Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Wahyu Astungkara
Ilustrasi menyuarakan aspirasi oleh perempuan (Kbr.id/kbrid)

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 memang menjadi momentum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Saat ini, keterwakilan perempuan di DPR-RI baru mencapai 20,52%, masih jauh di bawah target 30% yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Namun, upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024 justru menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah terbitnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur tentang pembulatan angka keterwakilan perempuan.

BACA JUGA: Menuju Pesta Demokrasi 2024, Koalisi Partai Saling Adu Nama Besar Cawapres!

Pasal 8 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 menyebutkan bahwa penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sementara itu, apabila 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.

Pengaturan ini dinilai bertentangan dengan Pasal 248 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur bahwa verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota terhadap terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

Aturan pembulatan ke bawah yang ditetapkan KPU berisiko merugikan bacaleg perempuan dan dapat dipastikan bacaleg perempuan yang didaftarkan mengalami penurunan termasuk juga pada tingkat keterpilihannya.

Selain itu, terdapat sejumlah tantangan lain yang dihadapi perempuan dalam upaya meningkatkan keterwakilan mereka dalam politik, antara lain:

  1. Politik yang didominasi maskulinitas, cenderung mengabaikan peran perempuan
  2. Dukungan partai politik belum optimal, yang tampaknya tidak memberi kesempatan yang sama kepada perempuan yang maju sebagai caleg
  3. Problem sumberdaya keuangan, yang menjadi kendala melakukan kampanye dan bersaing dengan laki-laki
  4. Peran ganda perempuan antara ruang domestik dan publik yang membatasi waktu dan energi perempuan untuk berpartisipasi
  5. Masih kuatnya budaya-sistem patriarki yang menempatkan perempuan sebagai subordinat
  6. Rendahnya persepsi diri mengenai partisipasi yang membuat perempuan kurang percaya diri bersaing dalam politik

BACA JUGA: Mengatasi Beragam Aksi Kekerasan di Satuan Pendidikan

Ancamam dan Tantangan

Terbitnya Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 merupakan ancaman serius bagi upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024. Aturan pembulatan ke bawah ini dapat menyebabkan jumlah bacaleg perempuan yang didaftarkan berkurang, sehingga dapat menurunkan peluang mereka untuk terpilih.

Selain itu, sejumlah tantangan lain yang dihadapi perempuan dalam politik juga perlu diatasi. Politik yang didominasi maskulinitas, dukungan partai politik yang masih rendah, dan kurangnya sumberdaya keuangan perempuan, merupakan faktor-faktor yang dapat menghambat partisipasi perempuan dalam politik.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, antara lain:

  • Partai politik sudah seharusnya memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan untuk maju sebagai caleg.
  • Pemerintah perlu memberikan dukungan finansial kepada calon legislatif perempuan.
  • Mendukung dan mendorong masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik.

Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024 dan mencapai target 30%. Hal ini akan menjadi langkah penting bagi Indonesia untuk mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif dan representatif.

Keterwakilan perempuan dalam parlemen merupakan hal yang mendesak demi mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif dan representatif. Namun, upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik masih menghadapi sejumlah tantangan.

Terbitnya Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 merupakan ancaman serius bagi upaya tersebut. Selain itu, politik yang didominasi maskulinitas, dukungan partai politik yang masih rendah, dan kurangnya sumberdaya keuangan perempuan, juga merupakan faktor-faktor yang dapat menghambat partisipasi perempuan dalam politik.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan upaya bersama yang kolaboratif dari berbagai pihak. Penyelengara pemilu, partai politik, pemerintah, dan masyarakat memiliki kewajiban konstitusional untuk bekerja sama meningkatkan kualitas dan keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Wahyu Astungkara