Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Budi Prathama
Ilustrasi politik perempuan. (Pixabay/@JonasSchmidt1989)

Dalam tesis Bung Karno mengatakan, “bahwa untuk mewujudkan kemerdekaan nasional tak mungkin dicapai tanpa perjuangan perempuan di dalamnya. Sesudah kemerdekaan pun untuk menyusun negara dan masyarakat, tetap tak dapat diwujudkan tanpa perjuangan perempuan.” 

Dengan kata lain, posisi dan peranan penting kaum perempuan dalam mewujudkan sosialisme Indonesia demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tak boleh luput dari perhatian kita semua.

Pembahasan tentang perempuan tentu sudah amat banyak, baik di ranah sosial maupun politik. Kalau ditelisik, posisi kaum perempuan secara menyeluruh belum terpenuhi semua. 

Sedikit mengintip bagaimana posisi perempuan di Indonesia dari masa ke masa. Misalnya di masa Orde Lama, banyak muncul organisasi perempuan untuk terlibat dalam perjuangan Indonesia serta menjadi wadah untuk membahas terkait isu sosial dan politik. 

BACA JUGA: Demi Konten Viral, Degradasi Moral di Indonesia Kini Semakin Fatal

Sebut saja organisasi yang cukup terkenal dan progresif di masanya seperti Gerwani (Gerakan Perempuan Indonesia). Namun yang terjadi, banyak organisasi perempuan berafiliasi dengan partai politik karena memiliki orientasi ideologi atau keagamaan. Partai politik pun merangkul berbagai organisasi perempuan, sehingga tidak lazim organisasi perempuan justru disebut sebagai underbow partai. 

Politik perempuan di masa itu belum dirasakan juga secara merata. Organisasi perempuan justru banyak dijadikan sebagai ladang perebutan suara parpol dalam pemilu. 

Posisi perempuan zaman Orde Lama dan Pasca Reformasi

Beda halnya posisi perempuan di masa Orde Baru. Bisa dibilang posisi perempuan di masa itu makin terpuruk. Orde Baru menafsirkan bangunan sosial kenegaraan diibaratkan seperti keluarga, di mana peran ibu melengkapi status kekuasaan bapak. 

Lantas apa yang terjadi? Perempuan hanya ditempatkan di wilayah domestik, yakni bertindak sebagai istri yang taat pada suami, cakap dalam mengurus rumah tangga, dan menjadi pendidik yang baik buat anak-anaknya. 

Hal itu bisa ditemui dengan adanya kontrol Orde Baru melalui PKK dan Dharma Wanita. Perempuan didoktrin melalui Panca Darma Wanita, dan dikonstruksi menjadi pelayan rezim saja. Kondisi ini hanya memperburuk perempuan dan mereka tidak terlibat dalam politik. 

Usai Orde Baru tumbang, kemudian digantikan dengan Pasca Reformasi, posisi perempuan bisa dibilang cukup baik dengan yang sebelumnya. Gerakan perempuan menghasilkan penambahan kuota 30% khusus bagi perempuan di dalam parlemen. Bagi gerakan feminis, kuota 30% ini dianggap sebagai legitimasi agar terjadi syarat perubahan posisi politik perempuan.  

Hal ini harusnya menjadi peluang besar bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam politik. Namun yang terjadi tidaklah seperti itu, justru basis keterpilihan perempuan sebagai calon legislatif melalui jaringan kekerabatan dengan elite politik. 

Artinya, perempuan yang terpilih dalam politik hanya orang-orang tertentu yang dekat dengan elite politik, seperti saudara, istri dari penguasa/pejabat politik, dan petinggi politik yang mencalonkan mereka. 

Kondisi seperti ini tentu tidak menjawab esensi dari politik perempuan. Karena jika perekrutan kaum perempuan hanya berlandaskan jaringan kekerabatan itu justru dapat melanggengkan kesenjangan kuasa elit dalam politik dan ekonomi. 

Hal ini hanya akan mengkonsentrasikan kekuasaan elit di tangan segelintir orang di dalam politik atau parlemen. Dengan artian, makin meluasnya praktik oligarki. Bahkan bisa saja, perempuan hanya dijadikan sebagai pelengkap administrasi saja. 

BACA JUGA: HUT ke-78 RI: Problem Transportasi Umum dan Mentalitas Masyarakat dalam Berkendara

Peran penting kaum perempuan di dalam politik

Dengan sistem politik perempuan yang hanya menggunakan jaringan kekerabatan jelas belum dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk keadilan bagi seluruh perempuan.

Pentingnya pengetahuan bagi perempuan untuk bisa terlibat dalam politik dan ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial. Sekarang ini, perdebatannya bukan lagi mana lebih tinggi posisi perempuan dengan laki-laki. Tetapi, perjuangan yang harus dikumandangkan baik laki-laki maupun perempuan untuk bisa sama-sama melawan praktik oligarki. 

Karena jika tidak, posisi perempuan dalam politik hanya menguntungkan para oligarki saja, perempuan yang bisa terlibat dalam politik dan parlemen, hanya perempuan dari keluarga elit dan yang mereka punya uang. Sementara, perempuan dengan ekonomi rendah itu justru makin memperburuk keadaan mereka. Alhasil, kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin pun makin kuat. 

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih menjadi angan-angan. Walau umur Indonesia hari ini sudah mencapai di umur 78 tahun. Tapi keadilan sosial dan keadilan posisi seluruh perempuan di dalam politik belum dirasakan secara merata. Kondisi ini harus menjadi perhatian besar oleh pemerintah dan harus tertanam kuat untuk diwujudkan, keadilan sosial tidak akan terwujud kalau sistem pemerintahan dan negara masih ada celah para oligarki dalam melanggengkan kekuasaannya.  

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Budi Prathama