Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | hanifati radhia
Ilustrasi petani Indonesia di sawah (Pexels/hartono subagio)

Swasembada di era pemerintahan Presiden Jokowi terjadi yakni pada 2017-2019 dan 2020. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam sebuah kesempatan. Capaian swasembada beras terjadi pada periode pertama Presiden Jokowi yaitu pada tahun 2017 – 2020.

Saat itu produksi beras bisa surplus 1,9 juta ton hingga 2,85 juta ton. Menurutnya, pada masa itu tidak ada impor beras medium dengan perbandingan penduduknya 200 juta (jiwa).

Mentan Andi menyebut upaya luar biasa Indonesia jika dibandingkan dengan tahun 1984 (era Presiden Soeharto). Adapun Mentan Andi merujuk pada definisi swasembada yang digunakan oleh Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO).

Berdasarkan ketetapan FAO pada 1999, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional.

Selama pemerintahan Presiden Jokowi, kebijakan anggaran untuk sektor pangan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan petani, baik dalam bentuk sarana pertanian seperti benih dan pupuk, maupun intensifikasi dan mekanisasi dengan penggiatan pemberian bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan).

Hal ini tentu telah menunjukkan betapa Indonesia sangat berupaya melakukan dan mewujudkan kemandirian pangan.

Hal itu pula juga ditegaskan kembali oleh Prabowo Subianto dalam pidato perdananya setelah sah dilantik sebagai Presiden periode 2024-2029, pada hari Minggu lalu (20/10/2024).

Pidato perdananya yang begitu berapi-api dan bersemangat membuat kita terpana. Salah satu hal yang disinggung dalam pidato Presiden Prabowo adalah swasembada pangan.

“Saya yakin dan percaya kita akan swasembada pangan paling lambat 4 tahun”, kurang lebih begitu seruannya.

Menurut pakar, Swasembada pangan dinilai menjadi syarat mutlak untuk bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8 persen. Sebuah target besar yang ingin diwujudkan pemerintahan Presiden Prabowo.

Ucapan dan seruan Presiden Prabowo saya kira bukan omon-omon atau sekedar angan-angan. Meski demikian, sederet kepemimpinan presiden sebelumnya juga selalu memasukkan agenda kemandirian pangan sebagai agenda pembangunan.

Kita ingat sejarah menorehkan bahwa Indonesia berhasil mencapai swasembada pada era Soeharto (1984). Swasembada tahun 1984 impornya 400 ribu ton dengan komparasi penduduk mencapai 100 juta lebih. Kala itu, sektor pertanian mampu tumbuh hingga 5 persen dan menunjang pertumbuhan secara nasional.

Namun demikian, kenyataan di lapangan justru memprihatinkan. Berdasarkan data BPS menyebut hanya 2,14 Persen Gen Z tertarik pertanian.

Lebih lanjut, mayoritas petani Indonesia saat ini usianya 55 tahun. Secara detail, petani usia 43-58 tahun sebanyak 42,39 persen, perkiraan usia 59-77 tahun sebanyak 27,61 persen dan perkiraan usia 27-42 tahun mencapai 25,6 persen.

Ihwal regenerasi petani ini harusnya menjadi perhatian mendesak untuk didorong demi ketahanan pangan nasional. Padahal, proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2050 jumlah penduduk akan mencapai 328 juta jiwa.

Dengan demikian, kebutuhan pangan di Indonesia akan terus meningkat seiring bertambahnya populasi penduduk Indonesia. Hal ini akan menaikkan permintaan komoditas pangan utama, termasuk 40-50 juta ton beras.

Selain itu, tantangan yang harus dihadapi Indonesia saat ini adalah luasan lahan baku pertanian, produktivitas pertanian dan jumlah petani juga semakin menyusut dari waktu ke waktu.

Untuk diketahui, setiap tahun terjadi pengurangan lahan lebih kurang 50.000 hektar sampai 70.000 hektar dari total luasan lahan baku pertanian 45 juta hektar. Kondisi rendahnya minat generasi muda serta tantangan yang ada kiranya perlu dipikirkan bersama.

Berbicara soal pertanian, lebih tepatnya, suami saya kini menggeluti pertanian meskipun bukan dikerjakan di atas lahan sendiri. Dilihat dari latar belakang, saya dan suami, adalah lulusan pascasarjana. Usia kami tergolong usia generasi milenial.

Akan tetapi berbagai faktor seperti sulitnya lapangan kerja sesuai jenjang pendidikan, faktor usia atau kesibukan menjadi ibu rumah tangga (orang tua), seolah memaksa kami untuk terjun ke dunia pertanian.

Namun demikian, saya kira ketertarikan kami bukan hanya terpaksa, jika kami justru belajar dan meyakini untuk menyejahterakan keluarga kami melalui bidang pertanian. Karena bagaimanapun juga, kami tinggal di desa dan pertanian pun melekat adanya.

Ada kekhawatiran kami dan bahkan kita semua, seperti yang terurai di penjelasan sebelumnya, selain regenerasi, keterbatasan lahan dan terutama adalah kesejahteraan petani.

Selama ini, rantai distribusi hasil pertanian begitu panjang dan tidak efisien. Rantai distribusi harga komoditas pertanian seringkali melonjak karena biaya distribusi yang tinggi diiringi dengan adanya praktik perantara yang tidak adil.

Dengan demikian, harga produk pertanian menjadi mahal di tingkat konsumen, sedangkan petani justru mendapatkan keuntungan yang minim.

Misalnya, harga bawang merah dari petani sekitar Rp25.000 per kilogram, di pasar eceran harga tersebut melonjak menjadi Rp40.000 hingga Rp45.000 per kilogram, bahkan mencapai Rp60.000 di beberapa daerah. Untuk itulah, kehadiran pemerintah sangat dibutuhkan dan berpihak pada kami.

Saya harap, Bapak Presiden Prabowo bersama Wakil dan jajaran menteri Kabinet Merah Putih akan menjalankan langkah dan kebijakan strategis guna melahirkan solusi holistik.

Selain itu, adanya kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk mengatasi tantangan ini. Dengan demikian inilah pesan-pesan saya yang bisa saya sampaikan pada Bapak Prabowo, agar swasembada pangan Indonesia bukan sekedar angan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

hanifati radhia