Sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), saya sering dihadapkan pada pertanyaan menarik: seberapa relevan sastra di era digital saat ini? Dunia yang semakin terhubung melalui media sosial menawarkan peluang luar biasa, tetapi juga tantangan yang tak bisa dianggap sepele. Saya sendiri merasakan langsung bagaimana media sosial memengaruhi cara saya dan teman-teman mengapresiasi serta menulis sastra.
Ketika pertama kali mulai menulis puisi dan cerpen, saya menggunakan media sosial sebagai platform utama untuk berbagi karya. Ada semangat yang menggebu-gebu setiap kali mendapat like atau komentar positif. Namun, saya juga melihat bagaimana algoritma media sosial seringkali lebih mempromosikan konten yang viral ketimbang yang berkualitas. Ini menjadi dilema: apakah saya harus mengikuti tren untuk mendapatkan perhatian, atau tetap setia pada kualitas karya sastra yang saya yakini?
Di satu sisi, media sosial memungkinkan saya untuk menjangkau audiens yang lebih luas dibandingkan dengan penerbitan tradisional. Platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok memberikan ruang untuk eksperimen dan interaksi langsung dengan pembaca. Namun, di sisi lain, format yang sering dipilih untuk mempresentasikan sastra di media sosial—seperti kutipan singkat atau video pendek—terkadang mengaburkan kedalaman makna dan kualitas karya.
Bagaimana cara menyikapi fenomena ini? Apakah saya harus mengubah cara saya menulis untuk sesuai dengan standar media sosial, ataukah saya harus tetap konsisten dengan gaya dan substansi yang saya pelajari selama kuliah? Saya percaya bahwa ada jalan tengah. Mahasiswa PBSI seperti saya perlu memanfaatkan media sosial untuk menjangkau pembaca baru sambil tetap menjaga integritas karya sastra.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan bagaimana media sosial memengaruhi proses kreatif. Sering kali, interaksi dengan pembaca di platform tersebut dapat memberikan inspirasi baru dan membuka perspektif yang berbeda. Namun, ini juga bisa menjadi distraksi yang mengganggu proses kreatif yang lebih mendalam. Saya pribadi merasakan manfaat dan tantangan dari media sosial dalam menulis dan berbagi karya sastra, dan ini adalah pengalaman yang dialami banyak teman seangkatan.
Jadi, apakah media sosial menjadi sahabat atau musuh bagi mahasiswa PBSI? Saya rasa jawabannya adalah keduanya. Media sosial menawarkan peluang besar untuk berbagi dan mengeksplorasi sastra, tetapi juga memerlukan pendekatan yang bijak untuk menjaga kualitas dan integritas karya. Sebagai mahasiswa PBSI, kita harus pintar-pintar memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan esensi dari apa yang kita pelajari dan cintai dalam sastra.
Baca Juga
-
Memberdayakan Siswa sebagai Agen Perubahan melalui Mentor Sebaya
-
Tawa yang Berisiko! Kenapa Sarkasme Mahasiswa Mudah Disalahpahami Otoritas?
-
Jebakan Flexing! Ketika Bahasa Ilmiah Cuma Jadi Aksesori Pamer Kepintaran
-
Fenomena Bubble Kampus! Saat Eksklusivitas Prodi Mencekik Jaringan dan Ide
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
Artikel Terkait
-
Dicaci Maki di X, Kaesang Pangarep Masih Disambut Meriah saat Bertemu Masyarakat
-
Perludem: Sebaiknya Pemilik Akun Fufufafa Mengakui dan Minta Maaf
-
Istri Pura-pura Jadi Suami di Medsos Usai Membunuhnya, Jasad Korban Ditemukan di Perapian
-
Mees Hilgers Ungkap Janjinya Andai Sudah Bela Timnas Indonesia
-
Meta Rilis Instagram Teen Accounts, Tawarkan Fitur Khusus untuk Remaja
Kolom
-
Self-esteem Recovery: Proses Memulihkan Diri setelah Mengalami Bullying
-
Silent Bullying: Perundungan yang Tak Dianggap Perundungan
-
Generasi Muda dalam Ancaman menjadi Pelaku dan Korban Bullying
-
Kenapa Gen Z Menjadikan Sitcom Friends sebagai Comfort Show?
-
Merosotnya Kepercayaan Publik dan Pemerintah yang Tak Mau Mengalah
Terkini
-
Lolos ke Semifinal SEA Games 2025, Garuda Muda Harus Ucapkan Terima Kasih kepada Vietnam!
-
Raih 100 M di Usia 19 Tahun, Ini yang Membuat Suli Beda dari Anak Seusianya
-
Richelle Skornicki dan Adegan Dewasa di Pernikahan Dini Gen Z: Antara Akting dan Perlindungan Anak
-
Tepis Isu Nepotisme, Wulan Guritno Beberkan Proses Casting Shaloom Razade
-
Padepopan: Festival Baru yang Menghidupkan Kembali Ruang Budaya Depok