Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi pasangan (Pexels/Tan Danh)

Pasti tidak asing dengan istilah living together alias tinggal bersama pasangan sebelum menikah. Coba deh kita pikir-pikir lagi, masuk akal nggak sih tinggal bareng sebelum nikah itu?

Katanya sih biar hemat, patungan ini itu, terus bisa sekalian uji coba hubungan biar tahu sifat asli pasangan. Tapi kalau dipikir-pikir, hematnya cuma di awal doang. Nanti pas ada masalah besar, misal salah satu sakit parah atau hamil di luar nikah, siapa yang mau tanggung jawab penuh?

Lagi pula, uji coba yang nggak ada komitmen jelas itu gimana ya? Kalau nggak cocok, tinggal angkat kaki, nggak ada ikatan apa-apa. Ini namanya uji coba apa coba-coba doang, yang penting senang dulu, nanti pusingnya belakangan.

Ibaratnya bangun rumah tanpa fondasi yang kuat, kelihatannya cepat jadi, tapi rawan roboh pas kena angin kencang. Jadi, apa iya semua kepraktisan itu sebanding dengan potensi risiko dan kerumitan di kemudian hari?

Masalahnya, fenomena living together atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan formal kian marak di kalangan generasi muda, termasuk mahasiswa, di Indonesia.

Apa yang sebelumnya dianggap sebagai penyimpangan, kini tak jarang dipandang sebagai bagian dari dinamika hubungan kontemporer. Pergeseran ini memunculkan berbagai pandangan, dari penerimaan hingga perdebatan serius mengenai implikasi sosial dan moral.

Salah satu argumen utama yang kerap dikemukakan untuk membenarkan praktik living together adalah faktor ekonomis.

Konsep berbagi biaya sewa tempat tinggal, utilitas, dan kebutuhan sehari-hari dinilai mampu meringankan beban finansial, terutama bagi mereka yang masih mengandalkan dukungan keluarga atau pendapatan paruh waktu. Dari perspektif pragmatis, penghematan ini memang terlihat logis dan efisien.

Namun, patut dipertanyakan apakah aspek finansial ini merupakan motivasi tunggal, atau justru menjadi dalih untuk menghindari komitmen jangka panjang yang melekat pada pernikahan.

Kecenderungan untuk mencari solusi instan demi kenyamanan pribadi tanpa mempertimbangkan implikasi lebih luas sering kali menjadi ciri khas keputusan yang diambil berdasarkan rasionalitas ekonomi sempit. Apakah penghematan beberapa rupiah sepadan dengan potensi konsekuensi yang lebih kompleks di kemudian hari?

Argumen lain yang populer adalah bahwa living together berfungsi sebagai uji coba atau masa penjajakan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Tujuannya adalah untuk memahami karakter, kebiasaan, dan kompatibilitas pasangan dalam keseharian. Ide ini terdengar rasional, mirip dengan konsep test drive sebelum membeli kendaraan.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa uji coba dalam konteks hubungan ini sering kali minim komitmen substantif. Ketiadaan ikatan hukum atau sosial yang kuat dapat menciptakan dinamika hubungan yang rapuh.

Apabila timbul masalah atau ketidakcocokan, jalan keluar yang diambil cenderung lebih mudah, yaitu perpisahan, tanpa beban prosedur perceraian atau pertimbangan dampak jangka panjang.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah ini benar-benar sebuah eksplorasi serius yang mengarah pada komitmen lebih tinggi, atau sekadar eksperimen tanpa batas yang memungkinkan kedua belah pihak untuk keluar kapan saja tanpa konsekuensi berarti?

Ketiadaan tekanan komitmen justru dapat menghambat proses adaptasi dan penyelesaian masalah yang esensial dalam membangun fondasi hubungan yang kokoh.

Konsep kebebasan personal dan kemandirian juga sering dijadikan landasan. Generasi muda merasa berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, bebas dari kungkungan tradisi atau norma sosial yang dianggap usang.

Dalam konteks ini, living together dianggap sebagai manifestasi otentik dari kebebasan tersebut, memungkinkan individu untuk mengatur hidup sesuai keinginan tanpa intervensi eksternal.

Meskipun terdapat nuansa kemerdekaan dalam pilihan ini, penting untuk mempertimbangkan batasan dan tanggung jawab yang menyertainya.

Kebebasan personal tidak berarti kebebasan dari konsekuensi. Apabila terjadi situasi tidak terduga seperti kehamilan, masalah kesehatan serius, atau kesulitan finansial mendalam, siapakah yang akan memikul tanggung jawab?

Kebebasan yang digaungkan sering kali hanya berlaku pada fase menyenangkan, tetapi ketika dihadapkan pada kesulitan, beban tanggung jawab sering kali tidak siap dipikul sendiri.

Fenomena living together yang kian diterima di sebagian lingkungan sosial, terutama di perkotaan dan area kampus, menciptakan ilusi normalisasi. Lingkungan pergaulan yang terbuka dan paparan media sosial yang masif turut membentuk persepsi bahwa praktik ini adalah hal yang wajar dan bagian dari gaya hidup modern.

Namun, normalisasi ini patut dikritisi. Apakah sesuatu yang menjadi normal secara statistik otomatis menjadi benar secara etika atau moral? Di Indonesia, nilai-nilai agama dan adat istiadat yang sangat menjunjung tinggi kesakralan institusi pernikahan masih mengakar kuat.

Normalisasi living together secara implisit dapat mendisrupsi nilai-nilai ini, berpotensi menimbulkan kerenggangan hubungan dengan keluarga dan lingkungan sosial yang masih memegang teguh tradisi.

Intinya, fenomena living together ini memang makin marak dan dianggap wajar. Tapi, penting buat kita, terutama anak muda, buat nggak cuma ikut-ikutan tren atau sekadar nyari enaknya doang. Pikirkan matang-matang konsekuensi jangka panjangnya, tidak hanya dari segi finansial atau kebebasan, tetapi juga emosional, sosial, dan spiritual.

Hidup itu memang pilihan, tapi pilihan yang baik adalah pilihan yang didasari oleh pertimbangan matang, bukan cuma ikut-ikutan atau nyari jalan pintas. Living together mungkin tampak modern dan bebas, tapi kalau cuma jadi solusi nanggung tanpa komitmen jelas, bukannya makin dewasa, malah makin banyak drama, bukan?

Christina Natalia Setyawati