Hingga saat ini, perdebatan dan tuntutan antara laki-laki dan perempuan seolah tak berkesudahan. Makin memanas dan kian memojokkan dengan dalih membawa gender dan kodrat. Tapi sadar gak sih, terkadang perdebatan, amarah, ego itu hanyalah bentuk emosi yang selama ini terendap dan tak pernah dikomunikasikan dengan baik?
Di era modern, tuntutan hidup bukan hanya soal mampu berdiri sendiri—tapi juga tentang siapa yang paling tahan mental. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya menanggung beban berat, meski kadang tak terlihat.
Beban Mental Perempuan: Mental Load yang Tak Pernah Reda
Studi global menunjukkan perempuan menghadapi “mental load” secara signifikan lebih besar daripada laki-laki:
- Ibu menanggung sekitar 71% beban mental rumah tangga—perencanaan, jadwal, koordinasi—dibanding ayah hanya 45%.
- Di Amerika Serikat, perempuan menghabiskan 3–6jam per hari untuk pekerjaan rumah tak berbayar, padahal pria hanya 0,5–2jam.
- Tekanan emosional ini tidak hanya melelahkan tubuh, tapi juga mental: banyak perempuan melaporkan gejala depresi & kecemasan—31% perempuan vs 21% pria mengalami gejala depresi di Eropa .
Dampaknya luas: karier tertahan, burn-out, dan rasa bersalah terus-menerus karena merasa “belum cukup” saat bekerja dan mengurus keluarga.
Beban Mental Laki-Laki: Pressure yang Tak Selalu Terlihat
Sementara itu, beban emosional yang dipikul laki-laki seringkali tersembunyi dan dianggap normal:
- Mereka dituntut jadi provider: cari nafkah seumur hidup, membayar mahar, dan “harus kuat tanpa cerita.”
- Budaya “laki-laki tidak bercerita” menyumbat peluang mereka untuk curhat, meningkatkan risiko stres emosional, isolasi, dan bahkan mental breakdown.
- Laki-laki pun rentan mental karena tuntutan performa, tekanan masuk penjara, bunuh diri, atau putus sekolah—faktor efek dadakan yang berakar dari ekspektasi tradisional .
Jadi, tekanan mental mereka bukan kurang berat—itulah mental load versi lain, yang dipaksa “ditahan” melalui stigma.
Bukan Perang Gender, Tapi Sistem yang Rusak
Perempuan capek karena harus menjadi superhuman yang mengerjakan semuanya. Laki-laki capek karena harus menjadi robot pencetak uang yang tidak boleh mengeluh.
Di balik semua ini ada pola asuh dan budaya yang salah:
- Perempuan diajarkan untuk selalu mengalah dan mengurus semuanya.
- Laki-laki diajarkan untuk menanggung semuanya sendiri dan menutup mulut.
Keduanya menderita dalam sistem yang sama rusaknya. Ketika perempuan memikul mental load tak terlihat, dan laki-laki didoktrin untuk tidak menceritakan tekanan mereka—keduanya terjebak dalam sistem tak sehat.
Sudah Saatnya Sistem Berubah: Kenali pressure masing-masing
- Perempuan: angkat mental load dalam diskusi rumah tangga—bukan cuma membagi tugas, tapi juga pikiran dan perasaan.
- Laki-laki: berani ungkap tekanan mental—curhat ke pasangan, teman, atau profesional. Tidak cengeng, justru bijak.
Bagikan mental load secara nyata - Jadwalkan rapat keluarga: siapa urus dokumen, bayar tagihan, atau ingatkan janji.
Prioritaskan waktu komunikasi—bukan sekadar efisiensi, tapi juga koneksi emosional.
Ganti budaya kaku - Hindari stigma “wanita yang cerewet” atau “pria yang lemah”.
Ajak anak belajar equitas sejak dini: tugas bersih, tanggung jawab keluarga, berbagi rasa.
Perangi normalisasi yang salah - “Itu sudah budaya” bukan alasan. Data jelas: mental load berbahaya bagi semua gender.
Model penyelesaian? Parenting kolaboratif, cuti orang tua berbayar, dan open communication.
Saatnya Kita Berhenti Mengulang Pola Ini
- Perempuan berhak berkata “Aku juga butuh dukungan.”
- Laki-laki berhak berkata “Aku juga ingin didengar.”
Parenting harus dibangun sebagai kolaborasi, bukan kompetisi. Rumah tangga bukan ladang perang gender tentang siapa yang lebih lelah, tapi ruang di mana dua manusia dewasa berbagi beban fisik, mental, dan emosional.
Kalimat “Ya begitulah budaya” tidak lagi relevan ketika kita tahu pola itu merusak. Perubahan besar dimulai dari langkah kecil: komunikasi, saling menghargai peran, dan keberanian mengakui bahwa keduanya sama-sama manusia—bukan mesin tanpa rasa.
Perubahan besar dimulai dari kesadaran kecil:
- Perempuan punya hak meminta dukungan.
- Laki-laki berhak ungkapkan tekanannya.
Bukan soal siapa lebih kuat, tapi soal bagaimana kita resmi membongkar sistem yang bikin orang kuat jadi rapuh.
Baca Juga
-
Ulasan Novel Rumah Tanpa Jendela: Tidak Ada Mimpi yang Terlalu Kecil
-
Kampanye Digital: Dari Layar Kecil, Suara Alam Bisa Menggema
-
Menjaga Sungai Lewat Dayung: Ketika Rafting Jadi Aksi Lingkungan
-
3 Alasan Kenapa Kamu Harus Ikut Andil dalam Gerakan Jaga Hutan
-
Ulasan Novel Selamat Tinggal: Ketika Hukum Tak Lagi Gagah dalam Kebenaran
Artikel Terkait
-
Gunung Lewotobi Laki-laki Erupsi: Warga Flores Timur Diminta Jauhi Radius 6 KM
-
Bandara Komodo Labuan Bajo Ditutup
-
Buku Berdamai dengan Diri Sendiri: Perempuan dengan Segala Problematikanya
-
Ulasan Buku Growing Pains, Menjalani Hidup Sebagai Orang Tua Tunggal
-
TGC Jakarta 2025: Saat Fashion, Musik, dan Empowerment Perempuan Berpadu di Satu Panggung
Kolom
-
Rp100 Juta Per Bulan Hanya untuk Joget? Momen yang Mengubur Kredibilitas DPR
-
Belajar dari Denmark: Mengorbankan Pajak Buku Demi Cegah Krisis Literasi
-
Paradoks di Senayan: Gaji PNS Dilarang Naik, Tunjangan DPR Jalan Terus
-
Tunjangan 50 Juta: DPR Tinggal di Rumah Rakyat atau Istana Pajak?
-
Bumi Belum Merdeka: Dijajah Sampah Plastik yang Kita Biarkan
Terkini
-
Kesabaran Jack Miller Habis, Ancam Bakal Tinggalkan Pramac yang 'Gantung'
-
Ulasan Buku Generasi 90an, Kenangan Jadul dan Nostalgia Kaum Milenial
-
Mulai dari Kita: Mengelola Sampah Rumah Tangga Demi Bumi Lestari
-
Electric Heart oleh 8TURN: Emosi Cinta yang Meledak Seperti Aliran Listrik
-
Ingin Bebas Balapan, Jorge Martin Tak Pasang Target untuk GP Hungaria 2025