Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
ilustrasi mengetik surat (Pexels/Min An)

Kepada Yth Bapak Presiden Joko Widodo. Pertama-tama, izinkan saya menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya atas kerja keras dan dedikasi Bapak dalam membangun sistem pendidikan di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Di bawah kepemimpinan Bapak, berbagai kebijakan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), pembangunan infrastruktur sekolah, dan peningkatan anggaran pendidikan telah memberikan dampak positif yang nyata. Saya melihat bagaimana akses pendidikan kini semakin terbuka lebar bagi seluruh anak bangsa, tanpa memandang latar belakang sosial atau ekonomi. Sebagai rakyat, saya sungguh menghargai upaya Bapak untuk menciptakan kesempatan yang lebih baik bagi generasi muda.

Namun, di balik keberhasilan ini, saya ingin mencermati beberapa hal yang masih menjadi tantangan besar, terutama di era digital. Dengan segala hormat, surat ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan prestasi Bapak, melainkan untuk memberikan masukan demi kebaikan bersama. Terlebih, pada 20 Oktober 2024, Bapak Prabowo telah resmi dilantik sebagai Presiden Indonesia yang baru. Oleh karena itu, saya berharap beliau dapat mengambil pelajaran dari masa lalu dan memperbaiki beberapa kebijakan pendidikan yang masih memerlukan perhatian.

Moral Siswa di Era Digital: Prestasi Tinggi, Etika Luntur

Di era kepemimpinan Bapak Jokowi, saya telah melihat banyak prestasi siswa Indonesia di berbagai bidang, baik akademis maupun non-akademis. Namun, ada sisi lain dari cerita ini yang patut mendapat perhatian lebih. Dalam dunia digital, akses informasi memang semakin mudah, tetapi ironisnya, moral dan etika siswa justru semakin merosot. Perilaku bullying, ujaran kebencian, dan berita palsu semakin sering dilakukan oleh siswa yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa. Sepertinya ada "upgrade" pada kecakapan teknologi, namun "downgrade" pada etika.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin ini adalah efek dari arus informasi yang tak terkendali di internet. Siswa mendapat akses luas ke segala macam konten tanpa filter yang memadai, dan di sinilah celah yang perlu diperbaiki. Sistem pendidikan kita masih terjebak pada paradigma lama yang terlalu fokus pada angka-angka dan peringkat, sementara pendidikan karakter sering kali terabaikan. Apakah ini bukan sebuah "kesalahan sistem" yang perlu segera diperbaiki?

Literasi di Era Informasi: Bisa Cari Tahu, Tapi Malas Membaca

Jika bicara soal akses informasi, era digital telah membuka pintu yang sangat lebar. Di masa pemerintahan Bapak, dengan jaringan internet yang semakin merata, informasi kini ada di ujung jari. Sayangnya, meskipun akses semakin mudah, kemampuan literasi siswa justru tertinggal. Generasi muda tampak lebih suka membaca caption Instagram atau TikTok ketimbang buku pelajaran atau literatur berkualitas. Ironis, bukan? Kita punya informasi tak terbatas, tetapi kebiasaan membaca yang justru terbatas.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah kita terlalu berfokus pada infrastruktur digital tanpa membangun budaya literasi? Dalam kurikulum yang Bapak bangun, mungkin sudah saatnya kita memberikan porsi lebih pada literasi digital dan membudayakan membaca sebagai bagian dari gaya hidup siswa. Jika tidak, Indonesia akan terus menjadi negara dengan tingkat literasi rendah, meskipun memiliki akses informasi yang melimpah.

Mental Siswa Adalah Tanggung Jawab Guru, Lalu Mental Guru Tanggung Jawab Siapa?

Bapak Presiden, tidak dapat dipungkiri bahwa guru memiliki peran besar dalam membentuk mental dan karakter siswa. Di era digital ini, tantangan yang mereka hadapi semakin berat, mulai dari menangani siswa yang kecanduan gadget hingga mengatasi berbagai masalah sosial yang dihadapi siswa di luar sekolah. Namun, pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab atas kesehatan mental guru?

Guru adalah manusia biasa yang juga mengalami stres dan kelelahan akibat tuntutan yang terus meningkat. Sayangnya, kesejahteraan dan dukungan psikologis untuk para guru sering kali diabaikan. Dalam sistem yang ada, guru dituntut untuk selalu siap menjadi "superhero" di kelas, tetapi dukungan yang mereka terima masih jauh dari cukup. Mungkin sudah saatnya kita melihat masalah ini sebagai masalah serius yang harus segera diatasi, demi menjaga kualitas pendidikan yang tetap baik.

Harapan untuk Prabowo: Melanjutkan, Memperbaiki, dan Menginovasi

Dengan dilantiknya Bapak Prabowo pada 20 Oktober 2024, saya berharap pemerintahan baru dapat mengambil pelajaran dari masa lalu dan memperbaiki kebijakan pendidikan yang masih perlu disempurnakan. Kritik yang saya sampaikan bukan berarti saya membenci atau meremehkan usaha Bapak Jokowi selama ini, tetapi lebih kepada harapan agar pendidikan di Indonesia dapat terus berkembang menjadi lebih baik.

Saya berharap Presiden Prabowo dapat lebih fokus pada pembangunan moral dan karakter siswa di era digital ini. Semoga pula ada perhatian khusus pada kesehatan mental guru sebagai pendidik generasi penerus bangsa. Jika hal-hal ini dapat terwujud, Indonesia akan benar-benar siap bersaing di kancah global, bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi juga dalam hal moral dan etika.

Terima kasih, Bapak Presiden Jokowi, atas dedikasi dan kerja kerasnya selama satu dekade terakhir. Saya percaya, di bawah pemerintahan baru, pendidikan Indonesia akan melangkah lebih jauh ke depan, dengan landasan yang lebih kuat dan visi yang lebih jelas.

Hormat saya, seorang Warga Negara yang Mengharapkan Perubahan. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Sherly Azizah