Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi mukbang (Freepik/wayhomestudio)

Di tengah maraknya isu kelaparan dunia, ironis rasanya melihat begitu banyak makanan terbuang sia-sia di piring kita. Sementara ada jutaan orang yang berjuang mendapatkan makanan setiap hari, kita dengan santainya menyisakan nasi, lauk, dan minuman yang tak habis.

Sungguh, kebiasaan menyisakan makanan ini bukan sekadar pemborosan, tapi juga cerminan kepedulian kita yang minim terhadap sesama.

Dulu, nasi jatuh satu butir saja sudah diangkat dan dimakan. Namun, kini menyisakan makanan seolah menjadi hal yang biasa. Apa yang terjadi dengan nilai-nilai kita? Ke mana rasa syukur kita atas rezeki yang melimpah? Kebiasaan menyisakan makanan adalah cerminan dari perubahan zaman yang ironis.

Menyisakan makanan sering kali dianggap sebagai simbol status sosial. Semakin banyak makanan yang tersisa di piring, seolah semakin tinggi level sosial seseorang. Padahal, gaya hidup yang berkelanjutan justru ditandai dengan sikap menghargai dan memanfaatkan sumber daya secara bijaksana.

Mungkin kita sering berpikir, "Ah, hanya sedikit makanan kok, apa sih pengaruhnya?" Nyatanya, kebiasaan menyisakan makanan ini memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat.

Setiap butir nasi yang terbuang sia-sia adalah bagian dari sumber daya alam yang terbatas. Mulai dari air yang digunakan untuk irigasi, tanah yang subur untuk pertanian, hingga energi yang dibutuhkan untuk mengolah dan mengangkut makanan.

Kembali ke pembahasan mengenai pemborosan makanan, ada sebuah tren yang masih populer sampai saat ini, yaitu tren mukbang. Mukbang adalah singkatan dari "meokbang" yang berasal dari bahasa Korea, "meok" berarti "makan" dan "bang" berarti "siaran".

Jadi, mukbang secara sederhana dapat diartikan sebagai siaran langsung atau video rekaman seseorang yang sedang makan dalam porsi yang cukup besar. Fenomena ini menjadi populer di berbagai platform media sosial, terutama di kalangan generasi muda.

Mukbang adalah tren yang menarik dan kompleks. Di satu sisi, ia dapat menjadi sumber hiburan dan inspirasi. Namun di sisi lain, fenomena ini juga membawa sejumlah konsekuensi negatif, terutama terkait dengan kesehatan mental dan pemborosan makanan.

Makanan yang seharusnya menjadi sumber energi justru menjadi alat untuk meraih popularitas dan kekayaan. Ironisnya, makanan yang sama yang kita syukuri, justru disia-siakan demi kepuasan sesaat.

Di era media sosial, tren mukbang seakan menjadi fenomena yang tak terelakkan. Para konten kreator dengan lahap menyantap makanan dalam porsi besar, memancing decak kagum dari penonton. Namun, di balik layar gemerlap, tersimpan rahasia kelam.

Beberapa dari mereka, demi menjaga penampilan fisik yang ideal, terpaksa memuntahkan kembali makanan yang telah mereka santap. Ironis bukan? Di satu sisi, mereka menghibur jutaan pasang mata dengan pesta makan yang menggiurkan, di sisi lain mereka justru berjuang melawan rasa bersalah dan tekanan untuk memiliki tubuh sempurna.

Pada kasus lain, masih berkaitan dengan makanan, salah satu konten kreator lokal yang membagikan video mukbangnya di hotel untuk tujuan promosi, Khairul Leon, banyak menuai kritik dan hujatan dari pengguna media sosial lain.

Memang dalam budaya kita, sering kali porsi makan yang besar diidentikkan dengan keserakahan. Namun, konten kreator ini menunjukkan bahwa makan dalam porsi besar tidak selalu berkonotasi negatif.

Dengan menghabiskan seluruh porsi makanan, ia sebenarnya sedang menantang norma-norma yang ada dan mengajak kita untuk lebih terbuka terhadap variasi porsi makan.

Dalam era banyak orang cenderung membuang makanan, aksi Khairul Leon ini justru menjadi sebuah bentuk apresiasi terhadap makanan.

Dengan menghabiskan seluruh porsi yang disajikan, ia menunjukkan bahwa setiap hidangan yang disiapkan oleh koki hotel adalah hasil kerja keras dan layak untuk dinikmati sepenuhnya. Tindakannya ini dapat menginspirasi penonton untuk lebih menghargai makanan dan menghindari pemborosan.

Kadang realitas memang tidak sebanding dengan apa yang tampil di media sosial yang biasanya di-setting untuk tujuan tertentu.

Kita sebagai pengguna media sosial, pasti setidaknya pernah memosting makanan yang akan kita makan di akun pribadi kita. Entah untuk promosi dan iklan, untuk portofolio, atau untuk hiburan semata, hanya untuk alasan estetika.

Mungkin, jika kita kembali ke fakta, belum tentu makanan itu akan habis kita nikmati. Barangkali tidak sesuai rasanya, tidak cocok seleranya, atau memang kita yang tidak bisa makan terlalu banyak, tetapi memaksa memesan makanan atau minuman sebanyak mungkin hanya untuk kebutuhan media sosial dan likes semata.

Ada banyak kejadian di restoran-restoran, kafe-kafe, sampai tempat makan pinggir jalan, yang selalu memiliki sekian meja yang diisi oleh piring-piring berisi makanan sisa yang belum lama ditinggal si pemesan. Ini lumrah, kita membiasakannya.

Ada fenomena unik yang viral dengan menampilkan aksi mengambil makanan sisa dari meja makan telah menyoroti masalah pemborosan makanan.

Di satu sisi, aksi ini patut diapresiasi karena menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan dan sesama. Tentu tetap ada kritik pedas masalah kesehatan atau gengsi.

Namun, di sisi lain, hal ini juga menjadi cerminan dari masalah yang lebih besar, yaitu kebiasaan membuang makanan yang masih layak konsumsi.

Pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah, mengapa tindakan mengambil makanan sisa harus menjadi viral, padahal seharusnya tindakan menghargai makanan adalah hal yang biasa?

Kegengsian menghabiskan makanan karena takut dicap ndeso adalah sebuah paradoks yang ironis. Di satu sisi, tindakan ini seolah-olah menunjukan status sosial yang tinggi, namun di sisi lain, hal ini justru mencerminkan ketidakpedulian terhadap masalah sosial yang lebih luas.

Membuang-buang makanan adalah bentuk ketidaktahuan terhadap perjuangan para petani dan nelayan yang bekerja keras untuk menghasilkan pangan. Selain itu, tindakan ini juga berkontribusi pada masalah lingkungan, seperti pemanasan global dan perubahan iklim.

Alih-alih mengejar gengsi semu, kita seharusnya lebih fokus pada nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, kepedulian terhadap sesama, dan keberlanjutan lingkungan. Membiasakan diri untuk menghargai setiap suapan makanan adalah langkah kecil yang dapat kita lakukan untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

Tren mukbang dan gengsi menghabiskan makanan adalah cerminan dari masalah yang lebih besar, yaitu konsumerisme dan materialisme. Meskipun masalah pemborosan makanan tampak besar, kita masih memiliki kesempatan untuk mengubahnya.

Dengan kesadaran dan tindakan nyata dari setiap individu, kita dapat menciptakan perubahan yang signifikan. Barangkali kita bisa minta untuk membungkus sisa makanan kita untuk dibawa pulang dan dinikmati kembali di rumah, atau alternatif lain seperti bijaksana memesan sesuai porsinya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati