Yang Terhormat Bapak Presiden Jokowi,
Saya ingin menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya atas segala pencapaian yang telah Bapak raih selama sepuluh tahun kepemimpinan. Peran Bapak dalam meningkatkan pembangunan infrastruktur dan diplomasi yang semakin dinamis patut diacungi jempol.
Tapi, izinkan saya mengutarakan beberapa unek-unek terkait kebijakan luar negeri kita, terutama dalam konflik Laut China Selatan. Sebagai negara yang terkenal netral dan cinta damai, kok rasanya kita ini jadi kayak sedang "main aman" saat berhadapan dengan klaim-klaim sepihak China?
Diplomasi Kalem atau Memang Takut Ribut?
Di satu sisi, kita paham bahwa Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang lebih memilih pendekatan diplomasi dan dialog dalam menyelesaikan konflik.
Tapi, ketika China makin aktif melakukan klaim di perairan yang jelas-jelas dekat dengan wilayah kita, kenapa kita masih terlihat kalem? Saya jadi bertanya-tanya, apakah diplomasi kalem ini menunjukkan sikap bijak, atau sebenarnya kita sedang mencoba menghindari masalah yang bisa bikin ribut?
Banyak orang bilang kalau kita nggak perlu bersikap keras untuk menunjukkan kedaulatan. Tapi, kalau setiap kali ada kapal asing masuk wilayah kita, kita cuma kirim nota protes tanpa tindakan nyata, ya lama-lama kita malah dicap nggak berani ambil sikap.
Mungkin memang saatnya kita nggak hanya "mengirim surat cinta" ke Beijing, tapi juga menunjukkan bahwa kita serius menjaga kedaulatan maritim kita.
Pak Jokowi, diplomasi yang kalem memang baik, tapi kalemnya jangan sampai kebablasan. Kita nggak perlu cari ribut, tapi bukan berarti kita diam saja saat kedaulatan kita dipertaruhkan.
Laut China Selatan: Mengambang Antara Kedaulatan dan Kepentingan Ekonomi
Kita semua tahu, Pak, bahwa Laut China Selatan bukan sekadar soal batas maritim, tapi juga soal sumber daya alam yang melimpah. Indonesia punya hak untuk mempertahankan wilayah dan kekayaannya di sana. Tapi, kok kita malah terkesan seperti "jalan di atas tali," takut kehilangan investasi China kalau bersikap lebih tegas?
Ini bukan berarti kita harus langsung "tutup pintu" untuk kerja sama ekonomi dengan China, tapi harusnya ada garis tegas antara menjaga hubungan ekonomi dan mempertahankan kedaulatan.
Kalau kita terlalu mengalah demi menjaga hubungan baik, jangan-jangan kita malah berakhir jadi "teman tapi makan teman" di mata dunia.
Kita butuh strategi yang lebih seimbang. Harus ada langkah nyata yang menunjukkan bahwa Indonesia bisa tetap bersahabat, tapi tidak akan mentolerir pelanggaran terhadap wilayahnya. Diplomasi ekonomi oke, tapi diplomasi kedaulatan juga harus lebih mantap.
Harapan untuk Prabowo: Tegaskan Sikap, Jangan Cuma Jadi "Penonton"
Pak Prabowo, jika nantinya Bapak memimpin negeri ini, saya harap Bapak bisa membawa sikap yang lebih tegas dalam menghadapi konflik Laut China Selatan.
Kita nggak bisa terus menerus jadi penonton dalam pertarungan geopolitik ini. Harus ada sikap yang jelas, tegas, dan berani menunjukkan bahwa kita nggak akan membiarkan kedaulatan kita diganggu.
Diplomasi nggak harus selalu lembut dan penuh senyum. Terkadang, kita perlu menunjukkan ketegasan untuk menjaga harga diri bangsa.
Bukan berarti kita harus bersikap konfrontatif, tapi setidaknya ada upaya yang lebih konkret dalam menghadapi klaim-klaim sepihak yang mengancam wilayah kita.
Bukan cuma untuk menenangkan rakyat, tapi juga untuk mempertegas posisi kita di mata dunia. Laut China Selatan bukan sekadar perairan biasa, tapi juga simbol kedaulatan yang harus kita jaga dengan sepenuh hati.
Laut China Selatan, Ujian Nyali Diplomasi Kita
Pak Jokowi, saya sangat menghargai segala usaha Bapak untuk menjaga hubungan baik dengan negara lain, termasuk China.
Tapi, ada kalanya kita perlu menunjukkan bahwa meskipun kita ramah, kita bukan negara yang bisa dianggap remeh. Peran Indonesia di Laut China Selatan seharusnya lebih dari sekadar "pemain figuran" dalam drama geopolitik ini.
Sementara Pak Prabowo, jika Bapak nantinya memimpin, saya berharap Bapak bisa membawa angin segar dalam kebijakan luar negeri kita. Laut China Selatan adalah ujian nyali bagi diplomasi kita.
Jangan sampai kita terus-terusan dianggap hanya sebagai negara "bebas ambigu" yang menghindari konflik tapi tidak juga mengambil sikap yang jelas.
Mari kita buktikan bahwa Indonesia bukan hanya negara netral, tapi juga negara yang berani mempertahankan apa yang menjadi haknya.
Baca Juga
-
Mengapresiasi Pencapaian Jokowi, Membangun Harapan untuk Prabowo Subianto, Merdeka!
-
Kosong Melompong: Ketika Presentasi Hanya Jadi Ajang Latihan Membaca
-
Surat Ini Tidak Penting: Non-Blok, Bebas Aktif, atau Bebas Bingung?
-
Pesan Penting: Diplomasi Jokowi, Utang China, dan Harapan untuk Prabowo
-
Surat untuk Presiden: Jalan Mulus, Adab Siswa Macet Total?
Artikel Terkait
-
Jamin Prabowo Tak Langgar Aturan jika Ganti Capim KPK Bentukan Jokowi, Mahfud MD: Persoalannya Presiden Mau atau Tidak
-
PDIP Endus Dugaan Jokowi Cawe-cawe di Pilkada 2024 Libatkan Oknum Kapolda
-
Beres Sowan ke Jokowi dan SBY, Prabowo Niat Temui Megawati
-
Diteken Prabowo, Ketua MPR Harap PP 47 Tentang Penghapusan Piutang Macet Bisa Dongkrak Ekonomi Rakyat
-
Ogah Bongkar Ulang Capim KPK, Prabowo Ternyata Ikut Pilihan Jokowi
Kolom
-
Indonesia dan Lunturnya Budaya Malu, dari "Jam Karet" hingga Korupsi
-
Simak! Ini Pentingnya Penguasaan Calistung dalam Pendidikan Dini
-
Nggak Bebas Berekspresi dan Nggak Modis Jadi Alasan Siswa Abaikan Aturan
-
Semakin Horor Gaji Guru Honorer, Jeritan Hati dari Balik Dinding Kelas
-
Suswono dan Politik Riang Gembira yang Kebablasan
Terkini
-
Sambut Hari Anak Sedunia PBB, Doyoung NCT Donasi Rp1,1 Miliar ke UNICEF
-
3 Film Korea yang Dibintangi Song Kang Ho, Ada Sporty hingga Mendebarkan
-
4 Tips OOTD Rok ala Zara Adhisty yang Girly Abis, Cocok Buat Hangout!
-
TVXQ Resmi Merilis Album Perayaan Debut 20 Tahun di Jepang Bertajuk 'Zone'
-
3 Pemain Kunci Timnas Jepang yang Perlu Diwaspadai, Ada Eks-Inter Milan