Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi aplikasi komunikasi digital (Pexels/Dylann Hendricks)

Hari Komunikasi Damai Internasional, yang diperingati setiap tanggal 7 Oktober, merupakan inisiatif yang relatif baru dalam kalender peringatan internasional.

Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran global akan pentingnya komunikasi yang damai dalam membangun hubungan antar individu, kelompok, hingga antar negara.

Ide untuk memperingati Hari Komunikasi Damai Internasional pertama kali digagas oleh Ruben M. West pada tahun 2019. West, seorang tokoh yang peduli dengan isu perdamaian, melihat pentingnya komunikasi yang efektif dalam mencegah konflik dan membangun dunia yang lebih harmonis.

Era globalisasi yang semakin erat ini membuat komunikasi menjadi nadi kehidupan. Setiap hari, kita terhubung dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, budaya, dan sudut pandang.

Namun, di tengah keanekaragaman ini, sering kali muncul perselisihan dan konflik yang menghambat kerja sama dan pembangunan. Di sinilah pentingnya komunikasi yang damai.

Hari Komunikasi Damai Internasional hadir sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran global akan peran krusial komunikasi dalam membangun dunia yang lebih harmonis.

Peringatan ini bertujuan untuk mendorong kita semua, baik individu maupun kelompok, untuk lebih menghargai pentingnya dialog, toleransi, dan saling pengertian.

Dengan berkomunikasi secara terbuka dan jujur, kita dapat mencegah konflik, membangun kepercayaan, dan menemukan solusi bersama untuk masalah-masalah global yang kompleks.

Salah satu tujuan utama dari Hari Komunikasi Damai Internasional adalah mempromosikan dialog yang konstruktif. Dialog yang tulus dan saling menghormati dapat membantu kita memahami perspektif orang lain, mengurangi prasangka, dan menemukan titik temu.

Dengan begitu, kita dapat membangun jembatan yang menghubungkan perbedaan dan memperkuat solidaritas global.

Selain itu, peringatan ini juga menekankan pentingnya komunikasi yang efektif dalam mencegah konflik. Konflik sering kali berakar dari miskomunikasi, kesalahpahaman, atau kurangnya empati. Dengan berkomunikasi secara terbuka dan jujur, kita dapat mencegah eskalasi konflik dan mencari solusi damai.

Sampai saat ini, ada banyak contoh pelanggaran komunikasi yang damai. Miskomunikasi sering menjadi pemicu konflik. Terjemahan yang tidak tepat dalam perjanjian internasional, misalnya, dapat memicu perselisihan yang berkepanjangan.

Selain itu, perbedaan interpretasi terhadap kata-kata atau tindakan juga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Misalnya, sebuah gestur yang dianggap sopan di satu budaya bisa dianggap menghina di budaya lain.

Kurangnya konteks dalam komunikasi juga sering menjadi masalah. Sebuah pesan yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda tergantung pada situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya.

Ujaran kebencian yang disebarluaskan melalui media sosial dapat memicu polarisasi dan kekerasan. Propaganda yang bertujuan untuk menyesatkan opini publik juga sering digunakan untuk mengadu domba kelompok-kelompok masyarakat.

Diskriminasi berdasarkan ras, agama, atau identitas lainnya juga menjadi salah satu akar penyebab konflik. Perlakuan tidak adil terhadap kelompok minoritas dapat memicu rasa marah dan dendam, yang pada akhirnya dapat memicu kekerasan.

Ketidakmampuan untuk mendengarkan satu sama lain adalah hambatan besar dalam menyelesaikan konflik. Jika masing-masing pihak hanya berfokus pada kepentingan sendiri dan tidak mau membuka diri terhadap perspektif orang lain, maka sulit untuk mencapai kesepakatan.

Selain itu, kurangnya keterampilan negosiasi juga dapat menghambat proses penyelesaian konflik. Polarisasi opini publik juga dapat memperburuk situasi, karena masing-masing pihak cenderung berpegang teguh pada posisinya.

Perbedaan nilai, norma, dan kebiasaan antarbudaya dapat menjadi penghalang dalam komunikasi yang efektif. Misalnya, apa yang dianggap sopan di satu budaya mungkin dianggap tidak sopan di budaya lain.

Selain itu, stereotipe negatif tentang budaya lain juga dapat menghambat komunikasi yang terbuka dan jujur. Stereotipe dapat menyebabkan kita membuat penilaian yang keliru tentang orang lain sebelum kita benar-benar mengenal mereka.

Sebagai generasi muda, kita memiliki peran yang sangat krusial dalam menciptakan dunia yang lebih damai. Dengan memanfaatkan pengaruh media sosial, kita dapat menyebarkan pesan-pesan positif dan melawan ujaran kebencian.

Selain itu, kita juga dapat menjadi jembatan antara generasi yang lebih tua dan muda, serta aktif berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

Dengan menjadi contoh yang baik dan menginisiasi kegiatan positif, kita dapat menginspirasi orang lain untuk turut serta dalam membangun perdamaian.

Kreativitas kita, baik melalui seni, musik, atau literasi, dapat menjadi alat yang ampuh untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian. Sebagai generasi yang terhubung secara digital, kita memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan yang signifikan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati