Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Ayatul Marifah
Ilustrasi pungutan liar atau pungli. [Shutterstock]

Mendapatkan pelayanan publik yang prima dan berkualitas adalah dambaan semua orang. Sayangnya, belum semua proses pelayanan publik di Indonesia merepresentasikan prinsip profesionalitas dan transparansi. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya temuan praktik pungutan liar atau pungli.

Berdasarkan undang-undang Pasal 12 No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pungli adalah perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. 

Pada dasarnya pungli merupakan perilaku fraud akibat tingginya ketidakpastian dalam proses pelayanan publik. Prosedur pelayanan yang panjang dan berbelit membuat masyarakat merasa tidak ada jalan pintas lain selain pungli. Munculnya masalah tersebut masih sering dijumpai karena peradigma pelayanan publik yang belum berubah dari peradigma lama menuju paradigma baru.

Paradigma lama ditandai dengan masih adanya perilaku pelayanan publik yang menempatkan dirinya untuk dilayani bukan melayani. Atau dalam hal ini kita ya masih berkutat dengan manajemen pelayanan publik konvensional dan rigid. Hal itu pulalah yang menyebabkan kecenderungan angka pungli dan masyarakat semakin toleran dengan praktik pungli. Belum lagi rendahnya pengawasan dari atasan dan instansi terkait semakin menyuburkan praktik tersebut.

Data dari Satuan Tugas Saber Pungli pada periode November tahun 2020 setidaknya ada 754 kasus operasi tangkap tangan atau OTT. Adapun dari daerah setidaknya ada 26.653 laporan dugaan praktik pungli.

Data survei tahun 2019 oleh Transparency Internasional yang menyoal Global Corruption Barometer menyebut 30 persen pengguna layanan publik di Indonesia masih harus membayar uang lebih atau pungli. Tingginya temuan kasus tersebut menunjukkan bahwa kinerja birokrasi dan pelayanan publik masih buruk dalam melaksanakan pelayanan umum bagi masyarakat.

Apabila kita telaah lebih lanjut, secara tidak langsung praktik pungli merusak sendi-sendi kehidupan berdemokrasi. Dalam hal ini posisi masyarakat sangat rentan menjadi korban praktik patologi birokrasi. Banyak masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah kemudian pasrah atas prosedur yang berlaku.

Di sisi lain masyarakat tidak tahu harus melapor ke pihak mana, pun misal melapor mereka takut akan keselamatan diri mereka sendiri. Bahkan di beberapa daerah praktik pungli justru sudah menjadi aturan sosial yang kemudian membudaya. Hal tersebut tentunya tidak boleh kita biarkan. Mengingat negara kita adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi asas-asas Pancasila. 

Mengutip dari penuturan Presiden Joko Widodo, praktik pungli harus dicabut hingga akarnya. Tentu saja upaya tersebut harus dilakukan dengan sinergi dan peran aktif seluruh elemen masyarakat. Hal tersebut juga harus dibarengi dengan komitmen kuat dari pemerintah untuk tegas dalam pengawasan bdan kontrol di lingkungan abdi negara. Dari segi masyarakat, edukasi menjadi kunci membangkitkan kesadaran bahwa pelayanan yang diterima adalah hak dan melayani adalah kewajiban pelayan publik.

Aspek lain yang perlu ditegakkan adalah kesadaran dan ketegasan untuk melaporkan setiap penemuan terhadap tindakan pungli. Dalam hal ini lembaga pengawas harus melindungi dan memberikan bantuan hukum kepada pelapor. Akhirnya dengan sinergi dan peran aktif elemen masyarakat harapan terwujudnya pelayanan publik yang transparan dan akuntabel akan terlaksana.

Ayatul Marifah