar juga belum mampu menyentuh aspek fundamental dalam pendidikan yaitu menyelesaikan persoalan guru. Persoalan sistemik kesejahteraan, gaji rendah sampai dengan peningkatan mutu guru pada kenyataannya belum bisa didongkrak dan diselesaikan secara signifikan. 

Menanti Gagasan Solutif 

Sampai saat ini, baik Ganjar Pranowo, Anies Baswedan maupun Prabowo belum ada yang menyuarakan suara kritis dan evaluasi bagaimana memperbaiki Indonesia ke depan. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka mereka kelak akan menjadi presiden kita di masa mendatang. 

Narasi kampanye di bawah hanya sekadar saling serang, baku hantam dan saling mencela satu sama lain, tanpa ada kritik kepada visi atau gagasan baru untuk Indonesia maju di masa mendatang. 

Anies Baswedan sekalipun, yang katanya akan mengangkat gagasan yang visioner untuk Indonesia ke depan, pada kenyataannya hanya mengunggulkan rekam jejak di saat ia membangun Jakarta. Padahal, kita sudah bicara Indonesia dalam skup yang lebih luas, lebih kompleks dan lebih rumit. 

Bila calon presiden kita belum memiliki gagasan yang jitu, brilian dan juga tawaran yang visioner untuk Indonesia ke depan, rasanya miris jika kita hanya mengeluarkan dana yang cukup mahal untuk memilih pemimpin nirvisi dan hanya mengandalkan kemampuan electoral semata. 

Arif Yudistira