Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi alat kesehatan (Pixabay)

Setelah meraih kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai komitmen serius untuk menjadi negara yang sejahtera. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pengelola negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945. 

Serupa kesejahteraan, kesehatan merupakan hak fundamental yang dimiliki oleh setiap warga negara. Ketersediaan program pembiayaan layanan kesehatan menjadi wujud konkret dan komitmen negara dalam memproteksi warganya. Oleh karenanya, pemerintah berperan aktif membantu masyarakat dalam mengatasi beban biaya kesehatan yang mereka tanggung. 

Salah satu misi utama yang diusung oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, adalah peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Untuk mencapai cita-cita ini, mereka telah men-design beragam program kerja yang bertujuan untuk memperkuat sistem kesehatan nasional. Prabowo juga telah mengangkat kembali Budi Gunadi Sadikin selaku Menteri Kesehatan di Kabinet Merah-Putih.  

Jauh sebelum dilantik, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, sempat menekankan akan pentingnya fokus pada upaya promotif dan preventif guna memastikan masyarakat hidup sehat, memperbaiki skrining kesehatan, serta peningkatan kapasitas pelayanan kesehatan primer. Penekanan ini merupakan salah satu pencapaian sektor kesehatan di bawah pemerintahan sebelumnya selama 1 dekade. 

Salah satu program layanan kesehatan yang sangat diandalkan oleh masyarakat dan dirasakan langsung dampak manfaatnya adalah ketersediaan BPJS Kesehatan dalam mem-back up pembiayaan. Oleh karena itu, BPJS Kesehatan harus beroperasi efektif dan se-efisien mungkin. Iuran yang dikenakan tidak boleh membebani masyarakat, sementara layanan kesehatan yang tersedia harus tetap memadai dan berkualitas. Selama satu dekade terakhir, BPJS Kesehatan telah memberikan banyak manfaat, meskipun peningkatan kinerjanya sangat diperlukan. 

Secara fungsi, keberadaan BPJS Kesehatan terbukti memudahkan masyarakat dalam mengakses kesehatan yang terjangkau dan dekat. Menurut data dari Bisnis.com, per 1 September 2023, jumlah peserta BPJS Kesehatan telah mencapai lebih dari 262 juta orang, mencakup sekitar 94,6% dari total populasi penduduk Indonesia. 

World Health Organization (WHO) juga mencatat bahwa sistem layanan kesehatan publik di Indonesia mengalami transformasi yang signifikan dan terus membaik. WHO mengapresiasi langkah-langkah BPJS Kesehatan dalam mengelola Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) demi mencapai Universal Health Coverage (UHC). Bahkan, WHO menilai Indonesia sebagai salah satu negara yang tercepat mencapai UHC.

Atas sejumlah pencapaian yang telah diperoleh pemimpin sebelumnya, dalam agenda pemerintahan Prabowo-Gibran, jaminan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi salah satu prioritas utama. Peningkatan program BPJS Kesehatan serta ketersediaan obat untuk masyarakat diharapkan dapat mendukung Indeks Pembangunan Manusia. Untuk itu, perhatian utama pemerintah akan tertuju pada penguatan program BPJS dan akses obat bagi semua. 

Senada dengan itu, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak adanya perbaikan dalam perencanaan dan pengelolaan program kesehatan di bawah pemerintahan Prabowo dan Gibran. Dengan anggaran yang mencapai puluhan triliun, mereka berkomitmen meluncurkan sejumlah program kesehatan yang ambisius.

Program-program kesehatan tersebut termuat dalam Program Prioritas 100 Hari Kerja Pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran. Dalam konteks pembangunan kesehatan, penempatan program kesehatan sebagai prioritas adalah langkah kebijakan yang sangat penting. 

Menyoal Praktik Diskriminasi Terhadap Peserta BPJS Kesehatan

Tidak hanya prestasi yang telah diperoleh pemerintah sebelumnya yang harus dijadikan motivasi dan selebrasi, juga segudang masalah dan pekerjaan rumah yang tertinggal dan harus segera diselesaikan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Seiring waktu, penyelenggaraan BPJS Kesehatan masih belum berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. 

Faktanya, “juruselamat” kesehatan itu belum mampu sepenuhnya meringankan beban biaya medis sebagaimana yang ditargetkan. Dan salah satu tantangan utama dari program ini adalah meningkatnya alokasi pembiayaan kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.

Untuk mengatasi masalah mendasar dalam pengelolaan ini, Presiden Prabowo bersama Menteri Kesehatan perlu untuk memberikan penjelasan yang lebih detail mengenai strategi dalam memastikan kecukupan pembiayaan, mengingat terbatasnya ruang anggaran.

Sebab sebelumnya, Prabowo-Gibran juga berkomitmen untuk membenahi sistem jaminan kesehatan nasional agar dapat mencapai universal health coverage, yang berarti semua warga negara akan mempunyai akses terhadap layanan kesehatan yang adil dan terjangkau. 

Namun, lagi-lagi keadilan yang diharapkan senyatanya masih belum menyasar sebagian besar para peserta BPJS Kesehatan di sejumlah wilayah di Indonesia. Ombudsman RI telah menerima banyak pengaduan terkait praktik pembatasan pelayanan bagi pasien peserta BPJS Kesehatan.

Pada tahun 2022, misalnya, lembaga ini mencatat setidaknya 109 kasus diskriminasi yang dialami pasien BPJS, terkait dengan pemberian obat, re-admisi, dan kepesertaan yang dinonaktifkan. Praktik ini dianggap sebagai tindakan diskriminasi dan memerlukan pengawasan yang lebih ketat.

Di fasilitas kesehatan, pasien yang membayar secara mandiri atau mempunyai jenis asuransi biasanya mendapatkan prioritas lebih tinggi. Selemntara itu, pasien BPJS Kesehatan tak jarang diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan sistemik ke depan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. 

Publik berharap Presiden Prabowo Subianto dapat menyusun strategi bersama Kementerian Kesehatan, Manajemen BPJS Kesehatan dan Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) untuk meningkatkan pengawasan terhadap pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL).

Selain itu, pemberlakuan sanksi yang tegas perlu diaplikasikan terhadap pelaku. BPJS Kesehatan tidak boleh lepas tangan dari serangkaian masalah yang dialami langsung oleh masyarakat.

Bagaimanapun tanggung jawab ini lebih besar dari sekedar aspek pembiayaan; ini juga berkelindan dengan hak warga negara atas jaminan kesehatan yang berkualitas.

Masyarakat harus mendapatkan jaminan transparansi informasi, seperti kapasitas layanan fasilitas kesehatan, dokter yang bertugas dan proses rujukan pasien. Warga juga diminta untuk tidak ragu melaporkan jika menemukan ketidaksesuaian dalam pelayanan. 

Melihat pada data yang tersedia, dalam kurun waktu 2021-2022, terdapat 700 pengaduan perihal pelayanan kesehatan yang disampaikan masyarakat ke Ombudsman RI. Hal ini menunjukan ketidakpuasan publik terhadap layanan sejumlah fasilitas kesehatan. Padahal, hak untuk memperoleh akses pelayanan kesehatan telah dijamin dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945.

Selain itu, masalah lain yang masih dihadapi masyarakat saat ini adalah sulitnya akses dan lamanya antrian untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit rujukan, baik di rumah sakit umum daerah (RSUD) maupun di rumah sakit vertikal rujukan nasional. Masyarakat miskin, terutama peserta BPJS Kesehatan kelas 3, menjadi yang paling banyak terdampak, dengan angka 70% atau sekitar 178,5 juta orang.

Di dalamnya terdapat 96,7 juta peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang tidak diizinkan untuk naik kelas. Menyikapi masalah ini, BPJS Watch juga sempat menyatakan bahwa situasi demikian merefleksikan praktik diskriminasi terhadap pasien BPJS Kesehatan, yang hampir terjadi di semua fasilitas kesehatan, mulai puskesmas hingga rumah sakit. 

Segudang pekerjaan rumah dan masalah-masalah yang dialami oleh masyarakat dalam menggunakan BPJS Kesehatan harus segera diselesaikan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran melalui Kementerian Kesehatan.

Sejumlah tantangan dan kendala di atas dapat menjadi bahan pertimbangan rumusan masalah agar kebijakan kesehatan yang direncanakan dapat direalisasikan secara efektif dan menjawab permasalahan konkret. Perwujudan rencana kebijakan ini tentunya harus dikawal dan diawasi secara konsisten oleh publik agar tidak sekadar retorika belaka. 

Prabowo Subianto dan Harapan Kesetaraan Pelayanan

Di tengah kompleksitas masalah yang dihadapi, publik berharap Presiden Prabowo Subianto dapat mengimplementasikan beragam langkah reformasi dalam BPJS Kesehatan. Publik tahu bahwa ia telah berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pelayanan di semua fasilitas kesehatan, memastikan bahwa setiap peserta BPJS Kesehatan, tanpa kecuali, harus diperlukan setara tanpa memandang latar belakang dan status sosial. 

Bagaimanapun, upaya untuk meningkatkan keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana BPJS Kesehatan juga menjadi fokus penting, agar masyarakat dapat memahami aliran dana dan bagaimana pelayanan diberikan secara maksimal. 

Dengan dibekali harapan besar untuk membenahi masalah yang terjadi di BPJS Kesehatan, publik berharap Presiden Prabowo Subianto menunjukan komitmennya terhadap keadilan sosial dan kesehatan masyarakat.

Lewat langkah dan strategi reformasi yang tepat, diharapkan BPJS Kesehatan dapat menjadi solusi nyata bagi seluruh rakyat Indonesia, guna menciptakan masyarakat yang sehat, sejahtera dan bahagia. Prinsipnya, kesehatan adalah hak dasar setiap individu, dan pemerataan pelayanan kesehatan seyogyanya dapat menjadi prioritas utama di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan. 

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE

Yayang Nanda Budiman