Fenomena bullying yang kian hari makin masif, terutama melibatkan generasi muda, seperti menjadi ancaman tersendiri bagi perkembangan sosial bangsa Indonesia. Hal inilah yang memerlukan perhatian serius dari para pemangku kebijakan, karena dampaknya tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Generasi muda yang seharusnya tumbuh dalam lingkungan yang penuh dukungan justru sering kali menjadi korban atau pelaku perundungan, baik secara sadar maupun tanpa mereka sadari. Mereka terjebak dalam dinamika sosial yang kerap menganggap merendahkan orang lain sebagai bentuk kelakar atau wujud menunjukkan eksistensi diri.
Padahal tanpa disadari, paradigma semacam itu menjadi bibit suburnya praktik perundungan di berbagai tempat, mulai dari sekolah, lingkungan pertemanan hingga dunia maya.
Salah satu faktor utama yang tidak dapat dinafikan adalah pengaruh lingkungan pergaulan. Lingkungan yang keras, penuh kompetisi tidak sehat, atau minim pengarahan moral dapat dengan mudah membentuk karakter seseorang untuk melakukan perundungan sebagai upaya mempertahankan posisi atau mencari pengakuan.
Pelaku Aksi Bullying yang Tak Paham Dampak pada Korban
Banyak pelaku bullying sebenarnya tidak sepenuhnya memahami dampak perbuatannya. Mereka hanya mengikuti pola perilaku yang dianggap “normal” dalam kelompoknya.
Ketika tindakan merendahkan orang lain mendapat sorakan, tepuk tangan, atau dukungan dari teman-teman sebaya, hal tersebut menjadi penguatan yang membuat mereka merasa berhak untuk terus melakukannya. Padahal, bagi korban yang menerima perilaku tersebut, luka yang ditinggalkan bisa sangat panjang, bahkan menetap hingga dewasa.
Sementara itu, di sisi lain, korban bullying sering kali merasa tidak memiliki ruang untuk bersuara. Mereka takut dianggap lemah, takut diejek lebih lanjut, atau bahkan takut bahwa laporan mereka tidak akan mendapatkan respons berarti dari lingkungan sekitar, termasuk pihak sekolah maupun keluarga.
Akhirnya, banyak korban memilih diam meskipun mengalami tekanan mental, kehilangan kepercayaan diri, atau trauma berkepanjangan.
Diamnya para korban inilah yang kemudian membuat kasus perundungan terus terjadi tanpa pernah benar-benar terselesaikan. Seolah-olah masalah itu hanyalah lingkup persoalan personal, padahal sesungguhnya merupakan persoalan sistemik yang membutuhkan solusi menyeluruh. Bagi dari pendampingan si Korban atau penindakan pada si Pelaku agar muncul efek jera.
Bullying bak Banang Kusut yang Sulit Diurai
Hemat saya, jika fenomena ini terus dibiarkan, tidak dapat dipungkiri bahwa kasus bullying akan menjadi benang kusut yang semakin sulit diurai. Bukannya berkurang, justru semakin rumit karena melibatkan berbagai aktor dan dinamika sosial yang saling terkait. Kita bisa melihat bagaimana kasus perundungan yang berulang kerap viral di media sosial, mendapat perhatian besar, tetapi kemudian berakhir tanpa penyelesaian yang tegas.
Hal itu menunjukkan adanya ketimpangan antara besarnya perhatian publik dengan lemahnya penanganan konkret di lapangan. Aparat, institusi pendidikan, dan masyarakat seakan bergerak sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang kuat, sehingga upaya pencegahan maupun penindakan menjadi kurang efektif.
Padahal untuk menghentikan lingkaran perundungan ini, perlu keterlibatan menyeluruh dari berbagai pihak, terutama pemangku kebijakan.
Pemerintah perlu merumuskan regulasi yang lebih ketat dan menegaskan konsekuensi hukum bagi pelaku bullying, terutama jika tindakan tersebut menyebabkan luka fisik atau psikologis yang berat.
Sekolah juga harus memiliki sistem pencegahan dan penanganan bullying yang jelas, mulai dari program edukasi anti-bullying, konseling rutin, hingga mekanisme pelaporan yang aman bagi korban.
Dukungan Lingkungan guna Mereduksi Aksi Bullying
Lingkungan terdekat dalam hal ini orang tua, tidak boleh lepas tangan. Sebab keluarga menjadi lingkungan pertama yang membentuk karakter anak.
Penguatan nilai empati, komunikasi terbuka, dan pengawasan pergaulan menjadi aspek penting untuk mencegah anak masuk dalam lingkaran perundungan, baik sebagai korban maupun pelaku. Lebih jauh lagi, masyarakat secara umum harus menciptakan budaya yang tidak memberikan ruang bagi perilaku merendahkan orang lain.
Perundungan bukanlah candaan dan tidak boleh dinormalisasi dalam bentuk apa pun. Jika kita melihat aksi itu terjadi, sudah seharus berani menegur dan menolak tindakan tersebut. Baik bentuk bullying di dunia nyata maupun di dunia maya. Tentu saja dengan langkah itu, perubahan sosial dapat berjalan secara gradual dan menyeluruh.
Sebab fenomena bullying tidak akan pernah benar-benar hilang jika hanya dibebankan kepada satu pihak. Namun, melalui upaya sinergi dari berbagai pihak melalui cara kolaboratif dan tentu saja dengan kesadaran kolektif. Mari kita putus mata rantai masalah bullying guna menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi generasi muda agar tidak menjadi pelaku atau korban bullying.
Artikel Terkait
Kolom
-
Kenapa Gen Z Menjadikan Sitcom Friends sebagai Comfort Show?
-
Merosotnya Kepercayaan Publik dan Pemerintah yang Tak Mau Mengalah
-
Dirut Terra Drone Tersangka, Safety Kantor Wajib Dievaluasi
-
CERPEN: Remote Televisi di Antara Norma dan Hukum Rimba
-
Dari Pinggir Pesisir: Kisah Perempuan Nelayan yang Suaranya Sering Tak Didengar
Terkini
-
The Great Flood Ungkap Ketegangan Park Hae Soo saat Selamatkan Kim Da Mi
-
Rating Meledak! Nam Goong Min Muncul di Drama Korea Dynamite Kiss usai Menghilang
-
Stop Victim Mentality! Insights Akbar Abi dari Buku Berani Tidak Disukai
-
Jadwal Bentrok dengan MMA 2025, D.O. EXO Absen di Pernikahan Kim Woo Bin
-
Ini 2 Zodiak yang Disebut Paling Berpeluang Jadi Orang Sukses: Kamu Salah Satunya?