Kapan nikah? Kalimat tanya yang saya tahu termasuk gencar ditanyakan oleh seseorang kepada pribadi yang tengah menikmati kesendirian seperti saya. Kenapa saya bilang gencar? Ya, karena itu bukan kalimat asing di telinga saya. Dulu sekali sedari saya masih belum siap usia buat menikah, saya sering menjadi saksi hidup dari situasi yang memunculkan kalimat demikian. Jadi bisa dipastikan saya bukan manusia pertama yang mengalaminya.
Dulu, saya tidak benar-benar mengerti mengapa ada orang yang mendadak diam seribu bahasa, tersenyum palsu, ataupun marah ketika ditanyai kalimat demikian. Namun, beda lagi dengan sekarang, saya bisa memahami reaksi beragam itu. Menurut saya, kalimat itu memang terasa sangat menyebalkan, terlebih ada saja embel-embel “perawan atau bujang tua” yang ikut disampaikan oleh si penanya.
Setiap mendapat pertanyaan demikian, saya cuma bisa bergumam dalam hati, “Gini banget ya hidup bermasyarakat, apa-apa harus patokan sama timeline-nya mereka.” Ya, menurut ketentuan jalan hidup masyarakat, perempuan (khususnya) di atas 20 tahun mesti mulai menjalin hubungan serius, mesti ada calonnya, supaya nantinya bisa menikah sebelum lewat umur 25 tahun. Lebih dari situ siap-siap mendapat predikat “perawan tua.” Tak hanya kalimat sumbang itu saja, bahkan pernah ada yang menyampaikan kalimat menohok yang lebih parah sampai cukup melukai mental saya.
Meski demikian, saya memilih legowo, sebab mengubah persepsi yang telah memfosil tersebut lebih cenderung ke mustahil. Saya pun hanya punya dua tangan yang tidak cukup untuk menutup mulut mereka satu-satu, jadi lebih baik saya menggunakan kedua tangan saya untuk menutup telinga saya dan memfilter kalimat-kalimat menohok yang dapat mengganggu mental.
Lagi pula, menikah bukan ajang perlombaan, saya ogah menikah bila dasarnya untuk memenuhi tenggat masyarakat. Toh, menikah terlambat lebih baik dari pada menikah terburu-buru dengan orang yang tidak tepat.
Jika kamu juga berada di posisi yang sama, harap bersabar, ya! Siapa tahu sabarmu jadi ladang pahala. Anggap saja “kekepoan” mereka sebagai bentuk kepedulian. Kalaupun ada kalimat yang tidak enak didengar, “tutup telinga,” tak perlu diresapi dan menjadi risau hanya karena kamu belum bisa memenuhi tenggat masyarakat. Lagi pula hidup ini bukan ajang balapan, dan setiap manusia ada zona waktunya masing-masing. Semangat!
Baca Juga
-
Ulasan Drama The Haunted Palace, Sajikan Hiburan Paket Komplit Tiada Duanya
-
6 Jenis Tanaman yang Dapat Mengatasi Bau Mulut, Ada Apel hingga Kemangi
-
Review Drama Korea Bergain: Kisah Impresif yang Dikembangkan dengan Masif
-
Ulasan Resident Playbook, Kisah Inspiratif tentang Jiwa Muda dan Perjuangan
-
4 Alasan Wajib Nonton Drama Korea Karma, Yakin Skip?
Artikel Terkait
-
Ayah Ashraf Sinclair Pebisnis Sukses di Malaysia, BCL Pilih Nikah Lagi Diduga dengan Kerabat Eks Gubernur DKI Jakarta
-
BCL Disebut Tak Bisa Move On dari Mendiang Ashraf Sinclair Meski Bakal Dinikahi Tiko Aryawardhana
-
Dorong Agar Move On, Ibunda Mendiang Ashraf Sinclair Restui BCL Nikah dengan Tiko
-
Terungkap Alasan Bunga Citra Lestari Mau Menikah Lagi
-
Ulasan Buku 'Enteng Jodoh Enteng Rezeki', karena Menikah Bukanlah Ajang Perlombaan
Kolom
-
Membaca Tak Harus Buku, Saatnya Menggeser Perspektif Literasi yang Kaku
-
Dosen di Era Digital: Antara Pendidik dan Influencer
-
Menari di Antara Batas! Kebebasan Berekspresi di Sekolah vs Kampus
-
Menyusuri Lorong Ilmu! Buku Perpustakaan vs Jurnal Akademik
-
Janji Mundur atau Strategi Pencitraan? Membaca Ulang Pernyataan Prabowo
Terkini
-
Marvel Resmi Tunda Dua Film Avengers Ini Demi Tingkatkan Kualitas
-
Mengulik Save me Karya Xdinary Heroes: Kala Jiwa yang Terluka Harapkan Pertolongan Tuhan
-
Boy Group AHOF Umumkan Debut Juli, Gandeng EL CAPITXN sebagai Produser
-
Dikabarkan Kembali ke Spanyol, Mampukah Jordi Amat Bersaing di Usia Senja?
-
Marvel Hapus 3 Film dari Jadwal Rilis Usai Doomsday dan Secret Wars Ditunda