Kata “healing” telah menjelma menjadi mantra baru dalam masyarakat kontemporer. Dalam beberapa tahun terakhir, istilah ini tidak hanya populer, tetapi juga menjadi identitas gaya hidup yang merembes ke dalam hampir setiap aspek komunikasi publik: dari caption media sosial, konten influencer, hingga strategi pemasaran produk. Healing kini bukan hanya soal pemulihan dari luka batin, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menampilkan diri sebagai individu yang sadar, seimbang, dan tentu saja, estetis. Tetapi apakah semua itu memang healing? Ataukah sekadar ilusi penyembuhan yang diciptakan oleh budaya konsumerisme?
Dalam konteks psikologis, healing adalah proses panjang dan kompleks yang berkaitan dengan pemulihan dari luka emosional, trauma, atau tekanan hidup. Ia memerlukan waktu, kedalaman refleksi, dukungan sosial yang otentik, dan seringkali intervensi profesional dari tenaga ahli. Healing bukan sekadar liburan singkat, memesan kopi mahal di kafe estetik, atau melakukan staycation di vila Instagramable. Namun, dalam narasi publik hari ini, healing telah dipersempit menjadi aktivitas konsumtif yang bisa dibeli, dijual, dan dikurasi untuk ditampilkan di media sosial. Di sinilah letak masalahnya.
Masyarakat modern hidup dalam era hiper-produktivitas, tekanan sosial yang tak henti, dan ekspektasi kultural untuk selalu tampak baik-baik saja. Dalam situasi seperti itu, istilah healing menjadi pelarian sekaligus pembenaran. Healing menjadi jawaban atas kelelahan sistemik yang tidak mampu diselesaikan oleh struktur sosial dan ekonomi. Saat individu merasa lelah oleh rutinitas kerja yang menindas atau relasi yang toksik, mereka tidak dituntun untuk mengkritik struktur, melainkan diarahkan untuk rehat sejenak me time, journaling, aromaterapi, atau short escape ke alam. Dengan kata lain, healing dijadikan solusi pribadi atas persoalan kolektif. Beban ditanggung sendiri, sambil didorong untuk terus membeli sebagai bentuk pemulihan diri.
Di tangan kapitalisme modern, healing menjadi peluang bisnis yang menjanjikan. Industri pariwisata, kecantikan, kuliner, bahkan properti, berlomba-lomba menggunakan istilah ini sebagai tagline. Muncullah kampanye seperti “healing with nature”, “spa for your soul”, atau “retreat for emotional clarity” yang dipoles dengan estetika visual yang menyegarkan dan narasi empatik yang menyentuh. Konsumen pun digiring untuk percaya bahwa dengan membeli pengalaman tersebut, mereka telah melakukan proses penyembuhan. Padahal, yang sedang berlangsung bukanlah penyembuhan, tetapi pelarian yang sementara. Healing dijadikan produk, bukan proses. Konsumerisme menyusup ke dalam ruang pribadi paling rentan dan menjanjikan ketenangan yang dapat dibeli dalam satu klik.
Dalam ruang digital, fenomena ini bahkan lebih mencolok. Instagram, TikTok, dan YouTube dipenuhi oleh konten bertema healing. Mulai dari vlog jalan-jalan dengan latar musik mellow, hingga video journaling dan morning routine yang serba tenang dan minimalis. Gaya hidup healing dibingkai sebagai citra, bukan pengalaman emosional yang utuh. Bahkan kesedihan pun dipresentasikan dalam bentuk yang artistik: menangis sambil menulis diary di balkon, merenung di hutan pinus, atau membuat konten “a day in my life” yang memperlihatkan seolah-olah seseorang sedang dalam proses refleksi mendalam. Healing menjadi performa yang harus dilihat, bukan dijalani secara otentik.
Celakanya, tren ini menciptakan tekanan baru: tekanan untuk sembuh dengan cara yang indah. Seseorang yang tengah mengalami depresi, kecemasan, atau trauma mendalam merasa terasing karena tidak mampu “healing” seperti yang ditampilkan publik. Mereka merasa gagal karena tidak bisa bangkit secepat yang diklaim orang lain. Mereka merasa tidak cukup estetis karena healing mereka hanya berupa tidur sepanjang hari atau menangis di kamar, bukan bersepeda di lembah atau meditasi di tepi danau. Akibatnya, healing justru menjadi standar sosial baru yang membebani. Alih-alih menjadi ruang pemulihan, ia berubah menjadi ajang pembandingan.
Kita juga harus menyadari bahwa tidak semua orang memiliki akses yang sama untuk melakukan healing versi populer. Healing yang dikemas sebagai gaya hidup elite jelas bukan milik kelas pekerja yang hidup dengan gaji pas-pasan dan waktu libur yang terbatas. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa narasi healing tidak netral secara sosial. Ia dibentuk oleh kelas, akses, dan privilese. Mereka yang mampu membeli pengalaman healing dianggap lebih “waras” dan sadar diri, sementara yang tidak mampu terlihat seperti tidak tahu cara mencintai diri sendiri. Di sinilah konsumerisme memainkan perannya: menyusup ke dalam kesadaran dan menjadikan kesehatan mental sebagai komoditas eksklusif.
Fenomena ini tidak hanya mengkhawatirkan dari sisi ekonomi, tetapi juga secara psikologis. Ia menciptakan ilusi bahwa luka batin bisa disembuhkan secara instan dan individual, tanpa perlu menyentuh akar penyebabnya. Seseorang yang mengalami burnout berat karena sistem kerja yang eksploitatif, diarahkan untuk pergi healing ke pantai, bukan menuntut reformasi struktural dalam dunia kerja. Seseorang yang terluka karena kekerasan verbal dalam hubungan, diminta journaling dan tarik napas dalam, bukan diajak membangun sistem dukungan sosial dan pemulihan bersama. Healing versi ini bukan hanya dangkal, tetapi juga berbahaya karena ia menyederhanakan persoalan psikologis menjadi urusan niat pribadi dan pilihan konsumsi.
