Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sherly Azizah
komentar sinis netizen terkait aspirasi gaji guru honorer [tiktok/inibukanniko]

Kemarin, gelombang demonstrasi mewarnai jalan-jalan Jakarta dengan sorakan dan poster-poster yang memprotes putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu poster yang mencuri perhatian bertuliskan, "Mbak Er, rotimu yang Rp 400 ribu itu gaji guru honorer satu bulan!"

Pesan tersebut adalah bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dirasakan oleh para guru honorer yang selama ini berjuang dengan imbalan yang tidak sebanding dengan tanggung jawab mereka.

Di tengah kepadatan protes, muncul komentar dari akun media sosial @Te_hanyo yang secara sinis menanggapi aspirasi ini dengan pernyataan, "Lu yang miskin, lu nyalahin orang lain kaya, kalau gak mau gaji segitu resign, pindah kerja pabrik yang UMR simple."

Pernyataan tersebut tidak hanya menunjukkan ketidakpedulian terhadap realitas sosial yang dihadapi banyak orang, tetapi juga memperlihatkan pandangan yang dangkal mengenai masalah kesejahteraan dan keadilan sosial.

Komentar semacam itu mengabaikan kenyataan bahwa banyak profesi, terutama guru honorer, beroperasi di bawah sistem yang tidak adil. Gaji yang rendah bukanlah sekadar masalah individu, tetapi sebuah cerminan dari struktur sistemik yang tidak menghargai peran penting pendidikan.

Menganggap bahwa seseorang yang tidak puas dengan gajinya hanya perlu berpindah kerja adalah simplifikasi yang meremehkan konteks sosial dan ekonomi yang lebih luas. Hal ini tidak hanya menyinggung perasaan mereka yang berjuang dengan imbalan yang tidak sesuai, tetapi juga meremehkan kontribusi penting mereka terhadap masyarakat.

Perdebatan ini juga mengungkapkan adanya kesenjangan pemahaman yang tajam antara mereka yang terlibat langsung dalam profesi dengan mereka yang hanya melihat dari luar. Menyederhanakan masalah dengan mengabaikan faktor-faktor seperti biaya hidup, inflasi, dan kebutuhan dasar menunjukkan betapa terputusnya pandangan orang-orang yang berbicara tanpa pemahaman mendalam mengenai kondisi orang lain. Guru honorer sering kali harus menghadapi tantangan finansial yang berat dan belum mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah maupun masyarakat luas.

Pandangan yang menganggap masalah ini sebagai isu yang bisa dipecahkan dengan berpindah kerja menunjukkan kurangnya empati terhadap perjuangan individu dalam menghadapi sistem yang lebih besar.

Mengabaikan hak untuk mendapatkan gaji yang adil dan setimpal merupakan bentuk penolakan terhadap prinsip keadilan sosial yang seharusnya menjadi dasar dalam masyarakat yang demokratis. Ketidakadilan yang dialami oleh para guru honorer seharusnya menjadi perhatian bersama, bukan hanya masalah individu yang bisa diselesaikan dengan mudah.

Sebagai masyarakat, kita perlu lebih memahami konteks dan kesulitan yang dihadapi oleh berbagai profesi. Pihak-pihak yang memiliki pandangan cetek tentang masalah ini sebaiknya menyadari bahwa mengabaikan ketidakadilan sosial hanya akan memperburuk keadaan dan menghalangi kemajuan menuju kesejahteraan yang lebih merata. Dialog yang sehat dan solusi yang berorientasi pada keadilan adalah kunci untuk menyelesaikan masalah ini, bukan hanya sekadar komentar yang menyinggung atau menyederhanakan kompleksitas situasi.

Demonstrasi yang terjadi kemarin adalah kesempatan berharga untuk menyoroti dan mendiskusikan isu-isu penting seperti kesejahteraan guru honorer. Daripada merespons dengan komentar sinis yang tidak membangun, penting bagi semua pihak untuk terlibat dalam diskusi yang konstruktif dan berupaya mencari solusi yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan semua anggota masyarakat. Dengan demikian, kita dapat bekerja bersama untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua.

Sherly Azizah