Beberapa waktu yang lalu, Romo Magnis mengingatkan bahwa jika Indonesia tidak memiliki partai oposisi, demokrasi di negara ini akan perlahan memudar.
Tanpa oposisi, prinsip rule of law akan hilang dan yang ada hanya rule by law, pemerintah menganggap dirinya berada di atas hukum dan bisa bertindak sesuka hati.
Salah satu akibat paling serius dari situasi ini adalah terabaikannya suara rakyat, dengan semua keputusan diambil oleh kalangan elite yang berkuasa.
Kekhawatiran ini bisa saja terjadi di era pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Baru-baru ini, Prabowo mengisyaratkan keinginannya untuk menghapus oposisi, dengan menyatakan bahwa oposisi bukan bagian dari budaya Indonesia.
Ia tampaknya ingin mengikuti jejak Presiden Joko Widodo yang mengajak semua partai politik untuk bergabung dalam koalisi pemerintah.
Prabowo berpotensi membentuk koalisi besar untuk mendukung pemerintah, termasuk fraksi-fraksi seperti Gerindra, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, NasDem, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Satu-satunya fraksi yang belum memutuskan untuk bergabung adalah PDIP, namun diperkirakan mereka juga akan bergabung.
Situasi ini sudah bisa diprediksi sejak Pemilu 2024, dan jika terjadi, akan berdampak negatif pada tata kelola pemerintahan serta memperburuk potensi praktik korupsi di Indonesia.
Keberadaan partai oposisi memiliki dampak signifikan dalam sistem demokrasi Indonesia. Para pemikir demokrasi sepakat akan pentingnya peran partai politik sebagai oposisi, karena demokrasi yang sehat memerlukan oposisi untuk memastikan kemajuan negara ke depan.
Robert Dahl, dalam bukunya "Political Opposition in Western Democracies" yang diterbitkan pada tahun 1965, menekankan bahwa dalam sistem politik demokratis, partai oposisi harus ada. Sebaliknya, partai oposisi hanya dapat menjalankan tugas dan fungsinya dalam sistem demokrasi.
Ian Shapiro, seorang pemikir demokrasi, juga menyatakan bahwa dalam perkembangan demokrasi, oposisi berfungsi sebagai pengontrol keberlangsungan sistem pemerintahan presidensial.
Keberadaan partai oposisi memberikan check and balances terhadap pemerintah, sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan dapat dikontrol dan dikritisi oleh pihak luar pemerintahan, guna menyeimbangkan kebijakan pemerintah dengan kebutuhan rakyat.
Partai koalisi di parlemen seringkali tidak mampu menjalankan fungsi ini secara optimal. Oleh karena itu, dalam konteks sistem presidensial Indonesia, partai oposisi menjadi alternatif utama untuk menerapkan prinsip check and balances.
Meskipun konstitusi tidak secara eksplisit mengatur tentang partai oposisi, keberadaan check and balances di luar pemerintahan sangat diperlukan untuk menjaga jalannya sistem demokrasi.
Di Indonesia, oposisi berfungsi sebagai instrumen politik yang menekankan konsep demokrasi dan sikap kritis terhadap pemerintah. Kehadiran partai oposisi di Indonesia penting untuk menghadapi tantangan yang muncul dari pemerintah, yang dapat meresahkan rakyat jika tidak dikontrol.
Tanpa pengawasan yang maksimal, praktik oligarki dapat merasuki kabinet dan mengintervensi pemerintah, mengakibatkan kebijakan yang tidak sesuai harapan rakyat.
Tindakan otoriter pemerintah yang cenderung mengutamakan kepentingan kelompok tertentu menunjukkan bahwa oposisi adalah alternatif penting dalam dinamika demokrasi Indonesia.
Keberlangsungan demokrasi memerlukan keseimbangan yang kuat untuk memberikan kritik konstruktif kepada pemerintah. Oleh karena itu, keberadaan oposisi sangat diperlukan.
Sistem presidensialisme tidak dapat berjalan tanpa prinsip-prinsip pengawasan yang tegas. Dalam sistem ini, rakyat berperan sebagai pemerintah sekaligus oposisi.
Berbeda dengan sistem parlementer, sistem ketatanegaraan presidensial menunjukkan kelemahan. Ketika partai politik yang mengusung calon presiden terpilih kemudian diminta untuk bergabung dalam kabinet, hal ini menghilangkan peran oposisi.
Padahal, rakyat memberikan mandat kepada legislatif untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Situasi ini menciptakan anomali, pemerintah cenderung menarik anggota partai ke dalam kabinet agar tidak ada kritik dari oposisi, meskipun parlemen tetap memiliki peran yang sama.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Wahabi Lingkungan: Stigma, Kuasa, dan Luka yang Tak Kunjung Pulih
-
Meneropong Tantangan dan Solusi Literasi Perpajakan bagi Freelancer Digital
-
Brownies, Skripsi, dan Luka Kecil di Tubuh Integritas
-
Menggugat Ironi Fantasi Sedarah dan Darurat Ruang Digital bagi Anak
-
Di Balik Kemudahan Transaksi Digital: Kerentanan Keamanan yang Mengancam?
Artikel Terkait
-
Ngaku Bakal Kerja Bareng Fadli Zon, Giring PSI Bakal Jadi Wamen Kebudayaan?
-
Profil 10 Calon Menteri Kabinet Prabowo dari Kalangan Non-Partai, Imam Besar Istiqlal sampai CEO Maskapai
-
Digadang Bakal Jadi Menkominfo, Siapa Suami Meutya Hafid?
-
Cerita Perjalanan Cinta Veronica Tan dan Ahok: Mekar di Gereja, Kandas di Penjara
-
Jejak Pendidikan Veronica Tan, Calon Menteri Kabinet Prabowo dari Latar Belakang Tak Biasa!
Kolom
-
Book Buying Ban: Ujian Terbesar Bagi Pecinta Buku di Era Banjir Diskon
-
Antara Nyaman dan Kebiasaan: Saat Satisficer Bicara Soal Konsistensi Lidah
-
Parade Robot Polisi: Antara Janji Modernisasi dan Kritik Publik
-
Beban Kolektif Mahasiswa: Saat Tugas Kelompok Tak Lagi Ajarkan Kerja Sama
-
Antara Cinta dan Keharusan: Tekanan Perempuan dalam Memilih dan Mendidik
Terkini
-
Targetkan Semifinal, Ternyata Malaysia adalah Tim Besar Paling Tak Beruntung di Piala AFF U-23
-
BabyMonster Usung Energi yang Pedas dan Berapi-api di Lagu Baru 'Hot Sauce'
-
Sontek 4 Daily Outfit Minimalis ala IU, Biar Gaya Makin Modis Setiap Hari
-
Super Junior Siap Tunjukkan Sisi Keseksian Dewasa di Lagu Terbaru Say Less
-
Film House of Games Diremake, Gandeng Viola Davis Jadi Bintang Utama