Pernikahan dini sebagai sebuah praktik yang telah mengakar dalam beberapa budaya, kini kembali menjadi sorotan. Didasarkan pada norma sosial dan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun, praktik ini seringkali dianggap sebagai jalan keluar dari berbagai permasalahan, seperti kemiskinan atau menjaga kehormatan keluarga. Namun, di balik tradisi tersebut, tersimpan berbagai konsekuensi yang merugikan bagi anak perempuan, terutama dalam hal kesehatan, pendidikan, dan masa depan mereka.
Dalam era modern ini, ketika perempuan semakin berdaya dan memiliki akses yang lebih luas terhadap pendidikan dan informasi, praktik pernikahan dini justru tampak semakin kontras. Namun, berbagai faktor seperti kurangnya kesadaran dan tekanan sosial masih menyebabkan banyak anak perempuan dipaksa menikah di usia muda. Pertanyaannya adalah, mengapa tradisi yang sudah seharusnya ditinggalkan ini masih terus berlanjut?
Pernikahan dini adalah cerminan dari ketidaksetaraan gender yang masih mengakar dalam masyarakat. Praktik ini menempatkan anak perempuan dalam posisi yang tidak adil, membatasi kebebasan mereka, dan melanggar hak-hak dasar mereka. Pernikahan dini juga memperkuat siklus kemiskinan dan ketergantungan, serta menghambat upaya untuk mencapai kesetaraan gender. Ketika dunia sibuk berbicara tentang kesetaraan gender, mengapa praktik pernikahan dini masih marak terjadi di negeri ini?
Fenomena ini masih menjadi topik pembicaraan yang hangat di media sosial, tempat keluh kesah manusia modern di abad ke-21 ini. Konten-konten yang menunjukkan seorang anak yang baru saja lulus SD atau SMP tengah mengandung, melakukan acara pernikahan, atau yang paling populer adalah tebar kemesraan via chat atau foto-foto di tempat estetik yang viral. Menjadi sebuah tren, kebanggaan yang dipandang sebelah mata sebagai sesuatu yang miris. Pasalnya bukan hanya soal dampak, tapi pengakuan yang tak begitu banyak membantu pemikiran kuno masyarakat soal pernikahan dini ini.
"Setiap hari, saya menyesali keputusan untuk menikah di usia muda. Mimpi saya untuk melanjutkan sekolah dan memiliki karier yang sukses sirna begitu saja. Saya merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak pernah saya pilih, dan beban menjadi seorang istri dan ibu di usia yang sangat muda sangat berat untuk saya tanggung," kata salah satu komentar di sebuah postingan yang menunjukkan betapa maraknya tren nikah muda ini. Beberapa orang hanya mengadu nasib ketika di usia standar menikah ini, mereka bahkan belum memiliki kesiapan apapun untuk memasuki jenjang sakral itu. Sisanya turut berkisah tentang bagaimana mereka harus bercerai karena tekanan ekonomi, psikologis, egoisme, KDRT, dan masalah lain yang tidak terlihat di luar kacamata.
Sejarah mencatat bahwa pernikahan dini dan perjodohan telah ada sejak ribuan tahun lalu. Di masa lalu, usia rata-rata menikah jauh lebih muda dibandingkan saat ini. Praktik ini seringkali dikaitkan dengan sistem sosial yang patriarkal, ketika perempuan memiliki peran yang lebih terbatas dalam masyarakat. Pernikahan dini juga dipandang sebagai cara untuk mengontrol populasi dan memastikan kelangsungan keturunan.
Salah satu alasan utama mengapa pernikahan dini dan perjodohan begitu populer di masa lalu adalah faktor ekonomi. Pernikahan dini seringkali dianggap sebagai cara untuk mengurangi beban ekonomi keluarga, terutama bagi keluarga miskin. Anak perempuan yang dinikahkan dianggap sebagai aset yang dapat ditukar dengan mas kawin atau keuntungan lainnya. Selain itu, pernikahan dini juga dapat dianggap sebagai bentuk asuransi sosial bagi perempuan, karena mereka akan memiliki suami yang dapat menafkahi mereka.
Meskipun praktik pernikahan dini dan perjodohan masih terjadi di beberapa masyarakat, namun seiring berjalannya waktu, pandangan masyarakat terhadap praktik ini mengalami perubahan. Dengan semakin berkembangnya kesadaran akan hak-hak perempuan, pentingnya pendidikan, dan dampak negatif pernikahan dini terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak, praktik ini mulai dipertanyakan dan dikritik. Namun, mengubah tradisi yang sudah mengakar bukanlah hal yang mudah, dan masih banyak tantangan yang harus dihadapi.
Dampak pernikahan dini bersifat jangka panjang dan multidimensional. Selain risiko kesehatan fisik yang langsung terlihat, seperti komplikasi kehamilan, pernikahan dini juga dapat menyebabkan masalah kesehatan mental jangka panjang, seperti depresi dan kecemasan. Secara ekonomi, perempuan yang menikah dini seringkali kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan keluar dari lingkaran kemiskinan. Sosial, mereka seringkali menghadapi diskriminasi dan stigma, yang dapat mengisolasi mereka dari masyarakat dan membatasi jaringan dukungan sosial mereka. Akibatnya, siklus kemiskinan dan ketidaksetaraan gender semakin sulit untuk diputus.
