Kalau kita bicara tentang Soekarno, banyak orang langsung ingat pada pidato berapi-api, semangat persatuan, dan perjuangan melawan penjajah. Tapi ada satu warisan pemikiran Bung Karno yang mungkin tidak semua orang kenal dekat: Marhaenisme. Ideologi ini lahir dari hati seorang pejuang yang melihat langsung penderitaan rakyat kecil, lalu mengubahnya menjadi semangat perlawanan.
Soekarno terinspirasi dari seorang petani bernama Marhaen
Ceritanya dimulai saat Soekarno berkunjung ke sebuah desa di Bandung Selatan. Di sana ia bertemu seorang petani sederhana bernama Marhaen. Petani ini punya sawah dan alat produksi sendiri, meski sederhana, tapi hasil panennya hanya cukup untuk makan keluarganya. Dia tidak bekerja untuk orang lain, tapi tetap saja hidupnya pas-pasan.
Pertemuan itu membekas di benak Soekarno. Ia sadar bahwa rakyat Indonesia bukanlah “proletar” seperti di negara industri yang dimaksud Karl Marx. Kita adalah bangsa agraris, dan rakyat kecil kita, para petani, nelayan, pedagang kecil, buruh, punya cerita kemiskinan yang berbeda. Dari sinilah lahir istilah Marhaen, yang kemudian menjadi simbol perjuangan seluruh rakyat kecil melawan sistem yang menindas.
Bukan Sekadar Teori, tapi Jalan Perjuangan
Marhaenisme adalah campuran pemikiran Marxisme dengan realitas sosial Indonesia. Soekarno menyaring ide-ide Karl Marx, lalu memadukannya dengan budaya dan kondisi masyarakat kita. Hasilnya adalah ideologi yang membumi, mudah dipahami, dan relevan bagi orang-orang di desa maupun kota.
Ada dua “mesin” utama yang menggerakkan Marhaenisme:
1. Sosio-nasionalisme, semangat kebangsaan yang tetap menghargai kemanusiaan, menolak penjajahan, tapi juga menghindari sikap angkuh atau chauvinisme.
2. Sosio-demokrasi, demokrasi yang berlaku bukan hanya di politik, tapi juga di ekonomi. Artinya, rakyat kecil harus punya kuasa atas produksi dan distribusi, bukan cuma jadi penonton.
Kedua prinsip ini ibarat dua sayap burung: harus bergerak bersama supaya bangsa bisa terbang menuju keadilan dan kemakmuran.
Marhaenisme punya tujuan yang jelas: menghapus kemiskinan dan menciptakan masyarakat tanpa kelas sosial. Soekarno menegaskan bahwa ini bukan perjuangan santai, tapi perjuangan revolusioner. Caranya? Tidak bekerja sama dengan penjajah (nonkooperasi), membangun kekuatan politik rakyat, dan menggerakkan massa untuk bersatu.
Pada 1933, Partindo merumuskan “Sembilan Tesis Marhaenisme” yang menjabarkan siapa itu Marhaen, apa tujuannya, dan bagaimana cara berjuang. Tesis ini menegaskan bahwa Marhaenisme tetap relevan bahkan setelah Indonesia merdeka, karena keadilan sosial tidak datang begitu saja, tapi harus diperjuangkan terus.
Relevansi di Zaman Sekarang
Walaupun lahir hampir seabad lalu, semangat Marhaenisme masih terasa sampai hari ini. Lihat saja kondisi kita sekarang, ketimpangan ekonomi, kesenjangan akses pendidikan, dan dominasi kapitalisme global yang membuat rakyat kecil sering kali kalah dalam persaingan.
Di tengah kondisi hari ini, kita bisa menyaksikan betapa rentannya posisi kaum Marhaen. Banyak yang kehilangan pekerjaan, penghasilan menurun drastis, dan akses kesehatan terbatas. Bantuan pemerintah memang ada, tapi masalah struktural seperti ketidakmerataan kesempatan dan kekuatan modal besar tetap menghantui.
Di sinilah nilai-nilai Marhaenisme kembali bersinar: gotong royong, solidaritas, dan keberpihakan kepada yang lemah. Ideologi ini mengingatkan bahwa membangun bangsa bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi, tapi juga memastikan semua orang punya kesempatan yang adil untuk hidup layak.
Bagi Soekarno, Marhaenisme bukan hanya konsep politik, tapi juga panduan moral. Seorang Marhaenis sejati adalah mereka yang memegang teguh keadilan, rela berkorban demi kepentingan bersama, dan tidak membiarkan siapa pun tertinggal.
Menerapkan Marhaenisme hari ini berarti berpihak pada petani yang lahannya terancam, buruh yang haknya diabaikan, pedagang kecil yang bersaing dengan korporasi besar, atau nelayan yang sulit melaut karena kebijakan yang tidak berpihak.
Marhaenisme adalah suara hati rakyat kecil yang diangkat menjadi ideologi perjuangan. Soekarno mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai jika kebebasan politik berjalan seiring dengan keadilan ekonomi. Dua asasnya, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, adalah bekal untuk membangun Indonesia yang bukan hanya merdeka di atas kertas, tapi juga adil dan makmur bagi semua warganya.
Kalau kita mau jujur, cita-cita ini masih relevan. Mungkin sudah waktunya kita melihat kembali ajaran Bung Karno ini, bukan hanya sebagai sejarah, tapi sebagai kompas untuk menuntun langkah bangsa di masa depan.
Baca Juga
-
HP Tecno Kamera OIS Mulai Rp2 Jutaan, Konten Nggak Goyang Lagi
-
HP Kamu Lemot? Bisa Jadi Cache Numpuk! Begini Cara Bersihkan
-
3 HP Xiaomi Tahan Hantam: IP68, Gorilla Glass, dan Nyali Baja!
-
5 HP 5G Rp 2 Jutaan Terbaik Agustus 2025: Duel Sengit Para Jagoan
-
5 HP Murah RAM Gede, Biar Multitasking Bisa Juga
Artikel Terkait
Kolom
-
Vila Mewah vs Komodo: Ketika Pembangunan Mengancam Warisan Alam Terakhir
-
Sri Mulyani Sentil Gaji Guru Rendah: Pajak Rakyat Buat Apa?
-
Paradoks Era Digital: Akses Finansial Mudah tapi Literasi Keuangan Rendah
-
Ekonomi Tumbuh, tapi Rakyat Masih Susah: Kontradiksi Pembangunan Indonesia
-
Gen Z Geser Prioritas Hidup: Menikah Muda Bukan Tujuan Utama Lagi
Terkini
-
BRI Super League: Persijap Jepara Tetap Berbenah Walau Tahan Imbang PSM Makassar
-
Tiba-Tiba Kena PHK, Lee Sung Min Cari Kerjaan Baru di Film No Other Choice
-
BRI Super League: Pelatih PSIM Yogyakarta Puas Taklukkan Benteng Persebaya Surabaya
-
Sinopsis The Thirteen-Hongs in Canton, Drama Terbaru Zhu Ya Wen di iQiyi
-
Mau Tampil Lebih Anggun? Ini 4 Ide Outfit Dress ala Park Min Young