Tentu, tidak salah seseorang ingin menyepi, melakukan perjalanan, atau merawat diri sendiri. Itu semua adalah bagian dari strategi koping yang valid dan bisa mendukung proses pemulihan. Namun, yang perlu dikritisi adalah bagaimana makna healing direduksi dan dijual kembali dalam bentuk gaya hidup yang harus cantik, tertata, dan siap difoto. Di saat itulah kita perlu bertanya ulang: apakah kita sungguh sedang memulihkan diri, atau hanya sedang menampilkan versi estetis dari luka yang belum benar-benar kita sentuh?
Dalam banyak tradisi psikoterapi dan pendekatan psikologi kontemporer, proses healing justru tidak selalu indah. Ia menyakitkan, membingungkan, dan penuh gejolak. Kadang membutuhkan diam yang sunyi, kadang membutuhkan dialog yang jujur dan sulit, kadang membutuhkan keberanian untuk menghadapi kenangan yang menyakitkan. Proses ini tidak bisa dipercepat, tidak bisa dibandingkan, dan tidak bisa diestetisasi. Ia membutuhkan waktu dan kejujuran yang sangat dalam. Di sinilah healing kehilangan makna ketika dijadikan tren: ia dipercepat, dipermudah, dan disulap menjadi komoditas yang bisa dikonsumsi secara massal.
Jika tren healing ini terus berlangsung tanpa kritik, kita berisiko menciptakan masyarakat yang alergi terhadap luka, enggan menyentuh realitas emosi yang gelap, dan lebih memilih solusi cepat yang memanjakan ego. Kita menjadi terlalu cepat mengatakan "aku sedang healing", padahal yang kita lakukan hanyalah menghindari rasa sakit. Kita terlalu cepat memaafkan tanpa pemulihan, terlalu cepat bangkit tanpa pemahaman, dan terlalu cepat berpindah tanpa perenungan. Semua dilakukan demi terlihat kuat, produktif, dan tentu saja: sedang menjalani healing journey yang indah dan patut dibagikan.
Dalam situasi semacam ini, yang dibutuhkan bukan sekadar upaya individual untuk sembuh, tetapi juga kesadaran kolektif untuk membangun ruang penyembuhan yang nyata. Ruang yang tidak didasarkan pada estetika media sosial, tetapi pada solidaritas, kejujuran, dan empati. Ruang di mana seseorang bisa mengatakan “aku belum sembuh” tanpa harus merasa tertinggal. Di mana proses penyembuhan tidak dinilai dari tempat yang dikunjungi, tetapi dari keberanian untuk melihat ke dalam diri dan menyentuh luka yang sebenarnya. Ruang semacam itu hanya bisa dibentuk jika kita melepaskan healing dari cengkeraman industri dan mengembalikannya ke tangan manusia itu sendiri dalam keaslian, kepedihan, dan kedalaman perasaannya.
Dengan memahami bahwa healing bukan tren, tetapi proses psikologis yang manusiawi dan penuh liku, kita bisa mulai membangun cara baru dalam merawat diri dan orang lain. Kita bisa berhenti memaksakan standar penyembuhan yang estetis dan mulai membuka ruang dialog yang jujur. Kita bisa mengganti budaya performatif dengan keberanian untuk hadir secara utuh dalam rasa sakit dan pemulihan. Karena pada akhirnya, yang benar-benar menyembuhkan bukanlah tempat yang kita datangi, tetapi keberanian kita untuk merawat luka, menghadapi ketakutan, dan menerima bahwa menjadi manusia bukan selalu tentang bahagia, tetapi juga tentang bisa merasa sakit tanpa merasa bersalah.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Intip Garasi Mewah Bintang Timnas, Dari Range Rover Jordi Amat Hingga GTI Sandy Walsh
-
Savior Complex, Luka Batin yang Merusak Organisasi
-
Belajar Memaafkan Diri Lewat Buku When You're Ready, This Is How You Heal
-
Ketika Lembur Dianggap Loyal, Krisis Diam-Diam Dunia Kerja
-
Hasil Pemeriksaan Psikologi Forensik Kematian Diplomat Arya Daru Pangayunan
Kolom
-
Bioremediasi: Solusi Alami Laut untuk Mengurai Tumpahan Minyak
-
Menyikapi Potensi Gempa Megathrust sebagai Kesiapsiagaan, Bukan Malapetaka
-
Book Hangover: Ketika Terjebak Satu Buku yang Tak Bisa Dilupakan
-
Rojali dan Rohana: Kisah Pilu di Balik Ramainya Mal, Siapa yang Salah?
-
Mengungkap Greenwashing: Menjual Keberlanjutan, Menyembunyikan Kerusakan
Terkini
-
Setelah 28 Tahun, Sekuel My Best Friend's Wedding Akhirnya Diumumkan
-
Ulasan Novel Bukan Pengantin Terpilih: Menumbuhkan Cinta dalam Pernikahan
-
Warung Suroboyo, Pelepas Rindu Lalapan Jawa Timuran di Tanah Sunda
-
Katanya Harus Aman, Kenapa Motor MotoGP Tidak Pakai Kaca Spion?
-
Ulasan Buku Minta Dibanting: Sebuah Pelukan untuk Hati yang Patah