Pengguna Twitter beberapa hari lalu dikejutkan dengan kebijakan baru yang diterapkan pada aplikasi tersebut, kebijakan yang dianggap sangat mengganggu itu pun banyak menuai komentar negatif dari pengguna.
Elon Musk, pemilik Twitter, menerapkan pembatasan jumlah cuitan yang bisa dibaca. Dimana pengguna terverifikasi dapat membaca 6000 cuitan, akun belum terverifikasi 600 cuitan, dan akun baru serta belum terverifikasi 300 cuitan.
Dengan kebijakan tersebut tagar #RIPTwitter pun menggema, banyak pengguna yang kontra dengan hal tersebut, khususnya anak muda karena Twitter dianggap sebagai salah satu sosial media yang memiliki perkembangan informasi tercepat.
Mereka mengeluh karena waktu interaksi di Twitter menjadi terbatas, di sisi lain pengguna Twitter menggunakan aplikasi ini bukan hanya untuk mencari hiburan atau membuat cuitan saja, tetapi juga mencari informasi terkini.
Cuitan yang ada dalam Twitter kini jadi beraneka ragam, bukan hanya curhatan dari penggunanya, tetapi juga berisi informasi-informasi lain.
Contoh konkretnya, kita semua pasti pernah melihat kasus yang ramai berawal dari utas yang dibuat oleh pengguna Twitter, juga seseorang yang mendapat pekerjaan dari menfess yang isinya lowongan pekerjaan.
BACA JUGA: Apakah AI Menggantikan Peran Psikolog?
Basis teks dan gambar yang seimbang di Twitter menjadikannya digemari oleh pengguna sosial media untuk berbagi atau mencari informasi. Oleh sebab itu semakin sedikit cuitan yang mereka baca maka semakin sedikit pula informasi yang bisa didapat.
Namun, respon yang ditunjukkan oleh pengguna akan kebijakan baru ini kemudian amat disayangkan. Hal tersebut mengisyaratkan ketergantungan manusia pada sosial media.
Sebegitu sepi kehidupan mereka hingga menjadikan sosial media sebagai teman dan media untuk berinteraksi, banyak yang berpendapat kalau Twitter adalah jalan yang tepat untuk melarikan diri dari dunia nyata.
Mereka merasa nyaman dengan membuat dan membaca tweet, ikut berkomentar di akun menfess, serta mendapat informasi yang cepat dan bisa dikatakan hampir akurat. Hingga akhirnya mereka teralihkan dari kehidupan yang sesungguhnya.
Seyogyanya, dengan kebijakan baru dari Twitter itu membuat kita sadar bahwa baik atau buruknya kehidupan nyata itulah yang seharusnya kita hadapi.
Boleh saja berselancar di sosial media, tapi tetap harus ada batasnya, tidak latas untuk melarikan diri dan mencari kenyamanan seterusnya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Dapat Peningkatan dari Tes Aragon, Enea Bastianini Mantap Hadapi GP Mugello
-
Jadwal MotoGP Mugello 2025: Statistik Mentereng, Pecco Bagnaia Bakal Juara?
-
Kontrak Habis Akhir Musim, Jack Miller Bertahan di Pramac atau ke WorldSBK?
-
Toprak Razgatlioglu ke MotoGP, Apa Saja Culture Shock yang Bakal Ditemui?
-
P4 di GP Aragon 2025, Pedro Acosta Sakit Hati Lihat Jarak KTM dan Ducati
Artikel Terkait
Kolom
-
Bandara Husein Sastranegara Ditutup, Wisata Bandung seperti Dibunuh Pelan-Pelan
-
Pekerja Lepas di Era Gig Economy: Eksploitasi Ganjil di Balik Nama Kebebasan Moneter
-
Mahar, Peran Gender, dan Krisis Kesetaraan dalam Pernikahan
-
Membaca Buku Bukan soal Menunggu Waktu Luang, tapi soal Menyempatkan
-
Menyusuri Jejak Rekaman Sejarah dalam Balutan Fiksi di Karya Sastra
Terkini
-
Ulasan Novel Etnik Menik: Kisah Remaja Temukan Cinta Pertama dan Impiannya
-
Netflix Bakal Hadirkan Film Thriller Baru Berjudul A House of Dynamite
-
Ong Kim Swee Tak Umbar Janji Manis Usai Digaet Jadi Pelatih Persik Kediri
-
Rekrut Paul Munster, Bhayangkara FC Mampu Bersaing dengan Tim Papan Atas?
-
Review Film Jalan Pulang: Perjalanan Mistis Seorang Ibu Demi Anak Tercinta