Pernikahan dini merampas masa depan cerah bagi banyak perempuan. Bayangkan, saat teman-teman seusianya sibuk belajar dan mengejar mimpi, mereka harus menghadapi tanggung jawab sebagai istri dan ibu. Secara fisik, mereka rentan terhadap berbagai penyakit akibat kehamilan dini. Secara psikologis, mereka seringkali merasa terjebak, kehilangan kontrol atas hidup mereka, dan mengalami trauma. Secara ekonomi, peluang mereka untuk meraih kemandirian finansial menjadi sangat terbatas. Sosial, mereka seringkali menjadi korban kekerasan dan diskriminasi. Pernikahan dini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus segera dihentikan.
Meskipun zaman telah berubah dan kesadaran akan hak-hak perempuan semakin meningkat, masalah pernikahan dini masih saja relevan. Akar masalahnya terletak pada ketidaksetaraan gender yang masih mengakar dalam masyarakat, kemiskinan, kurangnya akses terhadap pendidikan, dan tekanan sosial yang kuat. Meskipun perempuan kini memiliki lebih banyak kesempatan untuk bersekolah dan bekerja, namun stigma sosial terhadap perempuan yang tidak menikah di usia muda masih seringkali menjadi hambatan. Selain itu, kemiskinan yang masih menjadi masalah di banyak daerah membuat keluarga merasa terpaksa menikahkan anak perempuan mereka sebagai bentuk jaminan ekonomi.
Pernikahan dini bukan hanya masalah sesaat, tetapi memiliki dampak jangka panjang yang sangat serius. Meskipun kondisi hidup telah membaik, namun perempuan yang menikah dini masih menghadapi risiko kesehatan yang lebih tinggi, kesulitan dalam mengakses pendidikan dan pekerjaan, serta rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, anak-anak yang lahir dari pernikahan dini seringkali mengalami kekurangan gizi, stunting, dan kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan. Meskipun banyak upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, namun dampak jangka panjang dari pernikahan dini masih terus dirasakan oleh generasi mendatang.
Pernikahan dini juga bukan hanya masalah lokal, tetapi juga merupakan tantangan global yang saling terkait dengan berbagai isu pembangunan berkelanjutan. Praktik ini menghambat pencapaian banyak tujuan SDGs, termasuk menghentikan kemiskinan, memastikan kesehatan dan kesejahteraan, memastikan kesetaraan gender, serta menjamin pendidikan berkualitas. Perempuan yang menikah dini seringkali terjebak dalam siklus kemiskinan, memiliki akses terbatas terhadap layanan kesehatan reproduksi, dan putus sekolah. Hal ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menghambat pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional dan global.
Untuk mengatasi masalah pernikahan dini dan perjodohan anak, kita perlu melangkah keluar dari pendekatan tradisional. Selain kampanye kesadaran dan penegakan hukum, kita perlu memberdayakan ekonomi perempuan melalui pelatihan keterampilan, akses modal, dan dukungan untuk memulai usaha. Dengan memiliki penghasilan sendiri, perempuan akan memiliki lebih banyak otonomi dan dapat menolak tekanan untuk menikah dini. Selain itu, kita perlu menciptakan lingkungan yang mendukung perempuan untuk melanjutkan pendidikan mereka dan mengejar karier.
Baca Juga
-
Mapel Coding dan AI untuk SD, Kebijakan FOMO atau Kebutuhan Pendidikan?
-
Imabsi Gelar Kelas Karya Batrasia ke-6, Bahas Repetisi dalam Puisi
-
Magang untuk Cari Pengalaman, tapi Dituntut Punya Pengalaman?
-
Jejak Kolonialisme dalam Tindakan Penjarahan: Jajah Bangsa Sendiri?
-
Adakan PTKO II, Imabsi FKIP Unila Bekali Anggota agar Paham Renstra dan LPJ
Artikel Terkait
-
Tren Childfree di Indonesia Melonjak, Sejauh Mana Negara Hadir?
-
Israel Kembali Gempur Gaza, 66 Tewas dalam Semalam Termasuk Anak-anak yang Sedang Tidur
-
Prediksi Trend Fashion 2025: Angkat Isu Lingkungan, Gender hingga Teknologi
-
PBB: 700 Anak Palestina Diculik Setiap Tahun, Iran Tuntut Akuntabilitas Global
-
Tren Fesyen Ramah Lingkungan, Yuk Perpanjang Umur Pakaianmu!
Kolom
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Regenerasi Terhambat: Dinasti Politik di Balik Layar Demokrasi
-
Tren Childfree di Indonesia Melonjak, Sejauh Mana Negara Hadir?
-
Trend Lagu Viral, Bagaimana Gen Z Memengaruhi Industri Musik Kian Populer?
-
Usai Kemenangan Telak di Pilpres AS, Apa yang Diharapkan Pendukung Donald Trump?
Terkini
-
Makna Perjuangan yang Tak Kenal Lelah di Lagu Baru Jin BTS 'Running Wild', Sudah Dengarkan?
-
Ulasan Buku 'Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja', Bagikan Tips Jago Berkomunikasi
-
Puncak FFI 2024: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih 7 Piala Citra
-
Ditanya soal Peluang Bela Timnas Indonesia, Ini Kata Miliano Jonathans
-
3 Rekomendasi Oil Serum Lokal Ampuh Meredakan Jerawat, Tertarik Mencoba?