Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sherly Azizah
ilustrasi mahasiswa PBSI [pexels/Tima Miroshnichenko]

Sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), saya sering dihadapkan pada pertanyaan menarik: seberapa relevan sastra di era digital saat ini? Dunia yang semakin terhubung melalui media sosial menawarkan peluang luar biasa, tetapi juga tantangan yang tak bisa dianggap sepele. Saya sendiri merasakan langsung bagaimana media sosial memengaruhi cara saya dan teman-teman mengapresiasi serta menulis sastra.

Ketika pertama kali mulai menulis puisi dan cerpen, saya menggunakan media sosial sebagai platform utama untuk berbagi karya. Ada semangat yang menggebu-gebu setiap kali mendapat like atau komentar positif. Namun, saya juga melihat bagaimana algoritma media sosial seringkali lebih mempromosikan konten yang viral ketimbang yang berkualitas. Ini menjadi dilema: apakah saya harus mengikuti tren untuk mendapatkan perhatian, atau tetap setia pada kualitas karya sastra yang saya yakini?

Di satu sisi, media sosial memungkinkan saya untuk menjangkau audiens yang lebih luas dibandingkan dengan penerbitan tradisional. Platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok memberikan ruang untuk eksperimen dan interaksi langsung dengan pembaca. Namun, di sisi lain, format yang sering dipilih untuk mempresentasikan sastra di media sosial—seperti kutipan singkat atau video pendek—terkadang mengaburkan kedalaman makna dan kualitas karya.

Bagaimana cara menyikapi fenomena ini? Apakah saya harus mengubah cara saya menulis untuk sesuai dengan standar media sosial, ataukah saya harus tetap konsisten dengan gaya dan substansi yang saya pelajari selama kuliah? Saya percaya bahwa ada jalan tengah. Mahasiswa PBSI seperti saya perlu memanfaatkan media sosial untuk menjangkau pembaca baru sambil tetap menjaga integritas karya sastra.

Selain itu, penting untuk mempertimbangkan bagaimana media sosial memengaruhi proses kreatif. Sering kali, interaksi dengan pembaca di platform tersebut dapat memberikan inspirasi baru dan membuka perspektif yang berbeda. Namun, ini juga bisa menjadi distraksi yang mengganggu proses kreatif yang lebih mendalam. Saya pribadi merasakan manfaat dan tantangan dari media sosial dalam menulis dan berbagi karya sastra, dan ini adalah pengalaman yang dialami banyak teman seangkatan.

Jadi, apakah media sosial menjadi sahabat atau musuh bagi mahasiswa PBSI? Saya rasa jawabannya adalah keduanya. Media sosial menawarkan peluang besar untuk berbagi dan mengeksplorasi sastra, tetapi juga memerlukan pendekatan yang bijak untuk menjaga kualitas dan integritas karya. Sebagai mahasiswa PBSI, kita harus pintar-pintar memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan esensi dari apa yang kita pelajari dan cintai dalam sastra.

Sherly Azizah