Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | M. Fatah Mustaqim
Ilustrasi pengangguran. (Pixabay/kalhh)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah pengangguran lulusan universitas terus mengalami tren kenaikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data jumlah pengangguran lulusan sarjana pada Februari 2015 sebesar 565, 402.

Dua tahun berikutnya pada 2017 di bulan yang sama jumlahnya naik sebesar 606,939. Kemudian naik cukup signifikan pada tahun berikutnya sebesar 803,624 per Februari 2018.

Tren kenaikan ini terus berlanjut hingga pada tahun 2021 ketika pandemi Covid-19 memuncak tercatat jumlah sarjana yang menganggur nyaris mencapai satu juta jiwa yaitu sebesar 999, 543 per Februari 2021.

Sementara data tahun 2022 di bulan yang sama tercatat jumlah sarjana yang menanggur sebesar 884, 769, lebih rendah dari tahun 2021 mengingat pandemi yang cenderung mereda.

Namun secara umum data menunjukkan peningkatan jumlah pengangguran terdidik lulusan universitas dibandingkan dengan data tujuh tahun sebelumnya (2015).

Peningkatan jumlah pengangguran juga seiring dengan peningkatan persentase pekerja lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang juga meningkat.

Pada tahun 2021, jumlah angkatan kerja lulusan universitas tercatat sebesar 13,34 juta dan menyumbang 10,18% dari keseluruhan jumlah angkatan kerja di Indonesia yang berkisar sekitar 140 juta jiwa.

Akar problem pengangguran terdidik

MInimnya ketersediaan lapangan kerja tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi secara keseluruhan yang berkelindan dengan persoalan demografi penduduk.

Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi yang kian melambat (cenderung stagnan di angka 5 persen) beberapa tahun terakhir jelas tidak mampu menampung pertumbuhan penduduk usia produktif yang kian besar, khususnya jumlah lulusan perguruan tinggi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. 

Belum lagi jika dihadapkan pada kualitas pertumbuhan ekonomi yang cenderung masih menganut paradigma lama (developmentalisme) di mana pertumbuhan ekonomi mengacu pada industri ekstraktif yang sarat modal (capital) bukan industri manufaktur yang lebih banyak menyerap tenaga kerja (padat karya).

Belum lagi jika berbicara mengenai kesenjangan visi antara perguruan tinggi dengan pasar tenaga kerja. 

Kesenjangan yang dimaksud adalah tidak kompatibelnya sistem dan visi yang dianut kampus, mahasiswa semakin dituntut lulus cepat tanpa bekal keahlian kerja dan pengalaman lapangan memadai.

Sementara itu pasar tenaga kerja menuntut kualifikasi profesional dengan syarat keahlian lapangan dan pengalaman kerja dari sarjana yang justru minim dikuasai karena tuntutan beban akademik yang mempersyaratkan kelulusan cepat dengan parameter prestasi akademik an-sich tanpa pengalaman memadai. 

Semakin besar jumlah pengangguran terdidik hari ini tentu menjadi kerugian tak terkira bagi kita di tengah upaya keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap).

Bagaimana jika potensi kreatif dari generasi muda terdidik tidak teraktualisasi dengan baik karena sempitnya lapangan kerja?

Kita kemungkinan kehilangan begitu banyak potensi generasi emas, generasi terdidik yang susah payah menempuh pendidikan dan sekolah bertahun-tahun dengan dana, tenaga, dan waktu yang tidak murah dan mudah. 

Solusi jangka pendek problem pengangguran terdidik

Upaya jangka pendek mengatasi persoalan pengangguran terdidik adalah mengupayakan langkah pragmatis secara parsial dan temporer dengan melihat kecenderungan pasar kerja sebagai landasan penentuan kebijakan perguruan tinggi.

Jika memang pihak kampus melihat tren pasar kerja hari ini masih didominasi sektor industri yang menuntut kemampuan teknis dan pengalaman lapangan, mengapakah tidak segera saja membuka dan menggencarkan kembali program vokasi atau setara diploma tiga (D3)?

Program vokasi yang mengutamakan kemampuan teknis lapangan tentu akan lebih siap diaplikasikan ilmunya di dunia kerja yang bercorak teknokratis seperti saat ini daripada lulusan sarjana yang selama di bangku kuliah lebih banyak mempelajari teori, konsep-konsep dan pendalaman keilmuan.

Seorang diploma muda adalah mereka yang lebih siap dengan detail teknis kerja di lapangan daripada seorang sarjana strata satu (S1) yang idealnya dididik menjadi peneliti, pemikir, manajer, dan konseptor. 

Dengan demikian, perbedaan kompetensi antara lulusan vokasi dan sarjana apabila diatur dengan baik tentu akan menunjukkan pembagian peran lebih merata.

Jadi tidak perlu risau dengan kemungkinan menurunnya jumlah lulusan sarjana. Memang secara kuantitas apabila nantinya sekolah vokasi yang berbasis kemampuan teknis lebih diutamakan maka tentunya lulusan sarjana akan berkurang.

Namun bukankah seorang sarjana sebenarnya dididik untuk menjadi peneliti, konseptor, manajer atau bahkan ilmuwan yang jumlahnya memang terbatas.

Maka seharusnya seorang calon sarjana dididik dalam kelas yang terbatas dan berkualitas. Seorang sarjana mestinya adalah minoritas kreatif yang akan bekerja sebagai pemikir, manajer, ilmuwan yang jumlahnya memang tidak banyak. 

Kita tidak bisa menafikan realitas hari ini, di tengah sulitnya mencari pekerjaan, begitu banyak sarjana yang tidak punya pilihan selain menerima pekerjaan apa pun meski tidak sesuai bidang keilmuan dan ekspektasi.

Ketakutan menyandang status pengangguran dan tidak terpenuhinya kebutuhan materi telah memaksa sebagian besar lulusan perguruan tinggi menerima pekerjaan di bidang apa pun dengan gaji minim dan jenjang karier yang tidak pasti.

Meskipun sudah jelas di depan mata bahwa di kemudian hari ilmu yang dipelajari di bangku kuliah akan menguap begitu saja di dunia kerja. Tetapi apa boleh buat daripada menunggu lebih lama menanti harapan kerja yang tak kunjung datang. 

Memang kuliah di perguruan tinggi bukan semata mesti bekerja linear sesuai ijazah dan keahlian yang ditekuni. Apa salahnya seorang sarjana pertanian memutuskan bekerja di bank?

Memang tidak salah sejauh menyangkut keputusan pribadi masing-masing, namun terkait persoalan umum (publik), maka tidak bisa diasumsikan bahwa persoalan tersebut sama bagi semua orang.

M. Fatah Mustaqim