Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | M. Fatah Mustaqim
Ilustrasi ageism. (pexels.com/ron-lach)

Cuitan netizen di media sosial X (dulu Twitter) mengenai ageism di dunia kerja seperti sudah menjadi ketahanan konten yang tidak jarang sampai viral. Persoalan ini pun tidak jarang muncul di timeline akun X saya karena banyak netizen yang menyuarakannya hingga akun-akun besar pun tak jarang juga menyuarakannya.

Suara netizen yang saya lihat umumnya berupa keluhan dan kritik yang nyaris semuanya sepakat bahwa ageism adalah diskriminasi yang masih menjadi persoalan dalam dunia kerja di Indonesia namun seakan seperti diwajarkan begitu saja.

Salah satu opini menggelitik dari netizen mengenai realitas diskriminasi kerja di Indonesia yang absurd karena semakin mudanya syarat usia pelamar kerja di Indonesia, misalnya seperti cuitan dari akun @mardiasih berikut. 

"Akhir-akhir ini semakin tertampar realita lowongan pekerjaan yang batasnya umur 28-30, terus tiba-tiba merasa umur segitu udah dianggap makhluk prasejarah banget apa ya," cuit @mardiasih. 

Keluhan yang disuarakan @mardiasih mengenai ageism tersebut sudah dilihat oleh 219.4 ribu views dengan jumlah re-post sebanyak 1,072, sejak di-posting pada 21 September 2023 lalu.  

Persoalan ageism yang disuarakan akun @mardiasih itu seperti mempertanyakan relevansi batasan usia kerja yang terlampau muda.

Padahal di banyak bidang pekerjaan, faktor usia tidak begitu relevan, salah satunya seperti yang dikeluhkan oleh akun @ihrelevant di kolom komentar akun @mardiasih.

"Astaga ageism di Indonesia parah banget ada lowongan virtual customer service aja ada maksimal umurnya (emoji menangis) kan gak keliatan juga gitu lho. Apalagi kalo requirementnya juga butuh perempuan pasti lebih parah," cuit @ihrelevant.

Meskipun persoalan ageism dalam dunia kerja di Indonesia berulang kali viral di media sosial namun sampai hari ini persoalan diskriminasi kerja ini masih belum menjadi concern pemerintah selaku regulator.

Mengapa diskriminasi usia (ageism) sampai hari ini seolah diwajarkan?

Banyak netizen yang menjawab bahwa efek samping bonus demografi berupa melimpahnya pekerja usia muda saat ini menjadi semacam daya tawar yang kuat bagi perusahaan untuk lebih memprioritaskan rekrutmen bagi pekerja usia muda dan menyisihkan pelamar kerja yang dianggap sudah lebih berumur.

Jika kita melihat frame lebih luas, pada dasarnya persoalan ageism memang semestinya sudah tidak relevan di dunia kerja Indonesia saat ini.

Pasalnya, dengan diundangkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja pada 31 Maret 2023, pasar tenaga kerja di Indonesia menjadi lebih fleksibel karena hubungan kerja lebih didasarkan pada sistem kontrak.

Bukankah sistem kontrak secara logis lebih mempertimbangkan meritokrasi dan skill pekerja daripada batasan usia? Selama calon pekerja memenuhi syarat skill yang memadai maka persoalan usia sebenarnya tidak begitu relevan lagi.

Tetapi sepertinya ada variabel lain. Sebab ada anggapan pekerja usia muda, freshgradute, dengan pengalaman dan skill minim sekalipun lebih dibutuhkan karena mudah diatur dan mau dibayar murah daripada pekerja berpengalaman yang lebih tua usianya.

Maka jika realitas ini benar adanya, pemerintah semestinya bisa masuk untuk menegakkan sanksi mengenai potensi atau celah adanya eksploitasi upah yang terlalu murah (underpaid) dan kontrak yang tidak sesuai mengenai jam kerja, umpamanya.

Di masa sekarang ini, semestinya diskriminasi batasan usia atau ageism sudah tidak berlaku lagi. Ada dua alasan mendasar mengenai itu.

Pertama, ageism jelas tidak sesuai dengan konstitusi negara ini. Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Alasan kedua, banyak preseden terutama di negara-negara lain yang sudah meregulasi mengenai larangan diskriminasi ageism ini dan menerapkan sanksi bagi perusahaan yang memberlakukan diskriminasi ini tanpa alasan yang relevan.

M. Fatah Mustaqim