Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ridho Muhajir
Pabrik Biodiesel Jarak di OKU Timur [Suara.com/Tasmalinda]

Apakah Biofuel benar-benar membawa perubahan atau justru memperburuk krisis lingkungan dan energi di Indonesia?!

Energi dengan sumber yang lebih ramah lingkungan menjadi fokus utama kebijakan energi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Salah satu solusi yang banyak dibicarakan adalah BIOFUEL, yang diklaim mampu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Biofuel terbuat dari sumber daya nabati, seperti kelapa sawit, dan diproyeksikan sebagai bagian penting dalam energi ramah ligkungan di Indonesia. Namun, apakah biofuel benar-benar memberikan solusi yang kita harapkan, atau justru menjadi masalah baru?

Apa Itu Biofuel?

Biofuel adalah bahan bakar yang diproduksi dari sumber biologis, seperti tanaman, minyak nabati, dan biomassa. Di Indonesia, biofuel paling umum adalah biodiesel yang terbuat dari kelapa sawit. Produksi biofuel dianggap mampu mengurangi emisi karbon, alasannya karena sumber bahan bakarnya dapat diperbaharui.

Pemerintah Indonesia gencar mempromosikan biofuel sebagai bagian dari transisi energi konvensional menjadi energi ramah lingkungan, dengan rencana peningkatan penggunaannya melalui program B30 (campuran 30% biodiesel dalam bahan bakar diesel).

Tujuan Penggunaan Biofuel

Kampanye dan iklan promosi pemerintah menonjolkan biofuel sebagai langkah besar menuju energi bersih. Materi promosi tersebut sering kali mengklaim bahwa biofuel adalah solusi untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, mengurangi emisi karbon, dan meningkatkan ketahanan energi nasional.

Selain itu, biofuel juga dipromosikan sebagai cara untuk meningkatkan ekonomi lokal dengan membuka lapangan kerja baru di sektor pertanian dan energi.

Namun, meskipun biofuel dipromosikan sebagai solusi hijau, terdapat juga masalah besar yang dihadapi. Salah satu isu utama yang diangkat oleh kelompok lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) adalah deforestasi.

Produksi biofuel, terutama biodiesel dari kelapa sawit, justru memperparah kerusakan hutan di Indonesia. Banyak hutan tropis ditebang untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit, yang ironisnya, meningkatkan emisi karbon daripada menguranginya.

Penggunaan biofuel ini sebenarnya lebih merusak dibandingkan dengan pemanfaatan bahan bakar fosil biasa dalam hal deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Pemanfaatan Biofuel: Benar atau Salah?

Biofuel, khususnya biodiesel berbasis kelapa sawit, tidak serta merta dapat dianggap sebagai langkah menuju solusi energi bersih.

Menurut Walhi, produksi bahan bakar nabati ini sering kali hanya mengubah bentuk kerusakan lingkungan, bukan menyelesaikannya. Banyak yang merasa bahwa penggunaan biofuel adalah “solusi palsu” karena dampak lingkungan negatif yang ditimbulkan.

Selain masalah deforestasi, pertanyaan mengenai efektivitas biofuel dalam mengurangi emisi karbon masih terus diperdebatkan. Pemrosesan dan distribusi biofuel sendiri membutuhkan energi yang tidak sedikit, sehingga emisi yang dihasilkan tidak jauh berbeda dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar fosil.

Selain itu, konflik lahan yang disebabkan oleh perluasan perkebunan kelapa sawit dapat menimbulkan masalah sosial di masyarakat, seperti pemindahan masyarakat adat dari wilayah mereka.

Alternatif Energi Ramah Lingkungan

Jika biofuel bukan solusi ideal, maka apa yang bisa dilakukan? Energi panas bumi, energi angin, dan tenaga surya adalah opsi-opsi yang lebih menjanjikan.

Menurut Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE), Julfi Hadi, Pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam memanfaatkan energi panas bumi, namun hingga kini, baru 11% dari total potensinya yang dimanfaatkan. Pengembangan energi terbarukan ini masih terkendala oleh birokrasi perizinan dan kurangnya infrastruktur.

Untuk mencapai transisi energi yang benar-benar bersih dan ramah lingkungan, diperlukan langkah nyata dalam pengembangan sumber daya energi terbarukan yang minim dampak lingkungan. Reformasi regulasi, investasi infrastruktur, dan komitmen politik yang kuat menjadi kunci untuk mencapainya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ridho Muhajir