Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Budi Prathama
Kabupaten Majene. (Instagram/@youchan_)

Ada beberapa kabupaten atau kota di Indonesia ini telah mendapatkan nobat sebagai Kota Pendidikan, tak terkecuali juga kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Dinobatkan sebagai Kota Pendidikan, kabupaten Majene telah dicanangkan oleh pemerintah sejak awal pembentukan provinsi Sulawesi Barat. 

Hal itu memang bisa ditandai dengan banyaknya beredar Kampus/Perguruan Tinggi di kabupaten ini, baik negeri maupun swasta. Seperti yang banyak terekspos keluar sebagai kampus unggulan juga di Sulawesi Barat, yakni Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Majene. Bukan itu saja, juga ada kampus Universitas Terbuka, serta beberapa kampus swasta yang lain. 

Secara fakta di lapangan, kabupaten Majene memang didominasi banyak kampus, termasuk hanya kabupaten inilah yang ada di Sulawesi Barat yang punya kampus negeri. Untuk itulah, kabupaten ini memang selalu dikumandangkan sebagai kota pendidikan dan sering disosialisasikan melalui program-program pemerintah setempat. 

Dengan adanya kampus negeri yang ada di kabupaten Majene, ribuan mahasiswa pun berdatangan setiap tahunnya, bukan hanya yang berasal dari Sulawesi Barat, tetapi juga dari luar pulau Sulawesi juga ada. Bahkan, ada saja yang menyebut kalau Majene ini akan didesain seperti Jogja yang memang dikenal iklim pendidikannya yang tinggi. Menjadi harapan nantinya kalau kabupaten Majene juga bisa mencetak pemikir-pemikir untuk bangsa ini. 

BACA JUGA: Menghadapi Darurat Udara: Melawan Polusi di Jakarta demi Napas yang Bersih

Ironi kabupaten Majene sebagai kota pendidikan

Perpustakaan daerah kabupaten Majene. (Instagram/@perpustakaanmajene)

Menyandang sebagai Kota Pendidikan tentu tidak cukup hanya dari segi administrasi saja dan bangunan kampus yang bertingkat-tingkat. Fasilitas pendidikan dan iklim keilmuan harus didukung sebagai penyokong untuk menemukan esensi sebagai Kota Pendidikan. 

Mungkin tidak keliru amat kalau saya mengatakan bahwa kabupaten Majene belum menemukan esensinya dengan nobat sebagai Kota Pendidikan. Mengapa demikian? Hal ini bisa ditandai dengan iklim membaca masyarakat dan mahasiswa yang masih kurang di Majene, mirisnya lagi toko buku dan perpustakaan hanya beberapa hitungan saja. 

Berdasarkan survey dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kalau minat baca masyarakat Majene hanya sekitar dua persen. Hal ini bisa disebabkan karena iklim membaca dan kajian masih sangat rendah ketimbang dengan kota-kota yang sudah menyandang Kota Pendidikan. 

Penyebabnya bukan hanya karena iklim membaca yang tidak terbangun, tetapi juga sangat dipengaruhi kurangnya stok buku-buku yang berkualitas. Sehingga ketika minat mahasiswa untuk membaca masih di bawah standar, itu bisa makin menurun jika buku berkualitas dan buku yang memang bisa membuat hati bergairah ketika membaca, sulit didapatkan. 

Contoh misalnya, perpustakaan daerah kabupaten Majene saat ini bisa dibilang miris, buku-buku yang disediakan seperti buku umum yang ada di sekolah-sekolah. Setelah berdiskusi dengan beberapa teman-teman mahasiswa, mereka juga mengatakan hal yang sama malas mengunjungi perpustakaan tersebut lantaran buku yang disediakan tidak ada yang membuat semangat. Bukan itu saja, perpustakaan daerah ini juga kurang dari segi fasilitas. 

BACA JUGA: Berkaca dari Efek Pandawara Group, Benarkah Indonesia Hanya Butuh Sosok?

Begitupun dengan perpustakaan yang ada di kampus Unsulbar, gedung yang mewah tapi ketersediaan bukunya masih kurang. Yang paling menyebalkan juga ketika masuk di perpustakaan ini, itu banyak sekali embel-embelnya, seperti dilarang bawa minuman, harus pakai baju kemeja, dan harus pakai sepatu. Seakan kalau perpustakaan ini bukan didesain agar mahasiswa bisa giat membaca, tetapi terlebih melihat pada penampilan mereka ketika mau mengunjungi perpustakaan ini. 

Justru kalau kita melihat potret kabupaten Majene hari ini, justru dipenuhi di setiap sudut-sudut ada cafe dan restoran. Bahkan dari beberapa meter saja ada lagi cafe yang siap menyambut dengan penampilannya. Sehingga tidak heran kalau banyak juga mengatakan kalau kabupaten Majene ini bukan sebagai kota pendidikan, tetapi sebagai kota kuliner dengan banyaknya kafe-kafe tersebut yang berjejeran. 

Bukannya saya menyalahkan kalau banyak kafe di Majene, tetapi harusnya toko-toko buku dan perpustakaan tidak boleh kalah banyak kalau memang masih mau disebut sebagai kota pendidikan. 

Kondisi ini tentu masih menjadi PR pemerintah setempat, kabupaten Majene tidak akan menemukan esensinya sebagai kota pendidikan jika iklim dan fasilitas pendidikan tidak dibangun. Pemerintah harus mendorong ini, setidaknya dengan pengadaan buku-buku yang berkualitas dan bisa membangkitkan semangat mahasiswa dan masyarakat untuk membaca. Bukan malah menjadikan kabupaten ini dipenuhi kafe-kafe yang setiap malamnya hanya ditongkrongi untuk main Wi-Fi oleh mahasiswa. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Budi Prathama