Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Ayatul Ma'rifah
Pekerja di Siji Lifestyle, salah satu usaha lokasi dari Bantul, DI Yogyakarta yang mendapatkan dukungan dari LPEI untuk merambah pasar ekspor [Suara.com/Hadi]

Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional. Peringatan ini menjadi momen refleksi atas perjuangan kaum buruh dalam meraih hak-hak dan kesejahteraan mereka.

Di tengah gempita perayaan Hari Buruh yang identik dengan demonstrasi dan tuntutan hak-hak buruh formal, terdapat sekelompok masyarakat yang luput dari perhatian. Mereka adalah para  pekerja informal yang turut menopang ekonomi bangsa namun terpinggirkan dari sistem perlindungan dan jaminan sosial yang layak.

Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan per Februari 2023, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 83,34 juta orang atau setara 60,12% dari total pekerja.  Mereka adalah pedagang kaki lima, tukang ojek, buruh harian, pengrajin, dan berbagai profesi lain yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dari hari ke hari.

Di balik kerja keras dan keuletan mereka, tersembunyi berbagai kisah pilu dan perjuangan tanpa henti. Ketidakpastian pendapatan, minimnya akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, serta kerentanan terhadap eksploitasi menjadi momok yang menghantui kehidupan mereka.

Pekerja informal umumnya bekerja dengan jam kerja yang panjang dan kondisi yang tidak ideal. Mereka tidak memiliki jaminan kesehatan, pensiun, atau cuti. Penghasilan mereka pun tidak stabil dan bergantung pada banyak faktor, seperti cuaca, kondisi pasar, dan permintaan konsumen.

Tak jarang, mereka harus bekerja berjam-jam di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Ketidakpastian pendapatan ini lantas berdampak pada berbagai aspek kehidupan mereka.

Akses terhadap layanan kesehatan yang memadai menjadi mimpi bagi banyak pekerja informal. Biaya pengobatan yang mahal dan minimnya jaminan kesehatan membuat mereka enggan untuk berobat, meskipun tengah dilanda sakit.

Selain itu, ketidakadilan sering kali mewarnai kehidupan pekerja informal. Mereka rentan terhadap eksploitasi dan diskriminasi. Upah mereka terkadang jauh di bawah standar minimum, dan mereka tidak memiliki akses terhadap hak-hak buruh dasar seperti cuti hamil dan cuti sakit.

Meskipun sering diabaikan, pekerja informal memainkan peran penting dalam perekonomian. Mereka menyediakan layanan dan produk yang dibutuhkan masyarakat dengan harga yang terjangkau. Mereka juga memainkan peran penting dalam menjaga kelancaran ekonomi lokal.

Seperti hari ini, sebagian buruh merayakan hari libur, tetapi tidak sedikit pekerja informal yang tetap masuk kerja. Hal tersebut tetap mereka lakukan, tidak lain karena mereka menjadi tulang punggung bagi keluarga.

Saat ini, pekerja informal menghadapi banyak tantangan, seperti minimnya akses terhadap modal, pelatihan, dan teknologi. Mereka juga menghadapi stigma dan diskriminasi karena dianggap sebagai pekerja kelas bawah.

Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk membantu pekerja informal. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan akses terhadap modal, pelatihan, dan teknologi. Pemerintah juga perlu memperkuat regulasi dan penegakan hukum untuk melindungi hak-hak pekerja informal.

Masyarakat pun harus lebih menghargai dan mendukung pekerja informal. Kita dapat membeli produk dan layanan mereka, serta memberikan upah yang layak. Kita juga dapat membantu mereka dalam mendapatkan akses terhadap layanan sosial dan ekonomi.

Hari Buruh seharusnya menjadi momen untuk merayakan semua pekerja, termasuk pekerja informal. Kita perlu mengakui kontribusi mereka terhadap perekonomian dan masyarakat. Kita juga perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil dan inklusif bagi mereka.

Pekerja informal adalah pahlawan tak kasat mata yang menopang ekonomi bangsa. Di Hari Buruh ini, marilah kita bersama-sama menyuarakan hak-hak dan memperjuangkan kesejahteraan mereka. Dengan upaya bersama, kita dapat membangun masa depan yang lebih cerah bagi seluruh pekerja di Indonesia.

Ayatul Ma'rifah