
Anak muda dalam dunia politik tampaknya masih sangat untuk terus diperbincangkan, anggapan kalau anak muda apatis terhadap politik masih saja terjadi. Apalagi adanya stigma yang membenturkan antara ‘anak muda kaum idealis’ dengan ‘politik praktis’. Ketika anak muda terjebak dalam politik praktis, opini ‘ke-idealis-an’ pemuda bisa saja luntur. Belum lagi, ketika anak muda melangkah malah dihentikan dengan mahalnya biaya politik.
Walau memang ada beberapa anak muda yang masuk dalam politik praktis itu karena ada penyokong dompetnya yang tebal. Anak muda juga sering menjadi objek politik dan menjadi sasaran dari para politisi pragmatis.
Di sisi lain, tampaknya anak muda juga tidak terlalu jatuh cinta dengan politik yang selalu untuk dipentaskan, seakan terbangun stigma kalau politik hanyalah ajang untuk kepentingan partikular semata.
Akan tetapi, pada momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ini, tampaknya sudah berbeda dan bahkan topik anak muda menjadi isu trend pada pesta demokrasi kali ini. Pada faktanya, setengah dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) itu didominasi kaum muda atau sekitar 52% lebih suara anak muda.
Sementara itu, nama Gibran Rakabuming Raka yang kini menjadi Cawapres, banyak yang merepresentasikan kalau dirinya mewakili anak muda.
Di sisi lain, majunya Gibran ini sebagai Cawapres tentu menjadi sorotan tersendiri dan menuai pro kontra, apalagi setelah adanya peraturan dari MK mengenai batas usia capres-cawapres.
Pertanyaan kemudian? Apakah Gibran memang bisa dikatakan telah merepresentasikan kalau Pemilu kali ini memang pestanya anak muda? Ya, jawabannya muskin bisa beragam, di sisi lain dari segi usia Gibran memang menjadi salah satu tokoh anak muda yang mentereng hari ini. Di lain pihak, banyak juga yang menilai kalau proses yang dilalui Gibran telah menabrak konstitusi, dan telah melakukan kecelakaan pada nilai-nilai ‘ke-idealis-an anak muda’. Dengan apa? Dengan prosesnya, dengan fakta bahwa dirinya memang anak presiden.
Menurut pandangan penulis pribadi, memaknai anak muda tentu tidak bisa diukur dari segi usia saja, tetapi perlu mempertimbangkan ‘ke-idealis-an’, ‘kekritisan’, dan ‘keberpihakannya’ yang jelas. Kalau jargon anak muda hanya jadikan sebagai jalan untuk meraih kepentingan kelompok saja, tentu itu tak bisa dibenarkan. Jangan sampai nama anak muda yang sudah berakar kuat terkait ‘ke-idealis-an’ dan ‘kekritisan’ malah luntur di tangan anak muda sendiri.
Bukan berarti, anak muda menghindar dari politik ya, justru sebaliknya anak muda harus bisa berpartisipasi aktif dalam politik, apalagi di Pemilu 2024 yang sudah hitung beberapa hari lagi.
Anak muda bisa menjadi subjek politik di Pemilu 2024 ini, dan bisa mengambil peran di berbagai elemen. Dengan catatan, penting kiranya untuk tidak terlibat dalam politik praktis dan tetap memiliki prinsip ‘ke-idealis-an’ anak muda.
Anak muda harus bisa membuktikan eksistensi dirinya, tidak hanya semata-mata gejala demografis melainkan lebih dari itu yakni menjadi agen perubahan. Dengan kata lain, anak muda harus bisa menentukan pilihan tidak semata-mata karena jebakan primordialisme, tetapi memilih secara rasional untuk pemimpin masa depan.
Bukan itu saja, anak muda juga mesti bisa ambil bagian dalam partisipasi untuk menyukseskan Pemilu 2024, bukan hanya pada saat pemungutan suara pada 14 Februari nanti, melainkan meleburkan diri secara langsung untuk mengawal setiap tahapan pemilu. Anak muda bisa ambil bagian dalam teknis penyelenggara bersama KPU dan bisa menjadi agen pengawasan bersama dengan Bawaslu.
Ketika anak muda mampu berpartisipasi dalam pemilu dan mengambil bagian integralnya, maka anak muda bisa jadi tidak lagi hanya dijadikan sebagai objek tapi sudah menjadi subjek dari demokrasi itu sendiri.
Tergantung lagi dari anak mudanya, momentum Pemilu 2024 ini bisa jadi memang benar kalau pestanya anak muda. Sobat sekalian, apakah kamu siap?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
10 Cara Mengatur HP agar Bisa Melantunkan Al-Quran Semalaman Tanpa Khawatir Baterai Rusak
-
Gagasan Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Perlunya Akses Pendidikan Merata
-
Hari Raya Idul Fitri, Memaknai Lebaran dalam Kebersamaan dan Keberagaman
-
Lebaran dan Media Sosial, Medium Silaturahmi di Era Digital
-
Ketupat Lebaran: Ikon Kuliner yang Tak Lekang oleh Waktu
Artikel Terkait
-
Kisah Para "Gladiator" Forex di Kalangan Anak Muda Indonesia
-
Skandal Private Jet KPU, DPR: Kami Sudah Pernah Tegur, Itu Kan Pakai Duit Rakyat
-
Selain Private Jet, DPR Endus Skandal Helikopter hingga Alphard di KPU: Kami Sudah Tahu, tapi...
-
Singgung PDIP Babak Belur di Pemilu 2024, Megawati: Gila Deh, Tempat yang Seharusnya Menang Dipecah
-
Wamendagri Ribka Jelaskan Langkah Kemendagri Mitigasi Potensi PSU Berulang
Kolom
-
Mengupas Fenomena Anak Skena, Sebuah Pencarian Identitas di Kaula Muda
-
Dari Imajinasi ke Otomatisasi: Krisis Dunia Kreatif di Era AI
-
Menyusui: Hak Asasi yang Masih Terabaikan oleh Kebijakan Publik
-
Gerak Cepat Memajukan Pendidikan Indonesia
-
Menggempur Prokrastinasi: Strategi Mahasiswa Menaklukkan Si Penunda Tugas
Terkini
-
Review Film Trap: Operasi Penangkapan FBI di Balik Panggung Konser
-
Lika-liku Kehidupan Kembar Siam dalam Buku One Karya Sarah Crossan
-
Seumur Jagung, Kim Bo Ra Umumkan Perceraian dengan Sutradara Jo Ba Reun
-
5 Rekomendasi Film Sambut Akhir Pekan, Ada Holy Night: Demon Hunters
-
Sony Hapus Mod 60fps Bloodborne: Harapan atau Kecewa bagi Penggemar?