Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi materialisme dalam cinta (Freepik/pvproductions)

Era digital telah membawa perubahan signifikan dalam cara kita berinteraksi, termasuk dalam hal percintaan. Sayangnya, di tengah derasnya arus informasi dan kemudahan akses, kita sering kali dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan.

Semakin banyak remaja yang memprioritaskan materi dalam hubungan asmara. Dalih cinta sering kali digunakan untuk membenarkan tindakan yang sebenarnya lebih mengarah pada pemanfaatan.

Pengaruh media sosial, materialisme yang menggurita, kurangnya pemahaman tentang cinta sejati, dan tekanan teman sebaya menjadi beberapa faktor yang mendorong perilaku ini.

Mengapa hal ini terjadi? Citra sempurna yang ditampilkan di media sosial menciptakan standar yang tidak realistis tentang hubungan.

Remaja yang terpapar dengan gaya hidup konsumtif cenderung mengukur cinta melalui materi. Kurangnya pendidikan karakter mengenai nilai-nilai luhur seperti kesetiaan dan kepedulian juga menjadi penyebab.

Media sosial saat ini digemparkan dengan banyak kasus remaja yang disebut bucin alias budak cinta. Sebuah postingan menceritakan betapa kecewanya seorang kakak yang bekerja keras untuk membiayai adiknya menempuh pendidikan yang tinggi, tetapi malah disalahgunakan untuk memenuhi kebutuhan sang kekasih.

Curhatan seorang ibu yang menceritakan bahwa anaknya terlalu banyak berkorban untuk sang kekasih sampai harus menanggung pelunasan utang-utangnya.

Dampak negatif dari fenomena ini sangat luas. Hubungan yang dibangun di atas dasar materi cenderung tidak sehat dan tidak berkelanjutan.

Perbedaan ekspektasi dan ketidakpuasan dapat memicu konflik dan kekerasan dalam pacaran. Selain itu, nilai-nilai luhur seperti kasih sayang dan kejujuran pun terkikis.

Cinta sejati sebenarnya tidak bisa diukur dengan materi. Cinta adalah tentang kasih sayang, kesetiaan, dan dukungan. Mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang remaja menjadi individu yang berkarakter dan memiliki hubungan yang sehat.

Kehidupan percintaan remaja yang masih belum bijaksana sering kali berakhir pada hubungan toksik. Banyak dari remaja yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi sang kekasih yang selalu berlindung pada kata-kata manis dan pernyataan cinta.

Remaja-remaja ini sering terjebak karena kondisi emosionalnya belum stabil dan cenderung memilih zona nyamannya dengan mempertahankan hubungan yang sedang mereka jalani. Apa pun risikonya.

Fenomena remaja yang lebih memprioritaskan materi dalam hubungan asmara yang ramai saat ini rupanya memiliki akar psikologis yang kompleks. Kebutuhan akan validasi merupakan salah satu faktor utama.

Remaja sering kali membandingkan diri dengan teman sebaya dan mencari pengakuan melalui materi. Ketakutan akan penolakan juga mendorong perilaku ini, mereka percaya bahwa dengan memberikan materi, pasangan akan lebih mencintai mereka.

Pengaruh budaya konsumerisme yang kuat di masyarakat semakin memperkuat pandangan bahwa kebahagiaan dapat dibeli.

Selain itu, kurangnya pendidikan emosional membuat remaja kesulitan mengelola emosi dan membangun hubungan yang sehat. Implikasinya sangat luas, mulai dari masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan hingga kesulitan dalam membentuk identitas diri yang sehat.

Intervensi psikologis yang tepat, seperti pendidikan emosional dan konseling, sangat penting untuk mengatasi masalah ini. Dengan memahami akar psikologis dari fenomena ini, kita dapat merancang program-program yang lebih efektif untuk membantu remaja membangun hubungan yang lebih sehat dan bermakna.

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi remaja dalam belajar tentang hubungan, cinta, dan nilai-nilai kehidupan. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat berpengaruh dalam membentuk cara pandang remaja terhadap materi dan hubungan.

Jika sejak kecil remaja dibesarkan dalam lingkungan yang mengutamakan materi dan status sosial, maka mereka cenderung akan membawa nilai-nilai tersebut dalam hubungan asmara.

Sebaliknya, jika orang tua menanamkan nilai-nilai seperti kasih sayang, kepedulian, dan kerja keras, maka remaja akan lebih menghargai hubungan yang tulus dan bermakna.

Komunikasi yang terbuka dan efektif antara orang tua dan anak juga sangat penting. Orang tua perlu memberikan kesempatan kepada anak untuk bertanya dan berbagi tentang perasaan mereka.

Dengan begitu, remaja akan merasa lebih nyaman untuk mengungkapkan masalah yang mereka hadapi dan mencari solusi bersama.

Contoh yang baik juga menjadi kunci dalam membentuk karakter anak. Orang tua perlu menunjukkan dengan tindakan nyata bagaimana seharusnya menjalani hubungan yang sehat dan bermakna.

Selain itu, penting bagi orang tua untuk mengajarkan anak tentang manajemen keuangan sejak dini. Dengan memahami nilai uang dan cara mengelola keuangan dengan baik, remaja akan lebih menghargai hasil kerja keras mereka sendiri dan tidak mudah tergiur oleh materialisme.

Singkatnya, keluarga memiliki peran yang sangat krusial dalam membentuk nilai-nilai remaja terkait hubungan asmara dan materi.

Dengan memberikan contoh yang baik, komunikasi yang terbuka, dan pendidikan keuangan yang memadai, orang tua dapat membantu anak-anak mereka tumbuh menjadi individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki hubungan yang sehat.

Untuk mengatasi kecenderungan memprioritaskan materi dalam hubungan, secara pribadi, kita dapat memulai dengan introspeksi diri.

Tanyakan pada diri sendiri mengapa kita begitu terikat pada materi dalam hubungan? Apakah ada rasa tidak aman atau kebutuhan akan validasi yang ingin kita penuhi? Setelah memahami akar masalahnya, kita dapat mulai melakukan perubahan.

Fokuslah pada kualitas hubungan daripada kuantitas materi. Bangun hubungan yang didasarkan pada saling pengertian, dukungan, dan kesamaan minat.

Belajar untuk menghargai hal-hal sederhana dalam hidup, seperti menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita, dan menciptakan kenangan bersama. Kembangkan minat dan hobi di luar hubungan untuk memperkaya hidup kita dan mengurangi fokus pada materi.

Latihlah rasa syukur atas apa yang sudah kita miliki. Dengan bersyukur, kita akan lebih menghargai apa yang sudah ada dan tidak terjebak dalam perbandingan dengan orang lain.

Cari dukungan dari orang-orang terdekat seperti teman, keluarga, atau konselor. Mereka dapat memberikan perspektif yang berbeda dan membantu kita mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

Ingatlah bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dibeli dengan materi. Dengan mengubah pola pikir dan perilaku, kita dapat membangun hubungan yang lebih sehat dan bermakna.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati